08 Juli 2018

opini musri nauli : ASIAN GAMES DIMATA PELANCONG

Mari kita lupakan mimpi Jakarta yang belum juga menunjukkan arah mendukung Asian Games. Entah sepi dari pemberitaan, belum banyaknya umbul-umbul. Atau seperti negara lain yang membuka relawan pendukung acara untuk menyukseskan acaranya.


Atau lupakan juga mimpi Palembang yang jalan ke bandara baru diaspal. LRT hingga kini belum juga digunakan oleh public. Konon kabarnya peresmiannya pertengahan Juli. Atau lupakan seluruh venue yang tidak terdengar kabarnya digunakan “pracoba” digunakan atlet.
Lupakan semuanya. Karena “gaungnya” kalah dengan issu-issu politik kontemporer. Kalah dengan persoalan “kental manis” yang ternyata “air tajin” yang entah mengapa dininabobokkan bertahun-tahun rakyat Indonesia.

Padahal Asia Games adalah mimpi Indonesia setelah tuan rumah tahun 1962. Masa Soekarno. Dimana masih 70% masih buta huruf. Tapi gaungnya begitu menggelora. Menggelegar. Membangkitkan optimism disuasana “perlawanan” negara ketiga yang berikrar setelah Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Simbol kebangkitan negara tertindas.

Melihat persiapan Jakarta dan Palembang (terlepas pernyataan kesiapaan) jauh dari kata sempurna. Asian Games yang diharapkan menjadi pesta rakyat sepi dari dukungan. Belum ada program tuan rumah Jakarta dan Palembang untuk “merayakan pesta rakyat”.

Kalah dengan suasana menyambut 17 Agustusan yang cuma acara di kampong. Padahal yang dilombakan cuma lari karung, memasukkan  kelereng ke botol dari sendok, panjat pinang. Suasana heboh persis menyambut Idul Fitri.  Jauh dari  “pesta rakyat’.

Di Palembang, setelah baru merayakan pesta demokrasi dengan pilkada Gubernur, Lihatlah bagaimana jalan ke bandara. Seminggu yang lalu malah masih banyak berlubang disana-sini. Persis jalan ke kampong yang abai diperhatikan Pemerintah Kabupaten.

Bayangkan menyusuri jalan ke bandara dibawah LRT, persis menyusuri lorong—lorong. Gelap. Menakutkan. Dan seminggu kemudian barulah diaspal “sekedar temple” karena masih bergelombang. Persis suasana menjelang pembukaan PON di Pekanbaru tahun 2012.

Tidak ada petunjuk tentang angkutan bis Trans Musi. LRT belum berjalan. TIdak ada stand khusus persiapan untuk Asian Games, kecuali berbagai gambar olahraga yang terpampang tanpa kesan.

Dengan penghitungan mundur sebulan yang akan datang, bagaimana optimism public menjadikan Asian Games sebagai pesta rakyat.

Di Jakarta sendiri tidak ada pembicaraan tentang Asian Games ditengah masyarakat. Masyarakat setelah melewati idul Fitri langsung disambut dengan Piala Dunia 2018 sama sekali tidak merasa dilibatkan dalam proses Asian Games. Tidak ada suasana gegap gempita seperti pertandingan Persija vs Persib.

Padahal pertandingan Persija vs Persib pertandingan liga Sepakbola, suasana dijalanan begitu meriah. Jalur-jalur utama ditutup untuk dilewati kedua pendukung. Pengumuman dilakukan di radio-radio pagi untuk mengimbau jalur-jalur yang dihindarkan.

Kecuali adanya seruan  untuk plat kendaraan Genap-ganjil didaerah tertentu dari Jam 6 pagi hingga jam 10 malam, pembicaraan Asian Games sama sekali tidak mendapatkan perhatikan masyarakat.

Padahal wajah Indonesia ditandai dengan wajah kota Tuan Rumah Jakarta – Palembang. Sebagai pengingat para pelancong seperti saya yang melihat kesan “sama sekali” tidak didukung oleh kedua tuan rumah.

Padahal menurut tutur “orang kampong” menjadi tuan rumah adalah rejeki. Memperbanyak silahturahmi.

Bahkan dikampung-kampung, kedatangan tamu merupakan  anugerah.

Mereka mempersiapkan dengan baik. Entah dengan memotong ayam, mengucek kelapa, membersihkan ambal, membersihkan rumput, memasang umbul-umbul hingga mengatur bagian konsumsi dan mengatur hidangan. Semuanya berperan aktif.

Ah. Akupun terbangun. Mungkin mimpi malam tadi terbawa hingga siang.

Akupun bergegas. Menghidupkan music. Kembali membaca table-tabel lama yang belum juga kutuntaskan.

Palembang, 8 Juli 2018