21 Juli 2018

opini musri nauli : PARTAI GOLKAR DIPERSIMPANGAN JALAN


Ketika Munas Partai Golkar mendukung Jokowi untuk Pilpres maka public berharap Partai Golkar setia untuk duduk di pemerintahan. Partai Golkar diharapkan menjadi bagian dari proses perencanaan pembangunan yang dicanangkan Jokowi.

Namun akhir-akhir ini ketika nama Airlangga Hartato, Ketua Umum Partai Golkar tidak meraih suara signifikan dalam lembaga-lembaga survey sebagai calon kandidat sebagai Wakil Presiden mendampingi Jokowi, maka keputusan Munas kemudian menjadi problema.

Sebagai partai besar yang terbukti handal mengikuti pemilu paska reformasi, suara Partai Golkar selalu menarik perhatian partai-partai lain.

Lihatlah. Ketika Partai Golkar dihajar paska reformasi, berbagai kantor Partai Golkar diberbagai daerah, Partai Golkar dibawah kepemimpinan Akbar Tanjung masih menjadi “runner up” dibawah PDIP dengan suara 23 juta (22,4 %). Kemudian menjadi kampiun pemilu 2004. Sehingga Partai Golkar kemudian mengadakan konvensi disaat bersamaan partai-partai yang lain masih mengusung “siapa kandidat Presiden’. Sebuah strategi “ciamik” dan menunjukkan keunggulan Partai Golkar bangkit di masa reformasi.

Partai Golkar kemudian mengusung Wiranto – Salahuddin Wahid sebagai pemenang Konvensi Partai Golkar.  Wiranto – Salahuddin cuma meraih 22,15 %.

Tahun 2009, Partai Golkar kemudian “disalip” Partai Demokrat yang mengantarkan SBY untuk menduduki Presiden untuk kedua kalinya. Sementara Partai Golkar yang mencalonkan Jusuf Kalla dan Wiranto cuma meraup suara 12,41 %.

Tahun 2014, sebagai “runner up” Partai Golkar kemudian mendukung Prabowo – Hatta Rajasa di Pippres. Lagi-lagi kalah dengan Jokowi – Jusuf Kalla.

Kekalahan 2004, 2009 yang mengusung calon Presiden dan 2014 yang mendukung calon lain yang kemudian terbukti kalah menyebabkan menjadi bahan refleksi bagi Partai Golkar. Sudah saatnya sebagai “pemenang pemilu 2004” dan menjadi “runner up” 2009 dan 2014, posisi sentral Partai Golkar diperhitungkan.

Dalam hitung matematika, berbagai scenario mulai disusun sebagai langkah strategis agar Partai Golkar dapat mewarnai pilpres 2019.

Pertama. Dengan suara signifikan sebagai “runner up” pemilu 2014, suara yang diraih 14,75 % memerlukan “koalisi” pendukung lain untuk mendaftarkan kandidat Presiden dan Wakil Presiden di KPU. Entah dengan menggandeng PKB (9,04 %) atau menggandeng PAN (7,59%).

Memilih kedua partai  baik PKB dan PAN memenuhi persyaratan untuk mendaftar ke KPU. Namun mengusung nama Airlangga Hartato belum mampu mendongkrak suara. Tingkat keberpihkan public masih rendah dibawah Gatot Nuryanto. Masih jauh untuk mengejar dalam hitungan waktu kurang dari setahun.

Kedua. Mendukung Prabowo dalam paket Presiden dengan suara 14,75 % memberikan dukungan kepada 11,81%. Sebuah upaya yang pernah dilakukan tahun 2014 dan terbukti kalah di Pilpres 2014.

Apabila cara ini dilakukan selain itu juga akan merusak dan mengurangi “kebesaran” partai juga mengulangi tahun 2014. Sebuah bacaan politik yang keliru didalam pertarungan politik pilpres 2014.

Ketiga. Atau Partai Golkar mengikuti barisan “poros tengah” dan memberikan suara 14,75 % kepada Partai Demokrat (10,19%). Cara ini justru sungguh merusak sebagai “runner up” pemilu 2014.

Keempat. Memberikan dukungan kepada PDIP dan masuk kedalam gerbong Jokowi menempatkan Partai Golkar sebagai “pemenang yang elegan”.

Berkaca tahun 2004, 2009 dan tahun 2014 maka tidak salah kemudian Partai Golkar di persimpangan jalan.

Tunduk kepada Putusan Munas memberikan dukungan kepada Jokowi atau Partai Golkar sedang mendesain kekuatan baru.  

Sebuah strategi “ciamik” yang menarik untuk kita tunggu. Sebagaimana ‘strategi ciamik” tahun 2004 yang melahirkan konvensi Partai Golkar mengusung Presiden.