Membaca
kisah peraih Emas ke 30 di Asian Games membuat menitik airmata. Tidak terasa
rasa haru menggumpal didada. Tenggelam dari riuh gemerlap sorak sorai penonton
menyambut gembira. Melengkapi kisah perjalanan panjang.
Dengan
judul “Pencak Silat Memeluk Semua Yang Mencintainya”, “Yeo Meng Tong”
menggambarkan kondisi social yang dialaminya. Nama yang menggambarkan Tionghoa
dengan alasan social kemudian “diperbaiki” Wewey Wita.
Wewey
Wita adalah gambaran triple minoritas. Perempuan, Tionghoa dan non muslim.
Sebuah Stereotip dan kenyataan social yang marak terjadi. Melengkap cerita
tentang Meilina dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ditambah menekuni olahraga
pencak silat yang digambarkan “milik Melayu” dengan kulit coklat.
Sebagai
kelompok minoritas mengalami berbagai bentuk diskriminasi, kondisi social membuat
Wewey Wita ‘pintar” menyesuaikan diri. Tenggelam dengan latihan panjang
menjelang kejuaraan.
Kelompok
yang mengalami “tempat penghinaan’, “tempat mencaci maki”, “mempersoalkan
ekonomi”. Bahkan berbagai tindakan rasial yang jauh dari esensi makna bangsa
bermartabat.
Lihatlah.
Berbagai ujaran kebencian disampaikan pada suara-suara demonstrasi. Dalam
berbagai materi agama. Bahkan dalam mimbar-mimbar ilmiah.
Ujaran
kebencian kemudian diwujudkan dalam ranah politik. Tema tentang “pribumi’, “putra
daerah” adalah gambaran politik yang mundur sebelum tahun 1908.
Namun
Wewey Wita kemudian membuka mata. Wewey Wita menggambarkan kenyataan social.
Wewey Wita menggeluti Pencak Silat sebagai “mascot” olahraga Indonesia.
Wewey
Wita menghentak. Membongkar nurani. Mempertanyakan Keindonesiaan. Menggugat
ketidakadilan dengan wujud medali emas. Wewey Wita tidak cengeng. Wewey Wita
melawan dengan bukti prestasi.
Dengan
Pencak Silat, Wewey Wita kemudian mengembalikan makna filosofi olahraga. Tidak
ada sekat-sekat social. Tidak ada lagi sekat dengan alasan warna kulit.
Dengan
tagline “memeluk”, Wewey Wita mengembalikan hakekat olahraga. Mengembalikan
makna tentang sportifitas. Membangun kesadaran tentang Keindonesian melalui
olahraga.
Wewey
Wita menyadarkan tentang “makna” memeluk. Mengembalikan sifat Pencak Silat itu
sendiri. Sebagai wadah untuk bergandengan tangan.
Tagline
“memeluk” adalah gugatan sekaligus ajakan akan makna bangsa berdaulat. Bangsa
bermartabat. Bangsa yang menjunjung keberagaman. Dan menempatkan satu dengan
lain tanpa perbedaan disebabkan warna kulit, asal-usul, agama dan suku bangsa.
Sekali
lagi “wajah kita tertampar”. Mengembalikan ingatan kolektif tentang
berbangsa-bernegara.
Dan,
mari kita sambut pelukan dari Wewey Wita. Sebagai satu bangsa. Bangsa
Indonesia.