Mari
kita lupakan mimpi Jakarta yang belum juga menunjukkan arah mendukung Asian
Games. Entah sepi dari pemberitaan, belum banyaknya umbul-umbul. Atau seperti
negara lain yang membuka relawan pendukung acara untuk menyukseskan acaranya.
Atau
lupakan juga mimpi Palembang yang jalan ke bandara baru diaspal. LRT hingga kini
belum juga digunakan oleh public. Konon kabarnya peresmiannya pertengahan Juli.
Atau lupakan seluruh venue yang tidak terdengar kabarnya digunakan “pracoba”
digunakan atlet.
Lupakan
semuanya. Karena “gaungnya” kalah dengan issu-issu politik kontemporer. Kalah
dengan persoalan “kental manis” yang ternyata “air tajin” yang entah mengapa
dininabobokkan bertahun-tahun rakyat Indonesia.
Padahal
Asia Games adalah mimpi Indonesia setelah tuan rumah tahun 1962. Masa Soekarno.
Dimana masih 70% masih buta huruf. Tapi gaungnya begitu menggelora.
Menggelegar. Membangkitkan optimism disuasana “perlawanan” negara ketiga yang berikrar
setelah Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Simbol kebangkitan negara tertindas.
Melihat
persiapan Jakarta dan Palembang (terlepas pernyataan kesiapaan) jauh dari kata
sempurna. Asian Games yang diharapkan menjadi pesta rakyat sepi dari dukungan.
Belum ada program tuan rumah Jakarta dan Palembang untuk “merayakan pesta
rakyat”.
Kalah
dengan suasana menyambut 17 Agustusan yang cuma acara di kampong. Padahal yang
dilombakan cuma lari karung, memasukkan
kelereng ke botol dari sendok, panjat pinang. Suasana heboh persis
menyambut Idul Fitri. Jauh dari “pesta rakyat’.
Di
Palembang, setelah baru merayakan pesta demokrasi dengan pilkada Gubernur, Lihatlah
bagaimana jalan ke bandara. Seminggu yang lalu malah masih banyak berlubang
disana-sini. Persis jalan ke kampong yang abai diperhatikan Pemerintah
Kabupaten.
Bayangkan
menyusuri jalan ke bandara dibawah LRT, persis menyusuri lorong—lorong. Gelap.
Menakutkan. Dan seminggu kemudian barulah diaspal “sekedar temple” karena masih
bergelombang. Persis suasana menjelang pembukaan PON di Pekanbaru tahun 2012.
Tidak
ada petunjuk tentang angkutan bis Trans Musi. LRT belum berjalan. TIdak ada
stand khusus persiapan untuk Asian Games, kecuali berbagai gambar olahraga yang
terpampang tanpa kesan.
Dengan
penghitungan mundur sebulan yang akan datang, bagaimana optimism public menjadikan
Asian Games sebagai pesta rakyat.
Di
Jakarta sendiri tidak ada pembicaraan tentang Asian Games ditengah masyarakat.
Masyarakat setelah melewati idul Fitri langsung disambut dengan Piala Dunia
2018 sama sekali tidak merasa dilibatkan dalam proses Asian Games. Tidak ada
suasana gegap gempita seperti pertandingan Persija vs Persib.
Padahal
pertandingan Persija vs Persib pertandingan liga Sepakbola, suasana dijalanan
begitu meriah. Jalur-jalur utama ditutup untuk dilewati kedua pendukung. Pengumuman
dilakukan di radio-radio pagi untuk mengimbau jalur-jalur yang dihindarkan.
Kecuali
adanya seruan untuk plat kendaraan
Genap-ganjil didaerah tertentu dari Jam 6 pagi hingga jam 10 malam, pembicaraan
Asian Games sama sekali tidak mendapatkan perhatikan masyarakat.
Padahal
wajah Indonesia ditandai dengan wajah kota Tuan Rumah Jakarta – Palembang.
Sebagai pengingat para pelancong seperti saya yang melihat kesan “sama sekali”
tidak didukung oleh kedua tuan rumah.
Padahal
menurut tutur “orang kampong” menjadi tuan rumah adalah rejeki. Memperbanyak
silahturahmi.
Bahkan
dikampung-kampung, kedatangan tamu merupakan
anugerah.
Mereka
mempersiapkan dengan baik. Entah dengan memotong ayam, mengucek kelapa, membersihkan
ambal, membersihkan rumput, memasang umbul-umbul hingga mengatur bagian
konsumsi dan mengatur hidangan. Semuanya berperan aktif.
Ah.
Akupun terbangun. Mungkin mimpi malam tadi terbawa hingga siang.
Akupun
bergegas. Menghidupkan music. Kembali membaca table-tabel lama yang belum juga
kutuntaskan.
Palembang,
8 Juli 2018