Sebagai
bentuk keterbukaan dengan masyarakat pendatang maka dikenal “tanah pemberian”. Di
Marga Batin Pengambang setelah melalui prosesi “setawar dingin” dan “lambas”[1]
maka kemudian diberikan tanah seluas 2 hektar.
Di
Marga Batang Asai Tengah[2],
tanah didapatkan yang dikenal Membuka hutan atau rimbo atau tanah untuk Pertanian
sawah yang dikenal Umo dan Talang. Prosesi yang dilalui seperti Betaun bersamo[3],
Rapat Kenduri[4], Melambas[5],
Lemah Paradun[6].
Masing-masing mendapatkan 2 hektar.
Di
Marga Simpang Tigo Pauh dikenal Seloko “Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano
tamilang dicacak disitu tanaman tumbuh”[7]. Luasnya sesuai untuk kebutuhan
membuat rumah dan membuka lahan untuk berkebun[8]
Di Marga Air Hitam dikenal “tanah bejenang”. Tanah diberikan untuk kebutuhan
rumah dan “umo” [9].
Di Marga Serampas dikenal “tanah arah’. Tanah arah ini hanya untuk keluarga baru dan penerima harus sudah
bisa mengumpulkan bahan bangunan untuk membuat rumah[10].
Di Marga Sungai Tenang pemberian tanah juga kepada
perkampungan/pemukiman terhadap masyarakat. Dikenal “tanah irung. Tanah Gunting”
dan “ujung batin”. Tanah Irung dan Tanah gunting kemudian dikenal Desa Tanjung
Alam dan Desa Tanjung Mudo. Sedangkan Tanah Ujung batin dikenal terhadap
wilayah Desa Beringin Tinggi. Selain itu juga diberikan Sungai Lisai kemudian masuk kedalam wilayah
Sungai Lisai Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Provinsi
Bengkulu. Lokasi desa yang berada di
tengah-tengah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Jarak Desa Sungai Lisai ke
Desa Seblat Ulu yang merupakan desa terdekat, hanya 9,5 kilometer.
Selain itu juga dikenal Inum Pendum yang sekarang dikenal Renah Alai[11].
Di Desa Renah Pelaan tanah diberikan setelah melalui prosesi yang
dikenal dengan istilah “puji perago” [12].
Di Desa Gedang[13]. setelah melalui prosesi “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri
bernenek mamak”[14],
“Turun pangkal tahun”[15],
“Lambas”[16], maka Setiap Kepala Keluarga hanya boleh membuka
1 ha dan harus ditanami selama 3 tahun. Apabila tidak ditanami, maka tidak
boleh membuka rimbo lagi. Begitu juga Desa Kotobaru[17], setelah melalui prosesi “Alam berajo, rantau
bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak”, “rapat besar”, “Bismilah Ke
humo”, “jeluang”, maka mendapatkan 1 hektar. Begitu juga Desa Tanjung Benuang[18], Desa Tanjung Alam[19], Desa Tanjung Mudo[20].
Selain itu di Marga Sungai Tenang dikenal “sepenegak rumah’. Dimana luas tanah yang dberikan untuk perumahan[21].
Di Desa Rantau Bedaro terdapat 15 Hektar dan yang berhak menanam di
lahan tersebut adalah keturunan nenek 4, yaitu kalbu Rendah, kalbu Solok, kalbu
Cabul dan kalbu Talang, yang kesemuanya sudah dibedakan lokasi masing-masing.
Kalbu Rendah sebelah ilir, kalbu solok sebelah tengah, kalbu cabul sebelah atas
dan kalbu talang sebelah atas juga[22].
Di
Marga Pelepat dikenal Pemberian tanah yang disebut didalam seloko “Sejalar Peringgi. Sekokok Ayam”. Seloko
ini melambangkan wilayah yang hendak diberikan[23].
Begitu juga wilayah Ujung Tanjung yang diberi gelar Rio Bagindo merupakan
wilayah “Sebiduk luncur. Sekokok ayam.
Marga
IX Koto dikenal “koto yang ramai”. Daerah ini kemudian dikenal sebagai daerah
Transmigrasi di Rimbo Bujang[24].
Di Lubuk Mandarsyah setiap keluraga
diberikan dengan membuka lebar 25 meter dan panjang 100 meter atau istilah
dikampung dinamakan dengan “tapak”[25]. Sedangkan di Marga
Kumpeh Ilir dikenal dengan istilah “Bidang” setelah melalui prosesi “Pancung
alas”.
Marga
Jebus di Desa Rukam dikenal “jejawi
berbaris dan tali gawe’. Di Marga Berbak
dikenal “umo Genah’.
[8] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
[10] Ishak
Pendi, Sekretaris Lembaga Adat Serampas, Mongabay.com, 28 Februari 2017
[11] Ali Nahu, Pulau Tengah, 15
Maret 2016
[13] Peraturan Desa Gedang
Nomor 3 tahun 2011 Tentang Keputusan
Adat Istiadat Depati Suko Merajo
[17] Perdes Kotobaru No. Tahun 2014 KEPUTUSAN
DEPATI SUKO DERAJO
[24] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali,
16 Agustus 2016