Kabar
pemecatan Guru SD di sebuah yayasan di Bekasi (Jawa Barat) menjadi heboh ketika
sang Suami mengabarkan di media social. Terlepas dari pihak sekolah yang telah datang
ke rumah sang Guru untuk meminta maaf, peristiwa ini mengingatkan kisah unik di
sekitar rumahku.
Aku
teringat dengan kisah tetanggaku yang meminta anak-anakku agar menyekolahkan ke
sekolah Islam. Tentu saja dengan imbauan agar anak-anak agar belajar agama dan
taat kepada agama.
“Bagus. Biar sekolah tidak main-main lagi dan
bisa belajar agama”, katanya sembari meyakinkan sembari menyodorkan sebuah
brosur sekolah yang dipromosikan.
Akupun
diam. Tidak mengerti. Bukankah dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dunia yang
harus dipenuhi dengna keceriaan, permainan, kegembiraan dan dunia fantasi.
Dunia imajinasi yang harus dikembangkan dengan mimpi-mimpinya.
Mengenai
pelajaran agama kupikir sudah cukup diajarkan sekolah umum. Selain mengaji yang
didatangkan Guru ngaji ke rumah, tradisi main di masjid sudah lama dilakukan
seluruh anak-anakku. Entah “berebut” mukul bedug, ngaji sore di masjid dekat
rumah.
Belum
lagi tradisi setiap Ramadhan, selalu kukirimkan ke padang. Tradisi yang hidup
mulai subuh hingga habis taraweh. Akupun tidak mau mengganggu dunia
anak-anakku.
Yang
cuma kupastikan sebelum tamat SD, dia harus khatam Al Qur’an, hapal surat-surat
pendek, Tahu sholat dan mau puasa.
Selain
itu di Sekolah umum dia bertemu dengan berbagai komunitas. Entah anak-anak
dengan agama yang berbeda, keturunan yang berbeda hingga berbagai perbedaan.
Dia
kemudian menemukan cerita tentang natal dan tahun baru. Dia kemudian mengetahui
arti Gong Xi Fat cay. Bisa mengerti tentang Libur Waisak. Bisa mengerti tentang
kehidupan dari kehidupan dia sehari-hari.
Selain
itu dengan disekolahkan di Sekolah Umum, akupun mengajarkan arti keberagaman.
Dari dunia anak-anak yang ditemukan di sekolah, dia kemudian menyadari. Masih
banyak orang dengan kehidupan yang beragam. Entah anak-anak yang tidak punya
PS, kesulitan membayar sekolah, uang jajan yang sering kurang.
Dari
pengalaman itulah kemudian mengajarkan bagaimana dia menghormati uang jajan
yang diberikan orang tua, fasilitas yang ada dan kemudian dinikmati. Dari
pengalaman itulah kemudian dia belajar berbagi, belajar bercerita hingga tidka
sombong.
Dari
sekolah umum itu kemudian mampu memahami untuk mendapatkan sebuah keinginan
bukanlah mudah sembari membalikkan telapak tangan. Dari sanalah kemudian dia
mengerti arti persahabatan, arti pertemanan yang tulus. Sebuah pelajaran yang
mungkin sulit didapatkan dari sekolah dari komunitas
Setelah
dari tamat SD barulah kukirimkan ke pesantren yang sudah terbukti “nasionalisme”
dan pintar merawat tradisi agama. TIdak perlu ikut pengajian yang jauh dari
esensi keagamaan.
Apakah
itu cukup ?. Kupikir itu yang bisa kulakukan. Sama dengan yang dilakukan para
orang tua dari kampong-kampung yang sering kudatangi.
Setelah
dirasakan cukup maka dia bisa memilih. Apakah mau melanjutkan ke pesantren atau
masuk sekolah umum.
Alhamdulilah.
Semua kehidupan normal telah dilalui.
Lalu
apakah yang dilakukan dengan menyekolahkan anak-anak di Sekolah Islam menjadi
tidak baik.
Tidak.
Justru itu baik. Itu salah satu bentuk kewajiban orang tua untuk memberikan
pelajaran agama. Sekaligus menempatkan anak-anak dengan tradisi yang baik.
Namun
yang tidak baik adalah justru menyalahkan pilihan orang tua yang menyekolahkan
anaknya di sekolah umum. Apalagi dengan alasan “belajar agama dan taat kepada agama”.
Kewajiban
orang tua adalah memenuhi kewajiban untuk mengajarkan agama dan menuntun agar
taat beragama. Tentu saja cara ini dipengaruhi cara-cara yang baik menurut
pandangan orang tua.
Sayapun
berdiskusi dengan istri saya. Mengapa tetangga saya kemudian menjadi “aneh” dan
sibuk membahas pendidikan anak orang lain.
“Dia tuh baru belajar ngaji setelah
ketemu dengan ustad anu. Belajar dari “Alif Bata” nian” kata istri saya sambil memindahkan channel TV
mencari acara gossip artis. Tentang nasib Raffi Ahmad yang dituduh selingkuh
dengan artis lain.
“Jadi tidak perlu didengarkan.
Makanya dia menganggap Ustad anu tuh segala-galanya. Bahkan dia mulai
aneh-aneh. Masa melarang Maulid Nabi. Pengajian Ibu-ibu setiap jumat be dak mau
lagi ikut. Katanya Bid’ah. Tidak ada di zaman nabi”, katanya mulai kesal. Acara yang ditunggu
ternyata tidak ada.
“Agah, acara infotainment tuh jam
berapa ?”, teriak memanggil
putraku yang tengah dikamar.
“Sore, ma ?”, teriak putraku sembari tetap memainkan PS
bersama adik-adiknya.
Akupun
mengangguk. Akhirnya saya menemukan jawaban. Ternyata sang Ibu ternyata tidak
bisa mengaji. Sehingga dia berpandangan orang lain mengalami nasib sepertinya.
Tidak
mau mengganggu acara menonton TV Sembari mendengarkan music Klakuistik, akupun
meneruskan membaca.