22 Juli 2018

opini musri nauli : BERBOHONG DAN MENCURI



Lengkaplah sudah rangkaian korupsi di Indonesia. Dari Surya Dharma Ali (Menteri Agama), Ketua Partai Keadilan Sejahtera (Lutfhi Hasan Ishaq) dan terakhir Irwandi Yusuf (Gubernur dari Aceh). Daerah yang menganut Qonum dan meletakkan Hukum Islam sebagai ajaran sehari-hari.

Membaca tertangkapnya Gubernur Aceh adalah konfirmasi dari kegelisahan adanya “Dugaan” permainan kongkalikong dari dana Otonomi khusus untuk Aceh.

Irwandi Yusuf mengikuti jejak  Gubernur Aceh sebelumnya Abdullah Puteh juga pernah berurusan dengan KPK hingga dipenjara. Puteh dijatuhi hukuman 10 tahun penjara atas kasus korupsi pembelian dua helikopter MI-2.

Terlepas dari kasus yang membelitnya, tertangkapnya “tokoh-tokoh” dari Partai Islam, Menteri Agama dan Gubernur Aceh membuktikan “ternyata” agama belum mampu menahan “godaan” dari korupsi.

Sebagai Menteri Agama, Ketua Partai, Gubernur berasal dari daerah yang menganut hukum Islam maka keteladanan, sikap rendah hati, sederhana harus terwujudkan sebagai symbol agama. Sebagai bentuk perwujudan dari pemimpin agama.

Padahal banyak sekali kisah-kisah tentang “keteladanan” dari pemimpin umat yang mengajarkan “tidak boleh berbohong”.

Sebagaimana dikisahkan “Sang Badui meminta amalan yang mudah kepada Nabi”. Nabi sama sekali tidak pernah mengajarkan yang lain.. Hanya meminta agar Sang Badui “tidak boleh berbohong’.

Sang Badui  tersenyum. Ini khan mudah.

Namun setiap pagi ketika bertemu Nabi, selalu ditanyakan apa yang dikerjakan malam tadi. Sang Badui yang telah berjanji “tidak boleh berbohong” maka malu menceritakan perbuatannya malam tadi.

Cara ini dilakukan berulang-ulang. Akhirnya sang Badui tidak mau lagi melakukan perbuatan maksiat.

Lha keteladanan yang disampaikan cuma “tidak boleh berbohong” saja mampu menggerakan umat Nabi sebagai umat yang dipercaya. Setiap perkataan Nabi dipercaya oleh umat milyaran didunia hingga sekarang.

Lalu mengapa tokoh, pemimpin yang menjadi panutan ternyata malah korupsi. Korupsi merupakan “pencurian”. Bukan sekedar mencuri di barang swalayan (ngutil). Korupsi adalah “perencanaan sistematis” yang merampok hak orang banyak.

Kasus yang membelit tokoh-tokoh diatas kemudian berdampak kepada harga sapi, mempengaruhi pembangunan fisik di Aceh dan berbagai hak orang banyak. Sehingga tidak salah kemudian korupsi dapat dikategorikan sebagai perampok besar-besaran. Nilainya tidak tanggung-tanggung.

Namun akhir-akhir ini entah “terpeleset’ atau memang sekedar gagah-gagahan, anjuran melakukan korupsi kemudian “dikemas” dengan istilah “fa’i”. Menempatkan sebagai “harta rampasan” perang. Tidak lupa mengemas “sebagai harta kaum kafir”. Sehingga hasil korupsi menjadi halal. Baik disampaikan didalam forum pengajian maupun ceramah yang provokatif.

Tema inilah yang kemudian “membenarkan” ketika pelaku korupsi masih dipuja-puja pengikutnya. Entah dengan heroic atau sama sekali cinta buta (taklik buta).

Padahal lembaga-lembaga agama telah menyatakan korupsi tidak dapat dikategorikan sebagai “harta rampasan perang”.

Didalam Film Godfather, Al Pacino harus “menembak” kasir yang menilep 10 US$ ketika menerima pembayaran 100US$. Ketika ditanyakan mengapa Al Pacino begitu kejam membunuh kasir cuma persoalan 10 US$. Dengan serius Al Pacino menjawab. “Sekali dia berani mencuri uang walaupun 10 US$, maka sang kasir tidak bisa dipercaya lagi.

Dalam mengelola organisasi mafia terkenal di Italia, kepercayaan adalah segalanya. Kepercayaanlah yang membuat organisasi mafia Italia dapat bertahan di New York berhadapan dengan keluarga mafia lainnya.

Korupsi telah membelenggu rakyat Indonesia. Para pemimpin yang dapat menjadi “penyuluh” di gelap gulita korupsi justru masuk kedalam kubangan. Menjadi “aktor’ yang menyuburkan korupsi. Sehingga tidak pantas kemudian menggunakan symbol agama untuk melindungi perbuatannya.