Usai
sudah Pilkada Merangin. Untuk sementara Kemenangan diraih petahana (incumbent)
dengan selisih angka yang signifikan. Hampir 10 % dari runner up. Sebuah angka
selisih yang menjadi “penghambat” untuk dijadikan pertimbangan di MK.
Terlepas
dari hiruk-pikuk Pilkada Merangin, tugas sudah menanti didepan mata. Persoalan
kerusakan hutan di Kaki Gunung Masurai menagih janji. Persoalan yang kemudian
menjadi kerusakan dihulu-hulu Sungai yang mengairi Batang Merangin.
Disatu
sisi, wilayah-wilayah hulu berbagai sungai disebabkan hancurnya kerusakan.
Pembukaan besar-besar secara massif mengancam keberadaan sungai-sungai. Padahal
hulu-hulu sungai merupakan penyumbang suplay air yang mengalir menuju Batang
Merangin.
Padahal
ditengah masyarakat, wilayah hulu sungai-sungai Batang Merangin menjadi
daerah-daerah yang dilindungi dan dijaga keberadaannya. Masyarakat mengenal
dengan Seloko “Pantang Larang”. Penempatan “pantang larang” dapat dilihat
sebagai “rimbo sunyi”. Dengan seloko “rimbo sunyi. Tempat beruang putih. Tempat
ungko berebut tangis’. Atau “Hutan lepeh rimbo tenang, tempat beruk siamang
putih, tempat ungko berebut tangis.
Ada
juga menyebutkan “hutan adat” atau “hutan larangan”. Kesemuanya telah ditetapkan
oleh nenek mamak sebagai hutan yang tidak boleh dibuka.
Hakekatnya
“pantang larang” di “rimbo ganuh” atau “rimbo sunyi” sebagai daerah-daerah yang
tidak boleh diganggu dan tidak dibenarkan untuk dibuka..
Di
Desa Gedang ditempat daerah “sungai dingin, Sungai Aro, sungai pinang melingkung
Bukit Sedingin’ sebagai daerah yang dilindungi. Di Desa Kotobaru terdapat di “Hulu sungai sudung, hulu sungai meniti bukit
sedingin, danau manceh, hulu sungai matang dan sungai sudung.
Di
Tanjung Dalam “kaki bukit. sungai maras besar, sungai kemiri, bukit tongkat. Di Desa Durian rambun dikenal “sungai
gelumpang, sungai sengak, sungai dempen, renah tembesu, sungai maruk dan renah
rotan udang
Di Desa Durian Rambun dikenal tempat-tempat “sungai gelumpang,
muaro maruk, sengak renah rotan udang’. Di
Desa Lubuk Birah “Sungai Buang Terus, muaro Lumpang, Renah Rotan Udang, pematang
pila, hulu sekeladi, Sungai Sumpen kecik, batang Sengak, Muaro Sungai Duo, sungai lumpang Muaro Sungai
Lubuk Tubo, Sungai Buang, Muaro Sungai
Pandak” . Di Desa Lubuk Beringin “Sungai Sengak, Renah Rotan dan sekeladi.
Kerusakan massif terjadi Desa Sungai Lalang dan
Desa Nilo Dingin. Padahal masyarakat Desa Nilo Dingin menghormati “nilo sensing, Batang
Nilo, sungai sengak, sungai ladi, sungai lolo,
Di Tanjung Berugo “sungai penyinggahan, Siau Duo Lubuk Inum
Gelam, tungku rajo janting, muaro sungai telang, renah pisang kayak, bukit
sedingin, renah resam berduri di puncak bukit sedingin. Di Tiaro dikenal “sepantai
renah”. Di Desa Sungai Pinang Terletak “di Gua sengayau, pematang bukit, sungai
batang sengayau.
Sementara yang mulai mengancam terdapat di
berbagai Desa-desa mengelilingi gunung Masurai. Di Desa Renah Pelaan dikenal daerah
“Peradun
kedang, Sungai Napal Benak, Batu Berdiri, pematang kayu belarik, sungai kepit
ters kembali ke tepian siner.
Di
Tanjung Mudo dikenal “di daerah bukit
muncung dan di daerah gunung masurai yang merupakan areal Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS)”. Selain itu “Daerah
metung gedang kemudian melewati sungai metung kecik melewati sungai matang.
Di Desa Tanjung Benuang dikenal daeah-daerah
seperti “didaerah
pematang asal bunting, sungai lolo, hulu sungai aro, hulu sungai gelap, hulu
sungai kandis sampai bukit tungkat”.
Di Muara Madras
terdapat di didaerah hulu mentung, muaro sako I sungai madras, Hulu sugai
belula, sungai batudiri, muaro sungai buluh, sungai Batang Asai Gedang, Sungai Tangkui, Bukit Batu Sembahyang, hulu
sako II mentenang, hulu sungai belula.
Di Desa Talang Tembago
terdapat di lubuk muaro (muaro sungai ampar dengan batang asai gedang), batu
ujung ke muaro sungai sako sri, sungai wallet, hulu sungai sako merah, batang
tangkui, empang mpayang dan lubuk muaro.
