Tinggal
menghitung hari, koalisi Partai mengumumkan Calon Presiden dan Wakil Presiden
untuk mendaftarkan ke KPU. Namun tersenyumannya Partai-partai pendukung Jokowi,
maka suara yang didapatkan melebihi untuk mendaftar.
PDIP
(18.95%), Partai Golkar (144,75), PKB (9,04 persen), Partai Nasdem (6,72
persen), PPP (6,53
persen) dan Partai Hanura (5,26 persen) meraih
suara melebihi sepertiga untuk mendaftar (61,25 %). Dengan demikian maka
menyisakan suara 38,75 %. Atau dengan meninggalkan satu calon lagi untuk
mendaftar diluar koalisi Jokowi.
Melihat komposisi yang dipamerkan di
public, Koalisi mendukung Jokowi sudah “mengirimkan” signal untuk mempersiapkan
“medan tarung’ Pilpres 2019.
Dengan menyisakan satu calon, maka 4
Partai harus menyatakan sikap. Apakah mendukung koalisi Prabowo atau bergabung
dengan Koalisi mendukung Jokowi. Sebuah strategi “ciamik” yang dimainkan oleh
partai koalisi mendukung Jokowi ditengah belum selesainya “koalisi” prabowo,
koalisi poros tengah dan bersatunya koalisi Prawobo dan poros tengah.
Dalam keadaan “berkejaran” dengan
waktu, sebagai Partai pemenang ketiga (11,81 %) Partai Gerindra belum mampu
menjadi “pemimpin oposisi” untuk membangun koalisi.
Ditengah “desakan” PKS yang ngotot
mendorong 9 orang kadernya untuk dijadikan pasangan Prabowo atau Amien Rais
yang ingin menjadi “king maker”, Partai Demokrat “memainkan kartu “truf”-nya. Partai
Demokrat kemudian mengambil alih untuk memimpin gerbong koalisi. Padahal Partai
Demokrat sebagai pemenang pemilu keempat (10,19 %) berhasil “mencuri” dan
menggenggam irama yang hendak dimainkan.
Dua agenda penting seperti
Kedatangan Partai Gerindra dan PAN ke kediaman SBY di kuningan membuktikan “SBY”
memainkan music yang ditunggu public. Sekali lagi SBY adalah “dirijen” yang
sabar menunggu momentum kemudian memainkan melodi sehingga Partai Gerindra
mengikuti langgam yang dimainkan oleh SBY.
Berbeda dengan “suasana” 6 partai
koalisi mendukung Jokowi yang “adem”, santai, jauh dari suasana politik,
suasana politik paska pertemuan di kuningan masih menimbulkan tanda tanya.
Apakah “koalisi” dibangun berdasarkan kepentingan bangsa atau kepentingan
pragmatis jangka pendek untuk pemilihan Presiden.
Sebagai “Dirijen” yang mumpuni, SBY
berhasil memainkan langgam dan mengendalikan irama. Setelah mengantarkan
Prabowo dan Zulkifli Hasan, SBY kemudian menggelar konferensi terpisah.
Sekaligus memaparkan strategi pemenangan dan capaian yang hendak diraih.
Dalam kelaziman pidato politik,
memberikan “konferensi pers” terpisah merupakan sebuah “kemenangan” yang
didapatkan oleh SBY. SBY mendapatkan benefit politik menjelang Pemilu. Sebuah target
untuk mengejar deficit politik paska kasus yang membelitnya dan suara yang
anjlok dari pemenang pemilu 2009 (60 %) menjadi pemenang keempat (10,19 %).
Sehingga tidak salah kemudian SBY
berhasil meraih dukungan public menghadapi Pilpres 2019. SBY menjadi “Dirijen”.
Sehingga langgam kemudian berpindah. Dari Prabowo ke SBY. Sebuah strategi
komunikasi jitu dari SBY.
Sementara itu Koalisi 6 partai (61
%) dan koalisi Partai Gerindra dan Partai Partai Demokrat yang menghasilkan
suara untuk mendaftar pilpres (22%) menyebabkan nasib PAN dan PKS.
PAN dan PKS tidak memenuhi
persyaratan untuk mendorong koalisi “poros tengah” (14,38 %). Terlepas dari “gaduh”
kedua partai, baik PKS masih ngotot mendorong 9 kadernya maupun “maneuver”
Amien Rais, kedua partai tidak “dilirik” baik koalisi Partai mendukung Jokowi
maupun Partai Gerindra. Menyebabkan kedua partai harus menentukan sikap. Apakah
bergabung dengan “Sang Dirijen” SBY yang akan memimpin koalisi atau mendukung
Koalisi Partai mendukung Jokowi. Sebuah penghitungan (simulasi) politik yang
gagap dipersiapkan oleh kedua partai jauh-jauh hari sebelumnya.
Melihat peristiwa politik
kontemporer akhir-akhir ini maka “Sang Dirijen” akan mewarnai politik menjelang
Pilpres 2019. Sebuah momentum ciamik yang dimainkan oleh Sang Dirijen.