TEROR AHOK
Entah
mengapa Ahok begitu meneror, menakuti, menghantui wajah Jakarta. Ahok yang
telah dipenjara, yang tidak lagi bisa bersuara namun mampu membuat namanya
terus dibicarakan, dihina, dibully bahkan dibanding-bandingkan dengannya.
Sebuah aburd ditengah ketidakmampuan untuk berbicara.
Lihatlah.
Bagaimana “kali item” yang kemudian
disalahkan kepada Ahok. Entah memang suka cari “sensasi” atau memang tidak mampu lagi membersihkan sehingga harus
ditutupi jarring hitam sehingga membuat “akal
sehat” menjadi terganggu.
Apakah
benar “peninggalan” Ahok atau tidak,
semua permasalahan Jakarta menjadi tanggungjawab Gubernur selanjutnya. Bukankah
begitu dilantik, maka seluruh program yang dijanjikan waktu kampanye harus
dilaksanakan.
Mengapa
“Kali item” kemudian disalahkan
namanya ? Apa salah kali item. Bukankah banyak sekali nama-nama tempat yang
menjadi kenangan justru tetap menjadi ingatan.
Lalu
mengapa ketika masyarakat kemudian memberikan nama kemudian dengan enteng para
petinggi kemudian menyalahkan memberikan nama ?
Di
Kota Jambi dulu dikenal tempat “pagar drum’. Disebut pagar drum, karena memang
di tempat putaran memang ada tempat yang ada drumnya.
Ada
juga nama Kecamatan Jelutung. Jelutung adalah nama tumbuhan kayu. Sampai
sekarang masih menjadi nama yang melekat di Kota Jambi. Lalu apakah masih ada
Jelutung. Seumur-umur saya, yang lahir, besar dan kehidupan sehari-hari, belum
pernah ketemu jelutung disini.
Di
Kabupaten Batanghari hari dikenal “Muara Bulian’’. Dulu sering disebut “pangkal
bulian”. Memang disana dulu banyak hutan bulan. Hingga sekarang, masih melekat
sebagai Ibukota Kabupaten Batanghari walaupun tidak ada lagi batang bulian.
Di
Kabupaten Sarolangun masih dikenal Marga Air Hitam. Memang sungainya berwarna
hitam.
Kembali
ke penamaan tempat. Mengapa Wakil Gubernur Jakarta dengan enteng menyalahkan
nama “Kali item’. Bukankah penamaan yang diberikan masyarakat memang melihat
kali item. Lalu ketika “kali tidak bisa dibersihkan” kemudian menyalahkan
masyarakat memberikan namanya. Wah. Wah.. Sungguh absurd. Sehingga tidak salah
kemudian logika ini harus diletakkan dan sungguh tidak tepat.
Lalu
mengapa nama Ahok begitu dikaitkan ? Apakah Ahok tidak menyelesaikan “kali item”
sehingga Gubernur selanjutnya tidak mau begitu disalahkan. Bukankah yang
diganti Gubernur itu adalah orang. Bukan Jabatan.
Sebagai
jabatan, maka seluruh permasalahan, resiko, tanggung jawab menjadi beban
Gubernur selanjutnya. Demikian “logika” umum di jabatan.
Lihatlah.
Bagaimana kita “menggugat” Presiden didalam persidangan sebagai tergugat.
Apakah kemudian Jokowi dengan enteng akan ngomong “bukan salah saya ? Itu
Presiden sebelumnya”. TIdak pernah khan. Demikianlah mekanisme jabatan bertanggungjawab
termasuk siding di muka persidangan.
Bagaimana
nasib warga Jakarta ? Begitu menerorkah “Ahok” Sehingga segala persoalan
kemudian “disebabkan” oleh Ahok. Atau kemampuanmu cuma segitu. Tidak mampu
kemudian dengan enteng “menyalahkan” orang lain.
Lalu
mengapa Ahok ? Apakah tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan selain cuma
menyalahkan ?
“Bang, abang urus daerahmu sendiri”. Akupun
tersenyum.
“Walaupun aku bukan warga Jakarta.
Namun aku masih sering ke Jakarta. Entah pajak makanan yang ditarik. Entah parker.
Entah pajak lain yang harus kubayarkan. Lagipula. Ini bukan persoalan Jakarta.
Ini adalah “Logika” yang hendak dimainkan”.
“Aku harus waras menjaga logika”, ucapku
sembari mencari remote TV untuk
mengganti channel. Bosan lihat wajah politisi tua yang masih doyan berkuasa. Enak
dengar music.