Sebagai
pendatang baru, Partai Demokrat yang lahir 9 September 2001 kemudian mampu
meraih suara Pemilu 2004 sebesar 7,45%.
Dengan bekal 7,45%, Partai Demokrat didukung Partai Bulan Bintang, dan
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Koalisi kerempeng yang merupakan
gabungan tiga partai kecil ini hanya menghasilkan 11 persen dukungan suara. Hasilnya
setelah putaran kedua SBY-JK menang telak dengan selisih cukup jauh yakni:
69.266.350 (60,62%) melawan 44.990.704 (39,38%).
Kememangan SBY-JK mampu melibas
kandidat Calon Presiden Konvensi Partai Golkar dan mengalahkan incumbent
Megawati Soekarnoputri.
Sebuah kemenangan yang diraih
kemudian dilanjutkan pada Pileg 2009 dengan kemenangan telak (meraih 20% suara
dan 150 kursi DPR/26,79 %). Dan meraih kemenangan Pilpres 60,80%.
Melihat “tangguh” dan “jago strategi”
Partai Demokrat maka tidak bisa dilepaskan dari sosok SBY. Sosok “ahli strategi”
sebagai pendatang baru dan memenangkan 2 periode kepemimpinan Presiden.
Sebagai “ahli strategi”, SBY dikenal
sebagai perumus dan peletak dasar “mengembalikan TNI” sebagai alat pertahanan.
Mandat paska reformasi. Dengan menguasai “ahli strategi” dan ilmu politik yang
mumpuni, SBY bersama-sama dengan Wiranto berhasil mengembalikan fungsi TNI dan
kemudian “mengambil” jarak dari kepentingan politik praktis di Indonesia.
TNI kemudian menjadi lembaga yang
independent, jauh dari intrik politik dan alat kekuasaan. Tagline “kembali
barak” adalah bentuk penguatan TNI sebagai alat pertahanan yang professional. Jejaknya yang kemudian
mengembalikan sebagai salah satu lembaga yang paling dipercaya public saat ini.
Terlepas dari kasus-kasus korupsi yang
membelit petinggi Partai Demokrat dan menyebabkan di Pemilu 2014 Partai
Demokrat hanya mendapatkan 10,19 % dan kehilangan kursi yang turun drastis,
Peran partai Demokrat selalu menawarkan “solusi jitu”.
Ditengah “tarik menarik” koalisi di
parlemen 20014, antara Partai Pemerintah dan (KIH) dan partai oposisi (KMP),
Partai Demokrat menawarkan sebagai “partai penyeimbang”. Strategi menjadi
penengah antara dua kekuatan yang berhadap-hadapan.
Menghadapi Pilpres 2019, lagi-lagi
SBY sebagai “dirijen” yang mengatur irama, setelah melewati krisis panjang
kasus yang membelit partai paska kasus yang melibatkan petinggi Partai
Demokrat, SBY menggunakan tagline “poros tengah” dengan desain “game changer’.
Sebagai solusi menawarkan konsep terbangunnya “kekuatan baru” diantara Tarik menarik
kedua candidate Presiden yang telah disodorkan PDIP dan Partai Gerindra.
Sebagai “dirijen” yang telah
menguasai tiga kali Pemilu, strategi jitu diterapkan oleh SBY dapat membangun
koalisi dengna melibatkan partai-partai yang semula mendukungnya 2009.
Baik dengan mengajak PKS (6,79 %)
dan PAN (7,59 %) sehingga memenuhi persyaratan untuk mendaftarkan kandidat
Presiden/Wakil Presiden (24,57 %).
Atau membangun kekuatan yang
kemudian mendukung Prawobo sehingga menjadi “head to head” antara Prabowo dan
Jokowi.
Sang dirijen sebagai “pengatur lagu”
dengan tagline “partai penyeimbang” dan “poros tengah” tidak boleh diremehkan
oleh kekuatan pihak Prabowo dan Jokowi.
Dengan bekal Pemilu 2004, 2009 dan
berhasil melewati krisis panjang di Pemilu 2014, arah dan strategi SBY
merupakan salah satu “alternative” ditengah kebuntuan candidate yang hanya
mengerucut pada dua nama saja. Prabowo dan Jokowi.