11 September 2018

PRESIDEN – MENKEU - BAPPENAS


Sebagai “Menteri Keuangan”, posisi sang istri begitu strategis. Entah “mengatur” uang masuk, membelanjakan kebutuhan rumah, menyimpan sedikit untu membeli kain gorden atau cuma sekedar “membeli tekwan, mie ayam atau bakso” ditengah malam. Atau harus “mempunyai cash money” untuk membeli genteng yang bocor atau ganti bola lampu, atau memperbaiki mesin air yang rusak.

Sebagai “Menteri Keuangan”, dia harus mempunyai jaringan local. Dapat mengambil bahan-bahan bangunan sembari adanya yang kontan. Dikalangan bisnis biasa dikenal “utang”. Tentu saja mengukur dengna kemampuan membayar. Termasuk juga mengambil “keramik, kerikil, semen atau bahan-bahan bangunan yang lainnya.

Sebagai Menteri Keuangan, dia juga harus mempunyai jaringan untuk mengambil kebutuhan jangka panjang. Entah untuk “kredit rumah”, “kredit motor, kredit mobil. Bahkan untuk kredit-kredit elektronik seperti televise, kulkas, Handphone atau cuma sekedar Play station (PS). Jaringan ini diperlukan agar dapat memenuhi sembari menghitung kemampuan membayar.

Sebagai “Menteri Perencanaan Pembangunan Lokal”, putri tertuaku yang mempunyai background matemika kemudian melakukan kalkulasi matematika. Entah menghitung “apakah kemudian memilih untuk kredit jangka panjang, menunda pembelian karena selisih bunga yang tinggi atau sama sekali tidak diperlukan untuk membeli. Aku menyebutnya “Bappenas”.

Dengan rumus-rumus menghitung bunga, kemampuan membayar kemudian memberikan pertimbangan didalam keluarga untuk menentukan langkah selanjutnya.

Dengan penghitungan “itulah” kemudian sebagai Kepala Keluarga kemudian mengambil keputusan. Termasuk menghitung resiko terburuk sekalipun. Bahkan termasuk untuk menunda pembelian barang-barang tertentu. Atau bisa saja mengeluarkan kas keluarga untuk “sekedar membeli barang” untuk kebutuhan, sekedar “touring” jalan-jalan keluar kota, memberikan porsi sepenuhnya untuk lebaran. Jabatan inilah yang kemudian dikenal sebagai Presiden.

Dari hasil “Rapat cabinet” kemudian diputuskan, barang-barang kebutuhan rumah tangga dapat dilakukan dengan kredit berjangka. Kredit rumah dapat diambil dengna menghitung kemampuan membayar setiap bulan dan waktu yang panjang. Sehingga kemampuan membayar tidak mengganggu atau memberatkan kebutuhan sehari-hari. Entah membayar listrik, membeli bbm atau kebutuhan rumah tangga lain. Orang menyebutkannya “utang”

Jadi walaupun pemasukan 5 juta (misalnya), sedangkan harga rumah 30 x lipat, namun dengan kemampuan membayar dan jangka yang panjang, “rapat cabinet” memutuskan untuk mengambil rumah.

Begitu juga untuk mengambil kredit motor untuk kebutuhan Si kakak atau si abang. Dengan menghitung harga motor 4 x lipat, namun dengna melihat kemampuan membayar bulanan dan waktunya, maka “rapat kabinet’ memutuskan untuk mengambil kredit motor.

Jadi apabila ditotalkan “utang” seluruhnya mencapai hingga 80 x lipat pendapatan namun dengan penghitungan kemampuan membayar dan rentang waktu yang lama, maka dari neraca keuangan, tidak mengganggu. Neraca tetap sehat.

Makanya saya bingung dengan “klaim” utang negara yang bisa 4 kali APBN. Kemudian mencak-mencak. “Mungkin dia tidak terbiasa mengurusi management keuangan rumah tangga”, kataku menghibur diri.

Namun terhadap barang-barang elektronik seperti kulkas, televise, atau handphone terbaru maka “rapat cabinet” memutuskan tidak menggunakan fasilitas kredit. Selain waktu yang pendek dan kemampuan membayar masih bisa ditanggulangi namun dapat merugikan neraca keuangan negara. Sehingga diputuskan untuk membeli dengan kontan. Atau menunda pembelian hingga terkumpulnya uang.

Berbeda dengan PS. Walaupun dengan penghitungan“kredit” rugi, namun “rengekkan” suara si Bungsu, “rapat cabinet” memutuskan untuk mengambil. Selain meneduhkan suasana di rumah, cara ini juga untuk memenuhi janji ketika sang Bungsu rangking 10 besar.

Pembelian barang-barang elektronik kemudian disebut sebagai kebutuhan konsumtif. Boleh dibelanjakan. Apabila kemampuan yang lain sudah mampu terpenuhi.

Begitulah managemen keluarga disusun dan diambil keputusan bersama. Tentu saja dengan penghitungan itulah tidak mengganggu neraca kebutuhan sehari setiap akhir pekan bisa kongkow-kongkow di Starbuck atau di J-Co. Atau sesekali menonton film di Tweenty-one.

“Gampang, ma. Kalau gampang seperti ini, Aku bisa jadi Presiden”, kataku sembari tersenyum.

Jangan ngayal. Sana panggil si Abang. Angkat sampah”, ketus istriku sembari memencet remote .

“Nah. Masa Menteri Keuangan mengatur Presiden”. Kataku.