01 Juli 2018

opini musri nauli : KISAH UNIK


Kabar pemecatan Guru SD di sebuah yayasan di Bekasi (Jawa Barat) menjadi heboh ketika sang Suami mengabarkan di media social.   Terlepas dari pihak sekolah yang telah datang ke rumah sang Guru untuk meminta maaf, peristiwa ini mengingatkan kisah unik di sekitar rumahku.


Aku teringat dengan kisah tetanggaku yang meminta anak-anakku agar menyekolahkan ke sekolah Islam. Tentu saja dengan imbauan agar anak-anak agar belajar agama dan taat kepada agama.
Bagus. Biar sekolah tidak main-main lagi dan bisa belajar agama”, katanya sembari meyakinkan sembari menyodorkan sebuah brosur sekolah yang dipromosikan.

Akupun diam. Tidak mengerti. Bukankah dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dunia yang harus dipenuhi dengna keceriaan, permainan, kegembiraan dan dunia fantasi. Dunia imajinasi yang harus dikembangkan dengan mimpi-mimpinya.

Mengenai pelajaran agama kupikir sudah cukup diajarkan sekolah umum. Selain mengaji yang didatangkan Guru ngaji ke rumah, tradisi main di masjid sudah lama dilakukan seluruh anak-anakku. Entah “berebut” mukul bedug, ngaji sore di masjid dekat rumah.

Belum lagi tradisi setiap Ramadhan, selalu kukirimkan ke padang. Tradisi yang hidup mulai subuh hingga habis taraweh. Akupun tidak mau mengganggu dunia anak-anakku.

Yang cuma kupastikan sebelum tamat SD, dia harus khatam Al Qur’an, hapal surat-surat pendek, Tahu sholat dan mau puasa.

Selain itu di Sekolah umum dia bertemu dengan berbagai komunitas. Entah anak-anak dengan agama yang berbeda, keturunan yang berbeda hingga berbagai perbedaan.

Dia kemudian menemukan cerita tentang natal dan tahun baru. Dia kemudian mengetahui arti Gong Xi Fat cay. Bisa mengerti tentang Libur Waisak. Bisa mengerti tentang kehidupan dari kehidupan dia sehari-hari.

Selain itu dengan disekolahkan di Sekolah Umum, akupun mengajarkan arti keberagaman. Dari dunia anak-anak yang ditemukan di sekolah, dia kemudian menyadari. Masih banyak orang dengan kehidupan yang beragam. Entah anak-anak yang tidak punya PS, kesulitan membayar sekolah, uang jajan yang sering kurang.

Dari pengalaman itulah kemudian mengajarkan bagaimana dia menghormati uang jajan yang diberikan orang tua, fasilitas yang ada dan kemudian dinikmati. Dari pengalaman itulah kemudian dia belajar berbagi, belajar bercerita hingga tidka sombong.

Dari sekolah umum itu kemudian mampu memahami untuk mendapatkan sebuah keinginan bukanlah mudah sembari membalikkan telapak tangan. Dari sanalah kemudian dia mengerti arti persahabatan, arti pertemanan yang tulus. Sebuah pelajaran yang mungkin sulit didapatkan dari sekolah dari komunitas

Setelah dari tamat SD barulah kukirimkan ke pesantren yang sudah terbukti “nasionalisme” dan pintar merawat tradisi agama. TIdak perlu ikut pengajian yang jauh dari esensi keagamaan.

Apakah itu cukup ?. Kupikir itu yang bisa kulakukan. Sama dengan yang dilakukan para orang tua dari kampong-kampung yang sering kudatangi.

Setelah dirasakan cukup maka dia bisa memilih. Apakah mau melanjutkan ke pesantren atau masuk sekolah umum.

Alhamdulilah. Semua kehidupan normal telah dilalui.

Lalu apakah yang dilakukan dengan menyekolahkan anak-anak di Sekolah Islam menjadi tidak baik.

Tidak. Justru itu baik. Itu salah satu bentuk kewajiban orang tua untuk memberikan pelajaran agama. Sekaligus menempatkan anak-anak dengan tradisi yang baik.

Namun yang tidak baik adalah justru menyalahkan pilihan orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah umum. Apalagi dengan alasan “belajar agama dan taat kepada agama”.

Kewajiban orang tua adalah memenuhi kewajiban untuk mengajarkan agama dan menuntun agar taat beragama. Tentu saja cara ini dipengaruhi cara-cara yang baik menurut pandangan orang tua.

Sayapun berdiskusi dengan istri saya. Mengapa tetangga saya kemudian menjadi “aneh” dan sibuk membahas pendidikan anak orang lain.

“Dia tuh baru belajar ngaji setelah ketemu dengan ustad anu. Belajar dari “Alif Bata” nian” kata istri saya sambil memindahkan channel TV mencari acara gossip artis. Tentang nasib Raffi Ahmad yang dituduh selingkuh dengan artis lain.

“Jadi tidak perlu didengarkan. Makanya dia menganggap Ustad anu tuh segala-galanya. Bahkan dia mulai aneh-aneh. Masa melarang Maulid Nabi. Pengajian Ibu-ibu setiap jumat be dak mau lagi ikut. Katanya Bid’ah. Tidak ada di zaman nabi”, katanya mulai kesal. Acara yang ditunggu ternyata tidak ada.

“Agah, acara infotainment tuh jam berapa ?”, teriak memanggil putraku yang tengah dikamar.

“Sore, ma ?”, teriak putraku sembari tetap memainkan PS bersama adik-adiknya.

Akupun mengangguk. Akhirnya saya menemukan jawaban. Ternyata sang Ibu ternyata tidak bisa mengaji. Sehingga dia berpandangan orang lain mengalami nasib sepertinya.

Tidak mau mengganggu acara menonton TV Sembari mendengarkan music Klakuistik, akupun meneruskan membaca.