Di Desa Pematang pauh
dikenal daerah “sungan batang asai, sungai mayek, sungai lirik, sungai seluang
dan sungai batang asai.
Di Beringin Tinggi “Muara
Lubuk Temenyung, lubuk banyak ikan, Muara Sungai Lasi, Bukit Rejak Buluh Nipih Batang Asai, ELang
Lentik Menari, bukit gambut, Lubuk Pekak,
Muara Sungai Tengkuyung.
Sementara kerusakan massif juga terjadi daerah
Pangkalan Jambu. Padahal Desa Biru mengenal Hutan sekitar Hulu Sungai
Birun Gedang, Sungai Birun Kecik, Hulu Sungai , Langeh, dan Seberang Sungai
Merangin sebagai Hutan Desa.
17 Desa kemudian telah mendapatkan pengukuhan
Hutan desa dengan total 49.508 ha. Kawasan hutan desa terluas di Indonesia.
Cara arif didalam mengelola hutan ditandai Hukum
Patanahan dan Hukum Rimbo. Depati atau Rio mengatur tentang “Bungo kayu”, bungo pasir, bungo emping dan
bungo emas”. Depati dan Rio juga mengatur tentang Hewan buruan yang
diperoleh penduduk dalam dusun seperti mendapatkan Kijang diberikan 5 canting
dagingnya diberikan untuk kepala adat, kalau mendapatkan Rusa diberikan 1
gantang dagingya untuk kepala adat. Demikian juga mendapatkan ikan, burung,
kancil dan sebagainya.
Sdangkan Penduduk luar dusun, kalau penduduk dari luar dusun
yang mendapatkan kijang ataur rusa maka “daging paneh” untuk nenek mamak
setempat.
Pengaturan
hutan dikenal “Nutuh Kepayang
Nubo Tepian”. Hulu sungai
(kepala sauk) tidak boleh ditebang. Petai dak boleh
ditutuh, durian dak boleh dipanjat.
Dilarang kayu
dihutan yang bermanfaat bagi orang banyak seperti Kayu yang berbuah (embacang,
pauh, petai, kepayang) dan kayu yang berbuah yang buahnya dimakan oleh
burung-burung. Swowalang (Dilarang menebang kayu
tempat bersarangya swowalang (lebah hutan yang mengahasilkan madu). Kayu hanya dibenarkan untuk membangun rumah (sepenegak rumah).
Depati
atau rio juga mengatur tentang “tanah dusun” dan “belukar lasah”. “Tanah dusun untuk tempat
perkembangan pemukiman dan penduduk diberi hak bersama mendirikan rumah
diatasnya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan (Sepengak rumah. Sebagaiman
sesak
padang dirancah, sesak koto diumba.
“Sepenegak
Rumah” adalah pengaturan agar kayu haya dibenarkan ditebang untuk membangun
bahan rumah. “Sepenagak rumah” adalah proses pembangunan rumah. Lokasi untuk mendirkan
rumah disebut “plabo umah”. Bagi penduduk yang baru bekeluarga dan telah mapan, telah mampu
mendirikan rumah dapat melaporkan kepada Kepala Dusun atau Kepala Desa dan
kemudai oleh desa diberikan plabo umah tanpa harus membeli. Luasnya ditetapkan
juga melalui musyawarah dan letaknya diatur oleh pemerintah desa.
Sedangkan
”belukar
lasah” merupakan kebun mudo sekitar dusun. Masyarakat
kemudian mengelompok yang biasa dikenal “Talang / Talong”
Dengan
demikian maka tanah adat merupakan milik bersama (Keayek samo diperikan, kedarat sama di
perotan). Sedangkan Penduduk luar dusun hanya memilki hak
pakai terhadap tanah adat (berumo beladang dianggap Beladang
Jauh).
Boleh mengambil hasil dari tanaman yang
ditanamnya tetapi tanahnya tetap milik negeri (harto berat ditinggal, harto ringan boleh dibawa).
Prosesinya dimulai dari “datang Nampak muko.
Balek Nampak Punggungg” atau “pagi Nampak muko sore Nampak punggung”. Kemudian
mencari induk semang, “nasi putih air jernih”. Setelah itu barulah diterima
menjadi warga Dusun. Prosesi yang tidak dilalui kemudian dikenal “ “beumo jauh betalang
suluk, beadat dewek pusako mencil”.
Dan dapat dijatuhi hukum “hukum pelalo
rendah, yaitu : tinggi tidak dikadah, rendah tidak dikutung, bebapak kepado
harimau beindok kepado gajah bekambing pado kijang beayam pado kuwao, Tidak diurus kampong.
Hutan dan pengaturannya kemudian membuat hutan
tetap lestari dengan tutupan relative baik. Pemberian izin Hutan Desa oleh
negara sekarang semakin massifnya dan kehancuran oleh kepentingan diluar
masyarakat. Tugas telah menanti.
Selamat bertugas.
Dimuat di Harian Jambi Independent, 14 Juli 2018
Dimuat di Harian Jambi Independent, 14 Juli 2018