Sebagai
“Menteri Keuangan”, posisi sang istri begitu strategis. Entah “mengatur” uang
masuk, membelanjakan kebutuhan rumah, menyimpan sedikit untu membeli kain
gorden atau cuma sekedar “membeli tekwan, mie ayam atau bakso” ditengah malam. Atau
harus “mempunyai cash money” untuk membeli genteng yang bocor atau ganti bola
lampu, atau memperbaiki mesin air yang rusak.
Sebagai
“Menteri Keuangan”, dia harus mempunyai jaringan local. Dapat mengambil
bahan-bahan bangunan sembari adanya yang kontan. Dikalangan bisnis biasa
dikenal “utang”. Tentu saja mengukur dengna kemampuan membayar. Termasuk juga
mengambil “keramik, kerikil, semen atau bahan-bahan bangunan yang lainnya.
Sebagai
Menteri Keuangan, dia juga harus mempunyai jaringan untuk mengambil kebutuhan
jangka panjang. Entah untuk “kredit rumah”, “kredit motor, kredit mobil. Bahkan
untuk kredit-kredit elektronik seperti televise, kulkas, Handphone atau cuma
sekedar Play station (PS). Jaringan ini diperlukan agar dapat memenuhi sembari
menghitung kemampuan membayar.
Sebagai
“Menteri Perencanaan Pembangunan Lokal”, putri tertuaku yang mempunyai
background matemika kemudian melakukan kalkulasi matematika. Entah menghitung “apakah
kemudian memilih untuk kredit jangka panjang, menunda pembelian karena selisih
bunga yang tinggi atau sama sekali tidak diperlukan untuk membeli. Aku
menyebutnya “Bappenas”.
Dengan
rumus-rumus menghitung bunga, kemampuan membayar kemudian memberikan
pertimbangan didalam keluarga untuk menentukan langkah selanjutnya.
Dengan
penghitungan “itulah” kemudian sebagai Kepala Keluarga kemudian mengambil
keputusan. Termasuk menghitung resiko terburuk sekalipun. Bahkan termasuk untuk
menunda pembelian barang-barang tertentu. Atau bisa saja mengeluarkan kas keluarga
untuk “sekedar membeli barang” untuk kebutuhan, sekedar “touring” jalan-jalan
keluar kota, memberikan porsi sepenuhnya untuk lebaran. Jabatan inilah yang
kemudian dikenal sebagai Presiden.
Dari
hasil “Rapat cabinet” kemudian diputuskan, barang-barang kebutuhan rumah tangga
dapat dilakukan dengan kredit berjangka. Kredit rumah dapat diambil dengna
menghitung kemampuan membayar setiap bulan dan waktu yang panjang. Sehingga
kemampuan membayar tidak mengganggu atau memberatkan kebutuhan sehari-hari.
Entah membayar listrik, membeli bbm atau kebutuhan rumah tangga lain. Orang menyebutkannya
“utang”
Jadi
walaupun pemasukan 5 juta (misalnya), sedangkan harga rumah 30 x lipat, namun
dengan kemampuan membayar dan jangka yang panjang, “rapat cabinet” memutuskan
untuk mengambil rumah.
Begitu
juga untuk mengambil kredit motor untuk kebutuhan Si kakak atau si abang.
Dengan menghitung harga motor 4 x lipat, namun dengna melihat kemampuan
membayar bulanan dan waktunya, maka “rapat kabinet’ memutuskan untuk mengambil
kredit motor.
Jadi
apabila ditotalkan “utang” seluruhnya mencapai hingga 80 x lipat pendapatan
namun dengan penghitungan kemampuan membayar dan rentang waktu yang lama, maka
dari neraca keuangan, tidak mengganggu. Neraca tetap sehat.
Makanya
saya bingung dengan “klaim” utang negara yang bisa 4 kali APBN. Kemudian
mencak-mencak. “Mungkin dia tidak
terbiasa mengurusi management keuangan rumah tangga”, kataku menghibur
diri.
Namun
terhadap barang-barang elektronik seperti kulkas, televise, atau handphone
terbaru maka “rapat cabinet” memutuskan tidak menggunakan fasilitas kredit.
Selain waktu yang pendek dan kemampuan membayar masih bisa ditanggulangi namun
dapat merugikan neraca keuangan negara. Sehingga diputuskan untuk membeli
dengan kontan. Atau menunda pembelian hingga terkumpulnya uang.
Berbeda
dengan PS. Walaupun dengan penghitungan“kredit” rugi, namun “rengekkan” suara
si Bungsu, “rapat cabinet” memutuskan untuk mengambil. Selain meneduhkan
suasana di rumah, cara ini juga untuk memenuhi janji ketika sang Bungsu rangking
10 besar.
Pembelian
barang-barang elektronik kemudian disebut sebagai kebutuhan konsumtif. Boleh
dibelanjakan. Apabila kemampuan yang lain sudah mampu terpenuhi.
Begitulah
managemen keluarga disusun dan diambil keputusan bersama. Tentu saja dengan penghitungan
itulah tidak mengganggu neraca kebutuhan sehari setiap akhir pekan bisa
kongkow-kongkow di Starbuck atau di J-Co. Atau sesekali menonton film di
Tweenty-one.
“Gampang, ma. Kalau gampang seperti
ini, Aku bisa jadi Presiden”,
kataku sembari tersenyum.
“Jangan ngayal. Sana panggil si Abang. Angkat
sampah”, ketus istriku sembari memencet remote .
“Nah. Masa Menteri Keuangan
mengatur Presiden”. Kataku.