Akhir-akhir
ini tema “pembuktian terbalik” mulai
mengemuka dan menarik perhatian publik. Tema yang menarik setelah KPK akan
menerapkan dalam berbagai kasus.
Istilah
“pembuktian terbalik” kurang tepat
apabila kita sandingkan dengan makna “Omkering
van het Bewijslast” atau “Reversal
Burden of Proof”. Andi Hamzah menggunakan istilah “Pembalikan beban pembuktian”. Mekanisme ini ditempuh untuk “membalikkan beban pembuktian”
sebagaimana semula menjadi beban dari Jaksa penuntut Umum. Yahya Harahap
kemudian mengingatkan tentang beban pembuktian oleh Jaksa penuntut Umum.
Dalam
praktek hukum acara pidana, terdakwa haruslah ditempatkan sebagai “orang tidak bersalah”. “Setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntutu dan atau dihadapkan dimuka
siding pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
(Penjelasan Umum butir ketiga huruf c KUHAP). Asas yang kemudian dikenal “asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence).
Pasal
66 KUHAP kemudian menegaskan “tersangka
atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Sedangkan penjelasan
pasal 66 KUHAP kemudian menerangkan “Ketentuan ini
adalah penjelmaan dari asas "praduga tak bersalah".
Makna
ini kemudian dapat dilihat didalam pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) “Terdakwa mempunyai hak
untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”.
Dengan demikian maka beban
pembuktian dibebankan kepada penuntut umum.
Namun
makna “adanya dugaan terjadinya tindak
pidana korupsi” tidak hanya berhenti. Didalam pasal 37 ayat (3) UU Tipikor
disebutkan “Terdakwa wajib
memberikan keterangan tentang Seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
Makna ini
kemudian menegaskan sebagaimana diatur didalam Pasal 37 ayat (4) UU Tipikor “Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang
kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat
buktu yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Dengan
demikian maka terdakwa kemudian harus membuktikan “harta yang didapatkannya bukanlah dari tindak pidana korupsi”. Beban
pembuktian semula dari Jaksa Penuntut Umum kemudian beraliha. Terdakwalah yang
kemudian menentukan. Apakah “harta yang
didapatkan dengan cara yang wajar atau tidak’.
Mekanisme
ini merupakan kesempatan bagi terdakwa untuk membuktikan terhadap hartanya.
Apakah harta yang didapatkan tidak berkaitan melanggar hukum. Atau harta yang
didapatkan dengan cara-cara yang baik. Misalnya mendapatkan warisan.
Dengan
menggunakan kesempatan ini akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk menilai “cara
mendapatkan’ harta tersebut.
Gampang khan
?
Namun apabila
terdakwa tidak mampu membuktikan harta yang didapatkan dengan cara wajar”, maka
terdakwa kemudian dikategorikan sebagai “tidak
dapat membuktikan tentang kekayaannya maka memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) UU Tipikor).
Hakim
akan mudah menjadikan alat bukti terhadap terjadinya tindak pidana korupsi. Dan
kemudian menempatkan didalam pasal-pasal yang dituduhkan.
Makna
inilah yang kemudian dikenal sebagai Istilah
“Omkering van het Bewijslast”
atau “Reversal Burden of
Proof”. Atau “Pembalikan beban pembuktian”.
“Pembalikan beban pembuktian’
merupakan salah satu bentuk filter sekaligus untuk mengukur kekayaan yang
didapatkannya. Apakah harta yang didapatkan berkaitan dengan pemberian yang
berkaitan dengan jabatannya (in zijn bediening) atau berlawanan dengan kewajibannya
(in strijd met zijn pliecth).
Mekanisme “Pembalikan beban
pembuktian” merupakan roh dari UU No. 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggara
Negara yang bersih dan Bebas dari korupsi, Nepotisme. Makna ini kemudian
ditempatkan sebagai sifat premium remidium dari UU No 20 Tahun 2001. Sehingga
setiap penyelenggara negara harus bersih dari “dugaan” tindak pidana korupsi.
Dalam praktek sehari-hari, bukankah
kita selalu bertanya kepada anak-anak kita terhadap uang saku yang diberikan
kemudian dibelikan untuk apa saja sekolah ? Dan bukankah kita akan menimbulkan
tanda tanya ternyata dia membelikan barang-barang yang menurut perhitungan kita
tidak mampu dibelikannya.
Lalu. Mengapa kita tidak
bertanya-tanya mengenai harta yang didapatkan dalam periode jabatannya ?