17 Desember 2018

opini musri nauli : DUKA HATI JALANAN RUSAK



Mendapatkan kabar jembatan putus Jalur Padang – Padang Panjang – Bukittinggi di Kayutanam membuat hati menjadi duka. Jalur penting dan urat nadi ekonomi di Sumatera Barat.

Sejak tahun 2004, saya sering menempuh jalur ini. Baik di masa arus mudik ataupun perjalanan rutin.

Teringat ketika putra keduaku pesantren di padang Panjang. Biasanya setelah perjalanan di Bungo, Bangko, Tebo ataupun Sarolangun (biasanya saya ambil hari kamis), langsung “injak gas” menuju ke Padang panjang. Mengejar hari Jumat (Hari liburan untuk anak santri). Biasanya kemudian “turun” ke Padang cuma sekedar liburan. Maklum. Anak santri, makanan di warung makan merupakan “kemewahan tersendiri’.

Perjalanan ini rutin. Minimal sebulan sekali. Belum lagi ditambah arus mudik. Ke padang sekedar “nyekar’ ataupun ke Painan cuma sekedar menengok kampong mertua. Biasanya kemudian pulang ke Maninjau. Melihat kampong ibuku. Perjalanan rutin selama 3 tahun.

Setelah putraku kedua tamat dan melanjutkan ke pendidikan umum di Jambi, kakaknya yang tertua kemudian melanjutkan kuliah di Palembang. Praktis, arah ke Sumbar kemudian jarang ditempuh. Selain arus mudik.

Perjalanan kemudian dilanjutkan. Putra ketigaku kemudian melanjutkan sekolah di Padang Panjang. Kembali jalur ini ditempuh untuk sekedar jalan-jalan, arus mudik atau cuma “besuk” sang putra ketiga.

Makanya kemudian mendapatkan kabar putusnya jembatan “Disambar’ hujan deras menyebabkan hati menjadi duka. Jalur penting itu kemudian menjadi terputus.

Terbayang kemudian harus jalur memutar.

Padang – Padang pariaman dan keluar menjelang Bukittinggi. Ataupun jalur lain, Padang  - Solok  - Panjangpanjang – Bukittinggi.

Jangan tanya jauhnya. Jalur memutar yang mengitar Gunung Singgalang atau jalur dari Solok kemudian mengelilingi Danau Singkarak. Selain menyita waktu dan jauhnya jarak, sudah terbayang betapa kerepotan menempuh jalur yang memutar.

Namun yang membuat saya sedih, disaat jalur yang kemudian terputus, banyak yang kemudian menghubungkan dengan perilaku masyarakat Sumbar yang tidak memilih Jokowi.

Saya kemudian membaca sumpah serapah dan kemudian mengaitkan dengan pernyataan yang memilukan.

Pernyataan seperti “Sia yang bilang idak perlu infrastruktur. Sia yang bilang idak makan semen. Paja Kalera” (Siapa yang bilang tidak perlu infrastruktur. Siapa yang bilang tidak makan semen. Nah. Kalo terjemahan “Paja Kalera’, saya lebih suka menyebutkan, sumpah serapah terhadap orang yang keras kepala dan tidak mau diatur)

Terlepas dari urusan politik dimana Jokowi hanya meraih 30% suara di Sumbar, perbaikan jalur dan mengembalikan keadaan semula merupakan tanggungjawab negara. Jokowi tidak pernah melihat kepentingan dari suara yang diraihnya.

Tanggungjawab sebagai Kepala Pemerintahan yang tidak ingin rakyatnya menderita harus dikedepankan tanpa harus melihat dukungan suara politiknya.

Cara ini juga dilakukan untuk infrastruktur di Papua, datang ke NTB dan Sulteng hingga mengurusi daerah-darah terpencil.

Bukankah Jokowi datang ketika bencana di NTB dan Sulteng sebagai “Bapak” yang paling merasakan “kehilangan rumah”, “keluarga yang tidur ditenda-tenda”, bahkan kehilangan handai tolan ?

Dalam mengurusi “urusan” infrastruktur, “kesinambungan” antara pulau mutlak diperlukan. Sebagai Kepala Negara, Jokowi tidak perlu mengaitkan dengan kepentingna politik.

Itu cara yang masih terekam jelas gaya orde baru.

Bukankah kita masih ingat di memori ketika suara yang tidak mendukung orde baru kemudian jalannya tidak diurus ?.

Apakah kita mau mengulangi cara orde baru sementara kita mengutuk cara-cara orde baru.

Maka. Marilah kita beri dukungan, kita ingatkan kepada Jokowi. Agar mengurusi kewajibannya sebagai Kepala Pemerintahan. Memberikan keadilan kepada seluruh rakyat Indonesia.

Mari kita lupakan urusan copras capres yang justru mengkerdilkan jiwa kemanusiaan. Marilah kita bergandengan tangan melihat penderitaan anak negeri akibat bencana.

Tokh urusan pilpres cuma 5 detik di kotak suara. Namun yang kita nikmati dapat kita ceritakan kepada anak cucu kita.