NARASI
KEBANGSAAN (3)
NEGARA
Teori tentang negara sebagai “kontrak
masyarakat”, atau “teori kontrak negara’ merupakan teori tentang “negara” yang
terkenal. Penganut teori ini adalah Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau,
dan Montesquieu. Penduduk atau masyarakat kemudian berikrar mendirikan sebagai
negara (state).
Dalam
ikrar “proklamasi” kata-kata seperti “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
Kemerdekaan Indonesia” merupakan “kontrak/consensus”
dari seluruh bangsa Indonesia sebagai bangsa
(nation). Kalimat yang termaktub kemudian didalam mukadiman (Pembukaan) UUD
1945 “Atas berkat Rakhmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorongkan keinginan yang luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesai menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
Sebagai “ikrar/kontrak/consensus” maka Indonesia sebagai negara merupakan
keniscayaan sebagai “nation”.
Sehingga mempersoalkan “dasar negara’, “mempersoalkan
bentuk negara” ataupun asas negara’
merupakan pengingkaran dari
“ikrar/kontrak/consensus”.
Dalam perumpamaan lebih kecil negara
dapat dilihat didalam keluarga. Ketika sang ayah dan sang Ibu bertemu kemudian
menyepakati membangun keluarga maka keluarga yang dibentuk adalah “kontrak/consensus/perjanjian.
Baik perjanjian menurut agama seperti “ijab kabul” maupun perjanjian menurut
negara seperti “ikrar nikah”. Diaturlah tentang “perjanjian” seperti diatur
didalam UU Perkawinan.
Setelah keluarga kemudian ditetapkan
maka “Kepala Keluarga” kemudian dipilih. Apakah sang ayah yang bertugas mencari
nafkah (investor) atau sang Ibu. Tugas yang harus disepakati. Baik sebelum
perkawinan (terbentuknya negara) maupun selama perkawinan.
Ketika sang Ayah kemudian ditetapkan
(ataupun disepakati) sebagai Kepala Keluarga didalam rumah tangga, maka sang
Ibu kemudian ditugaskan mengatur, mengelola urusan rumah tangga (Menteri dalam
negeri dan Menteri Keuangan). Sehingga keuangan rumah tangga dapat dikontrol
dan tidak menimbulkan persoalan.
Lalu apakah keluarga tidak
dibolehkan untuk meminjam uang atau berutang. Boleh. Selama mampu. Dan
digunakan untuk Kebutuhan rumah tangga. Baik dengan meminjam dengan nilai kecil
maupun dengan nilai yang besar dan berjangka panjang (kredit).
Boleh. Baik dengan pertimbangan
jangka panjang untuk membayar maupun usulan dari Menteri Keuangan dengna
melihat neraca keuangan agar mampu membayar dan tidak dinyatakan bangkrut
(pailit).
Dengan demikian maka keluarga dapat “kredit”
rumah, mobil, kulkas atau alat-alat rumah tangga. Dengan pertimbangan Menteri
Keuangan maka kredit menjadi tanggungjawab bersama. Menteri Keuangan kemudian
mengatur bagaimana “kehidupan” rumah tidak terganggu. Atau rumah tangga
(Negara) harus berhemat agar dapat membantu membayar kredit.
Atau apabila harga-harga barang
kemudian naik (krisis global) maka Sang Ibu dapat menetapkan untuk mengurangi
pembelian pulsa. Atau mengurangi pembelian cabe sebagai kebutuhan sehari-hari.
Setelah kelahiran putra-putri maka
sang ayah bermusyawarah dengan Sang Ibu. Keduanya kemudian menetapkan aturan
rumah tangga. Misalnya masuk rumah harus membuka sepatu atau sandal.
Mengucapkan salam, mencium tangan. Atau keluar dari rumah tidak dibenarkan
tanpa izin.
Aturan ini harus ditetapkan “tanpa
pilih kasih”, tegas dan Adil. Tidak
boleh berat sebelah. Aturan untuk menegakkan aturan rumah tangga sehingga tercapai
“sopan santun” apabila bertamu kerumah orang lain.
Sang ayah kemudian menetapkan aturan
rumah tangga. Yang tua harus mengalah kepada yang kecil. Yang kecil harus sopan
dan tidak dibenarkan memanggil namanya. Harus berupa panggilan “bang” atau “kakak”
atau panggilan yang menunjukkan derajat kekeluargaan.
Sang ayah harus memberikan
kesempatan kepada seluruh keluarga untuk mengemukakan pendapatnya tentang persoalan
keluarga, menyampaikan keinginanan (yang
kemudian dikenal aspirasi. Dalam ranah HAM kemudian dikenal sebagai hak
menyampaikan pendapat), menyampaikan ketidaksukaan (sering juga disampaikan sebagai protes) tentang ketidakadilan.
Bahkan dapat menyampaikan sikap dengan tegas (seperti merajuk misalnya), boikot terhadap perintah dari sang Ayah.
Sang Ayah harus menjelaskan terhadap
pilihan yang diambil, mendengarkan seluruh keluhan seluruh keluarga. Mendengarkan
seluruh pendapatnya. Tidak ada pembedaan antara satu anak dengan yang lain.
Baik yang kecil maupun yang besar. Dengan demikian maka tercapai “keseimbangan
atau harmoni” sehingga seluruh merasa diayomi.
Namun terhadap “consensus,
perjanjian, kontrak” sebagai keluarga tidak dapat diotak-atik. Kontrak yang
harus dihormati dan dilaksanakan oleh seluruh keluarga.
Terhadap pembangkangan terhadap “consensus,
kontrak, perjanjian” dapat “dikeluarkan” dari keluarga. Atau sang penghuni
dapat keluar dari rumah tanpa mengganggu kenyamanan anggota keluarga lainnya.
Apakah satu dengan lain tidak
dibenarkan “berbeda pendapat” ? Itu sesuatu yang mustahil. Favorit sepakbola
dalam main PS saja tidak mungkin seragam. Masing-masing memilih dengan alasannya.
Entah memegang Barca, Madrid atau Arsenal.
Atau suka denga Messi atau Ronaldo.
Kesemuanya dibenarkan untuk memilih
tanpa harus mengejek terhadap pilihan anggota keluarga lainnya.
Begitu juga menyelesaikan
pertengkaran atau perselisihan dalam keluarga. Mendengarkan sang pelapor dan
mendengarkan klarifiikasi dari yang dilaporkan. Dan mengambil keputusan secara
bijaksana dan dapat diterima kedua belah.
Namun demi kebersamaan harus
tenggang antara satu dengan yang lain. Misalnya menonton televisi. Maka pada
jam-jam tertentu, sang kakak harus mengalah dengan adik yang hendak menonton
kartun. Atau sang adik harus mengalah apabila ada acara favorit sang kakak.
Sang ayah tidak dibenarkan untuk
membeli masing-masing anak dengan satu televisi dan meletakkan didalam kamarnya
masing-masing. Selain tidak mendidik juga tidak terbangun “rasa tenggang rasa (tepo saliro) yang merupakan pondasi keluarga.
Sebagai satu keluarga utuh antara
satu dengan yang lain harus saling menolong, saling memberi, tidak boleh egois
dan mau berbagi. Dengan demikian maka tercipta keharmonisan.
Dengan tercipta keharmonisan maka
apapun masalah dapat diselesaikan secara bersama-sama.
Mudahkan.
Ya. Mudah. Makanya sebelum memimpin
orang lain, pimpinlah “negara kecil”
dalam keluargamu.
Baca : NARASI KEBANGSAAN (2)