Dalam
polemic peristiwa wajah lebam dalam Tarik menarik operasi plastic dan
pemukulan, desain politik mudah terbaca. Dengan mengemas hoax wajah lebam, maka
“daya ledak” akan menyarangkan moncongnya ke jantung ulu hati. Mengemas “playing
victim” maka kemudian akan meraih dukungan public. Simpati public yang mudah
iba dengan para korban.
Cara
meraih kemenangan dengan menghalalkan segala cara dikenalkan oleh Niccolo
Machiavelli. Termasuk cara-cara kotor yang sering digunakan para dictator diberbagai
negara. Cara kotor ini kemudian jauh dari nilai keadilan, kasih sayang,
kearifan, serta cinta, dan lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan,
ketakutan, dan penindasan.
Cara kotor inilah kemudian
dinampakkan pada pilpres 2014. Berbagai fitnah baik disebarkan melalui koran “obor
rakyat” yang terbukti hoax, fitnah dengan tuduhan serius seperti komunis, antek
maupun berbagai ujaran kebencian yang meledak dan menjauhkan pilpres sebagai
ajang konstalasi politik yang menggembirakan.
Cara menyebar hoax juga mengingatkan
36 strategi Sun Tzu. Strategi “menyebarkan berita bohong” adalah strategi
menimbulkan kekacauan. Dengan memaparkan kekerasan dan hendak menonjolkan
kekacauan, maka negara kemudian tidak mendapatkan dukungan dan simpati dari public.
Strategi ini juga bertujuan untuk “memancing
diair keruh” maka menimbulkan kekacauan/chaos sehingga mendapatkan dukungan
dari public untuk tidak memberontak kepada negara.
Dengan menembakkan “kekerasan dan
penganiayaan” maka desain kemudian disusun sebagai strategi perang setelah
sebelumnya berbagai issu kurang mendapatkan dukungan public. Entah issu
komunisme, antek asing, anti agama, kriminalisasi agama dan berbagai
sampah-sampah yang diproduksi terus menerus setiap hari.
Cara ini kemudian berhasil dan
menggiring public. Publik kemudian menjadi iba dan memberikan dukungan dan
simpati. Berbagai suara-suara public didunia maya menggambarkan dukungan dari
berbagai pihak. Mereka kemudian memberikan simpati dan menolak kekerasan.
Namun kata orang bijak. “Serapat-rapat
menyimpan bangkai, akan tercium baunya”. Kebohongan dizaman sekarang adalah
sebuah kenafikan. Jejak digital sebagai pewarta kabar yang sering bohong
kemudian menimbulkan keheranan. Dunia milenial mampu memproteksi dengan
membongkar kejanggalan.
Kejanggalan pertama adalah apakah
mungkin sebagai pejuang diperlakukan hingga menderita seperti itu kemudian
tidak melakukan perlawanan ?
Kejanggalan kedua adalah rangkaian
cerita yang disusun tidak sistematis dan runut. Dan terbukti. Menyimpan
kebohongan tidak semudah untuk mengurutkan kebohongan satu dengan yang lain.
Dengan kebohongan itulah kemudian pihak
keamanan bergerak. Menyusuri satu informasi dengan informasi lain. Menyusun
satu cerita dengan cerita yang lain. Bak menyusun puzzle. Tersusun satu dengan
yang lain.
Dan yang sering dilupakan adalah
pihak kepolisian dipimpin Jenderal Tito Karnavian, ahli terorisme. Dengan mudah
kemudian mengungkapkan hoax. Bukankah ketika kasus terorisme, sering dikemas dengan
hoax. Entah dukungan kepada terorisme, membuat berita tentang teroris yang
wangi bak bidadari atau memberikan pendanaan kepada organisasi terorisme di
Suriah. Semuanya dipatahkan dengan mudah oleh pihak kepolisian.
Atau ketika menyelesaikan penyerbuan
Mako Brimob yang sempat menarik perhatian public ketika public “dipaksa”
menerima dukungan kepada para pelaku bom terorisme. Namun Kepolisian tidak
terpancing. Dan menyelesaikan tanpa seorangpun yang terbunuh.
Dengan professional kemudian
konferensi pers menerangkan berbagai kejanggalan terhadap peristiwa tentang
wajah lebam. Dan kemudian menjadi terang dengan berbagai puzzle yang disusun.
Konferensi pers kemudian menjadi “perang
psywar’. Dengan “memancarkan psywar” selain mengembalikan moril pasukan
sekaligus mengirimkan pesan. Jangan coba-coba menyebarkan berita bohong.
Mengutip ancaman didalam UU ITE,
psywar justru memakan tuan penyebar hoax. Tidak lama kemudian konferensi pers
berlanjut dari Ratna Sarumpaet sendiri dan kemudian disusul berbagai permintaan
maaf dari berbagai pihak. Tertunduk malu termakan cerita hoax. Baik dengan
ucapan tulus maupun tetap menyesali terhadap kebenaran cerita.
Cara Machiavelli dan strategi Sun
Tzu tidak mempan dimainkan. Selain strategi yang digunakan “kurang ciamik”,
dukungan public kepada pihak kepolisian yang tinggi, juga strategi ini terlalu
mudah dipatahkan. Dan dalam hitungan jam kemudian public menyaksikan drama
kolosal paling memalukan. Para petinggi ternyata mudah diperdaya dengan berita
bohong. Berita yang tidak pernah diklarifikasi kebenarannya.
Terima kasih Kepolisian. Telah
membongkar wajah lebam.