03 Oktober 2018

opini musri nauli : Machiavelli, Sun Tzu dan Wajah lebam


Dalam polemic peristiwa wajah lebam dalam Tarik menarik operasi plastic dan pemukulan, desain politik mudah terbaca. Dengan mengemas hoax wajah lebam, maka “daya ledak” akan menyarangkan moncongnya ke jantung ulu hati. Mengemas “playing victim” maka kemudian akan meraih dukungan public. Simpati public yang mudah iba dengan para korban.

Cara meraih kemenangan dengan menghalalkan segala cara dikenalkan oleh Niccolo Machiavelli. Termasuk cara-cara kotor yang sering digunakan para dictator diberbagai negara. Cara kotor ini kemudian jauh dari nilai keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan.

Cara kotor inilah kemudian dinampakkan pada pilpres 2014. Berbagai fitnah baik disebarkan melalui koran “obor rakyat” yang terbukti hoax, fitnah dengan tuduhan serius seperti komunis, antek maupun berbagai ujaran kebencian yang meledak dan menjauhkan pilpres sebagai ajang konstalasi politik yang menggembirakan.

Cara menyebar hoax juga mengingatkan 36 strategi Sun Tzu. Strategi “menyebarkan berita bohong” adalah strategi menimbulkan kekacauan. Dengan memaparkan kekerasan dan hendak menonjolkan kekacauan, maka negara kemudian tidak mendapatkan dukungan dan simpati dari public.

Strategi ini juga bertujuan untuk “memancing diair keruh” maka menimbulkan kekacauan/chaos sehingga mendapatkan dukungan dari public untuk tidak memberontak kepada negara.

Dengan menembakkan “kekerasan dan penganiayaan” maka desain kemudian disusun sebagai strategi perang setelah sebelumnya berbagai issu kurang mendapatkan dukungan public. Entah issu komunisme, antek asing, anti agama, kriminalisasi agama dan berbagai sampah-sampah yang diproduksi terus menerus setiap hari.

Cara ini kemudian berhasil dan menggiring public. Publik kemudian menjadi iba dan memberikan dukungan dan simpati. Berbagai suara-suara public didunia maya menggambarkan dukungan dari berbagai pihak. Mereka kemudian memberikan simpati dan menolak kekerasan.

Namun kata orang bijak. “Serapat-rapat menyimpan bangkai, akan tercium baunya”. Kebohongan dizaman sekarang adalah sebuah kenafikan. Jejak digital sebagai pewarta kabar yang sering bohong kemudian menimbulkan keheranan. Dunia milenial mampu memproteksi dengan membongkar kejanggalan.

Kejanggalan pertama adalah apakah mungkin sebagai pejuang diperlakukan hingga menderita seperti itu kemudian tidak melakukan perlawanan ?

Kejanggalan kedua adalah rangkaian cerita yang disusun tidak sistematis dan runut. Dan terbukti. Menyimpan kebohongan tidak semudah untuk mengurutkan kebohongan satu dengan yang lain.

Dengan kebohongan itulah kemudian pihak keamanan bergerak. Menyusuri satu informasi dengan informasi lain. Menyusun satu cerita dengan cerita yang lain. Bak menyusun puzzle. Tersusun satu dengan yang lain.

Dan yang sering dilupakan adalah pihak kepolisian dipimpin Jenderal Tito Karnavian, ahli terorisme. Dengan mudah kemudian mengungkapkan hoax. Bukankah ketika kasus terorisme, sering dikemas dengan hoax. Entah dukungan kepada terorisme, membuat berita tentang teroris yang wangi bak bidadari atau memberikan pendanaan kepada organisasi terorisme di Suriah. Semuanya dipatahkan dengan mudah oleh pihak kepolisian.

Atau ketika menyelesaikan penyerbuan Mako Brimob yang sempat menarik perhatian public ketika public “dipaksa” menerima dukungan kepada para pelaku bom terorisme. Namun Kepolisian tidak terpancing. Dan menyelesaikan tanpa seorangpun yang terbunuh.

Dengan professional kemudian konferensi pers menerangkan berbagai kejanggalan terhadap peristiwa tentang wajah lebam. Dan kemudian menjadi terang dengan berbagai puzzle yang disusun.

Konferensi pers kemudian menjadi “perang psywar’. Dengan “memancarkan psywar” selain mengembalikan moril pasukan sekaligus mengirimkan pesan. Jangan coba-coba menyebarkan berita bohong.

Mengutip ancaman didalam UU ITE, psywar justru memakan tuan penyebar hoax. Tidak lama kemudian konferensi pers berlanjut dari Ratna Sarumpaet sendiri dan kemudian disusul berbagai permintaan maaf dari berbagai pihak. Tertunduk malu termakan cerita hoax. Baik dengan ucapan tulus maupun tetap menyesali terhadap kebenaran cerita.

Cara Machiavelli dan strategi Sun Tzu tidak mempan dimainkan. Selain strategi yang digunakan “kurang ciamik”, dukungan public kepada pihak kepolisian yang tinggi, juga strategi ini terlalu mudah dipatahkan. Dan dalam hitungan jam kemudian public menyaksikan drama kolosal paling memalukan. Para petinggi ternyata mudah diperdaya dengan berita bohong. Berita yang tidak pernah diklarifikasi kebenarannya.

Terima kasih Kepolisian. Telah membongkar wajah lebam.