Lengkaplah
sudah rangkaian korupsi di Indonesia. Dari Surya Dharma Ali (Menteri Agama),
Ketua Partai Keadilan Sejahtera (Lutfhi Hasan Ishaq) dan terakhir Irwandi Yusuf
(Gubernur dari Aceh). Daerah yang menganut Qonum dan meletakkan Hukum Islam sebagai
ajaran sehari-hari.
Membaca
tertangkapnya Gubernur Aceh adalah konfirmasi dari kegelisahan adanya “Dugaan”
permainan kongkalikong dari dana Otonomi khusus untuk Aceh.
Irwandi Yusuf mengikuti jejak Gubernur Aceh sebelumnya Abdullah Puteh juga
pernah berurusan dengan KPK hingga dipenjara. Puteh dijatuhi hukuman 10 tahun
penjara atas kasus korupsi pembelian dua helikopter MI-2.
Terlepas dari kasus yang
membelitnya, tertangkapnya “tokoh-tokoh” dari Partai Islam, Menteri Agama dan
Gubernur Aceh membuktikan “ternyata” agama belum mampu menahan “godaan” dari
korupsi.
Sebagai Menteri Agama, Ketua Partai,
Gubernur berasal dari daerah yang menganut hukum Islam maka keteladanan, sikap
rendah hati, sederhana harus terwujudkan sebagai symbol agama. Sebagai bentuk
perwujudan dari pemimpin agama.
Padahal banyak sekali kisah-kisah
tentang “keteladanan” dari pemimpin umat yang mengajarkan “tidak boleh
berbohong”.
Sebagaimana dikisahkan “Sang Badui meminta amalan yang mudah kepada
Nabi”. Nabi sama sekali tidak pernah mengajarkan yang lain.. Hanya meminta
agar Sang Badui “tidak boleh berbohong’.
Sang Badui tersenyum. Ini khan mudah.
Namun setiap pagi ketika bertemu
Nabi, selalu ditanyakan apa yang dikerjakan malam tadi. Sang Badui yang telah
berjanji “tidak boleh berbohong” maka
malu menceritakan perbuatannya malam tadi.
Cara ini dilakukan berulang-ulang.
Akhirnya sang Badui tidak mau lagi melakukan perbuatan maksiat.
Lha keteladanan yang disampaikan
cuma “tidak boleh berbohong” saja
mampu menggerakan umat Nabi sebagai umat yang dipercaya. Setiap perkataan Nabi
dipercaya oleh umat milyaran didunia hingga sekarang.
Lalu mengapa tokoh, pemimpin yang
menjadi panutan ternyata malah korupsi. Korupsi merupakan “pencurian”. Bukan
sekedar mencuri di barang swalayan (ngutil). Korupsi adalah “perencanaan
sistematis” yang merampok hak orang banyak.
Kasus yang membelit tokoh-tokoh
diatas kemudian berdampak kepada harga sapi, mempengaruhi pembangunan fisik di
Aceh dan berbagai hak orang banyak. Sehingga tidak salah kemudian korupsi dapat
dikategorikan sebagai perampok besar-besaran. Nilainya tidak tanggung-tanggung.
Namun akhir-akhir ini entah “terpeleset’ atau memang sekedar
gagah-gagahan, anjuran melakukan korupsi kemudian “dikemas” dengan istilah “fa’i”. Menempatkan sebagai “harta rampasan” perang. Tidak lupa
mengemas “sebagai harta kaum kafir”.
Sehingga hasil korupsi menjadi halal. Baik disampaikan didalam forum pengajian
maupun ceramah yang provokatif.
Tema inilah yang kemudian “membenarkan” ketika pelaku korupsi masih
dipuja-puja pengikutnya. Entah dengan heroic atau sama sekali cinta buta (taklik
buta).
Padahal lembaga-lembaga agama telah
menyatakan korupsi tidak dapat dikategorikan sebagai “harta rampasan perang”.
Didalam Film Godfather, Al Pacino harus
“menembak” kasir yang menilep 10 US$
ketika menerima pembayaran 100US$. Ketika ditanyakan mengapa Al Pacino begitu
kejam membunuh kasir cuma persoalan 10 US$. Dengan serius Al Pacino menjawab. “Sekali dia berani mencuri uang walaupun 10
US$, maka sang kasir tidak bisa dipercaya lagi.
Dalam mengelola organisasi mafia
terkenal di Italia, kepercayaan adalah segalanya. Kepercayaanlah yang membuat
organisasi mafia Italia dapat bertahan di New York berhadapan dengan keluarga
mafia lainnya.
Korupsi telah membelenggu rakyat
Indonesia. Para pemimpin yang dapat menjadi “penyuluh”
di gelap gulita korupsi justru masuk kedalam kubangan. Menjadi “aktor’ yang
menyuburkan korupsi. Sehingga tidak pantas kemudian menggunakan symbol agama
untuk melindungi perbuatannya.