Ketika
Munas Partai Golkar mendukung Jokowi untuk Pilpres maka public berharap Partai
Golkar setia untuk duduk di pemerintahan. Partai Golkar diharapkan menjadi
bagian dari proses perencanaan pembangunan yang dicanangkan Jokowi.
Namun
akhir-akhir ini ketika nama Airlangga Hartato, Ketua Umum Partai Golkar tidak
meraih suara signifikan dalam lembaga-lembaga survey sebagai calon kandidat
sebagai Wakil Presiden mendampingi Jokowi, maka keputusan Munas kemudian
menjadi problema.
Sebagai
partai besar yang terbukti handal mengikuti pemilu paska reformasi, suara
Partai Golkar selalu menarik perhatian partai-partai lain.
Lihatlah.
Ketika Partai Golkar dihajar paska reformasi, berbagai kantor Partai Golkar
diberbagai daerah, Partai Golkar dibawah kepemimpinan Akbar Tanjung masih
menjadi “runner up” dibawah PDIP dengan suara 23 juta (22,4 %). Kemudian menjadi
kampiun pemilu 2004. Sehingga Partai Golkar kemudian mengadakan konvensi disaat
bersamaan partai-partai yang lain masih mengusung “siapa kandidat Presiden’. Sebuah
strategi “ciamik” dan menunjukkan keunggulan Partai Golkar bangkit di masa
reformasi.
Partai
Golkar kemudian mengusung Wiranto – Salahuddin Wahid sebagai pemenang Konvensi
Partai Golkar. Wiranto – Salahuddin cuma
meraih 22,15 %.
Tahun
2009, Partai Golkar kemudian “disalip” Partai Demokrat yang mengantarkan SBY
untuk menduduki Presiden untuk kedua kalinya. Sementara Partai Golkar yang
mencalonkan Jusuf Kalla dan Wiranto cuma meraup suara 12,41 %.
Tahun
2014, sebagai “runner up” Partai Golkar kemudian mendukung Prabowo – Hatta Rajasa
di Pippres. Lagi-lagi kalah dengan Jokowi – Jusuf Kalla.
Kekalahan
2004, 2009 yang mengusung calon Presiden dan 2014 yang mendukung calon lain
yang kemudian terbukti kalah menyebabkan menjadi bahan refleksi bagi Partai
Golkar. Sudah saatnya sebagai “pemenang pemilu 2004” dan menjadi “runner up”
2009 dan 2014, posisi sentral Partai Golkar diperhitungkan.
Dalam
hitung matematika, berbagai scenario mulai disusun sebagai langkah strategis
agar Partai Golkar dapat mewarnai pilpres 2019.
Pertama.
Dengan suara signifikan sebagai “runner up” pemilu 2014, suara yang diraih
14,75 % memerlukan “koalisi” pendukung lain untuk mendaftarkan kandidat
Presiden dan Wakil Presiden di KPU. Entah dengan menggandeng PKB (9,04 %) atau
menggandeng PAN (7,59%).
Memilih
kedua partai baik PKB dan PAN memenuhi
persyaratan untuk mendaftar ke KPU. Namun mengusung nama Airlangga Hartato
belum mampu mendongkrak suara. Tingkat keberpihkan public masih rendah dibawah
Gatot Nuryanto. Masih jauh untuk mengejar dalam hitungan waktu kurang dari
setahun.
Kedua.
Mendukung Prabowo dalam paket Presiden dengan suara 14,75 % memberikan dukungan
kepada 11,81%. Sebuah upaya yang pernah dilakukan tahun 2014 dan terbukti kalah
di Pilpres 2014.
Apabila
cara ini dilakukan selain itu juga akan merusak dan mengurangi “kebesaran”
partai juga mengulangi tahun 2014. Sebuah bacaan politik yang keliru didalam
pertarungan politik pilpres 2014.
Ketiga.
Atau Partai Golkar mengikuti barisan “poros tengah” dan memberikan suara 14,75
% kepada Partai Demokrat (10,19%). Cara ini justru sungguh merusak sebagai “runner
up” pemilu 2014.
Keempat.
Memberikan dukungan kepada PDIP dan masuk kedalam gerbong Jokowi menempatkan
Partai Golkar sebagai “pemenang yang elegan”.
Berkaca
tahun 2004, 2009 dan tahun 2014 maka tidak salah kemudian Partai Golkar di
persimpangan jalan.
Tunduk
kepada Putusan Munas memberikan dukungan kepada Jokowi atau Partai Golkar
sedang mendesain kekuatan baru.
Sebuah
strategi “ciamik” yang menarik untuk kita tunggu. Sebagaimana ‘strategi ciamik”
tahun 2004 yang melahirkan konvensi Partai Golkar mengusung Presiden.