Sebagai
Ketua Umum Partai yang mengalami ketidakadilan di masa Soeharto, Megawati
Soekarno Putri telah ditempa matang untuk memimpin PDIP. Partai yang “diobrak-abrik”
Soeharto dalam penyerbuan kantor PDI tahun 1996 (dikenal Kudatuli/Kerusuhan 27
Juli 1996).
Memimpin
partai ditengah himpitan orde baru namun kemudian menjadi kampiun Pemilu 1999
namun kalah dalam pemilihan Presiden di MPR. Membuat Megawati memimpin partai
sebagai partai oposisi 2004 dan 2009. Sebuah konsisten panjang yang berhasil
menjadi pemenang 2014 sekaligus mengantarkan Jokowi menjadi Presiden.
Sebagai
partai oposisi, konsistensi Megawati tidak diragukan lagi. Sikap konsistensi
panjang ditengah Tarik menarik kepentingan pragmatis menyebabkan PDIP partai
yang paling solid didalam memperjuangkan agenda-agenda partai. Mengusung
kader-kader bertarung di Pileg, Pilpres dan Pilkada menyebabkan optimism kader-kader
partai yang diberikan kesempatan. Sebuah keteladanan dan sikap kepentingan
partai ditengah pesimisme public terhadap partai.
Konsistensi
panjang sebagai partai oposisi menyebabkan PDIP “menyaring” kader-kader partai
yang militant, memperjuangkan ideology dan mengenyampingkan “kader-kader” kutu
loncat dan pragmatis semu. Perjalanan panjang mencapai 20 tahun lebih sebagai
partai oposisi menyebabkan PDIP salah satu partai yang “susah” ditaklukan dan
menjadi kampiun (1999, 2014) atau runner up (2004), setiap pemilu. Kecuali
tahun 2009 yang kemudian “disalip” Partai Demokrat.
Menyebabkan
jenjang partai menjadi organisasi modern yang mampu kemudian menghasilkan
kader-kader yang dapat dilihat dari raihan kemenangan kepala daerah. Bersama
dengan partai Golkar, PDIP adalah penyumbang kader-kader terbaik didalam
pilkada. Proses panjang yang tidak mudah diraih oleh partai.
Sehingga
tidak salah kemudian Megawati diberikan apresiasi bersama dengan Akbar Tanjung
didalam membawa partai melewati berbagai prahara politik. Membawa kapal besar
melewati gelombang besar, keluarnya kader-kader yang kemudian mendirikan partai
hingga berbagai maneuver politik. Prahara itu berhasil dilewati. Sehingga tidak
salah kemudian Partai Golkar dan PDIP merupakan partai papan atas yang selalu
mengungguli setiap pemilu.
Konsistensi,
sikap partai yang mengusung nilai-nilai kebangsaan menyebabkan PDIP meraih
dukungan diberbagai tempat. Berbagai kader-kader militant kemudian berhasil
menjadi Kepala Daerah. Terlepas berbagai kekalahan diberbagai tempat (Sumut,
Jawa Barat, Sumsel, Jawa Timur), PDIP mampu mengisi berbagai Kepala Daerah di
Jawa. Sebuah torehan prestasi yang dapat dinikmati masyarakat.
Menghadapi
pilres 2009, dengan modal 18,95 %, PDIP berkoalisi dengan Partai Nasdem (6,7 %)
yang memberikan dukungan tanpa syarat, dengan tersenyum menatap ke KPU. Dukungan
dari PPP (6,53 %) atau PKB (9,04 %) dan Partai Golkar (hasil Munas Partai Golkar dan suara 14,75 %) menyebabkan Pilpres
menjadi ajang tampil “ciamik” ditengah “belum tuntasnya” dukungan Partai
Gerindra untuk Prabowo dan issu “Poros tengah” yang belum ada kelanjutan. Sebuah
suasana dirasakan Partai Golkar mengadakan konvensi Partai Golkar tahun 2004.
Namun
meremehkan “Sang Dirijen” piawai SBY tidak boleh dianggap enteng dan justru
akan menjungkalkan peta pertarungan Pilpres 2019.
Sehingga
tidak salah kemudian sikap konsistensi panjang sebagai partai oposisi
menyebabkan PDIP mampu “menyaring” kader-kader loyalitas yang dilahirkan dari
proses panjang. Sebuah capaian yang tidak mudah diraih partai-partai di
Indonesia.
Proses
panjang yang mengutamakan kader-kader di Pileg, Pilkada dan Pilpres.
Pelajaran
penting dari proses panjang PDIP bagaimana mengelola partai, konsistensi, mendidik
kader hingga loyalitas menyebabkan PDIP berhasil menelorkan kepemimpinan.
Pemimpin yang lahir dari “kawah candradimuka” partai.