Mendapatkan
kabar jembatan putus Jalur Padang – Padang Panjang – Bukittinggi di Kayutanam
membuat hati menjadi duka. Jalur penting dan urat nadi ekonomi di Sumatera
Barat.
Sejak
tahun 2004, saya sering menempuh jalur ini. Baik di masa arus mudik ataupun
perjalanan rutin.
Teringat
ketika putra keduaku pesantren di padang Panjang. Biasanya setelah perjalanan
di Bungo, Bangko, Tebo ataupun Sarolangun (biasanya saya ambil hari kamis),
langsung “injak gas” menuju ke Padang panjang. Mengejar hari Jumat (Hari
liburan untuk anak santri). Biasanya kemudian “turun” ke Padang cuma sekedar
liburan. Maklum. Anak santri, makanan di warung makan merupakan “kemewahan
tersendiri’.
Perjalanan
ini rutin. Minimal sebulan sekali. Belum lagi ditambah arus mudik. Ke padang
sekedar “nyekar’ ataupun ke Painan cuma sekedar menengok kampong mertua.
Biasanya kemudian pulang ke Maninjau. Melihat kampong ibuku. Perjalanan rutin selama
3 tahun.
Setelah
putraku kedua tamat dan melanjutkan ke pendidikan umum di Jambi, kakaknya yang
tertua kemudian melanjutkan kuliah di Palembang. Praktis, arah ke Sumbar
kemudian jarang ditempuh. Selain arus mudik.
Perjalanan
kemudian dilanjutkan. Putra ketigaku kemudian melanjutkan sekolah di Padang
Panjang. Kembali jalur ini ditempuh untuk sekedar jalan-jalan, arus mudik atau
cuma “besuk” sang putra ketiga.
Makanya
kemudian mendapatkan kabar putusnya jembatan “Disambar’ hujan deras menyebabkan
hati menjadi duka. Jalur penting itu kemudian menjadi terputus.
Terbayang
kemudian harus jalur memutar.
Padang
– Padang pariaman dan keluar menjelang Bukittinggi. Ataupun jalur lain,
Padang - Solok - Panjangpanjang – Bukittinggi.
Jangan
tanya jauhnya. Jalur memutar yang mengitar Gunung Singgalang atau jalur dari
Solok kemudian mengelilingi Danau Singkarak. Selain menyita waktu dan jauhnya
jarak, sudah terbayang betapa kerepotan menempuh jalur yang memutar.
Namun
yang membuat saya sedih, disaat jalur yang kemudian terputus, banyak yang
kemudian menghubungkan dengan perilaku masyarakat Sumbar yang tidak memilih
Jokowi.
Saya
kemudian membaca sumpah serapah dan kemudian mengaitkan dengan pernyataan yang
memilukan.
Pernyataan
seperti “Sia yang bilang idak perlu
infrastruktur. Sia yang bilang idak makan semen. Paja Kalera” (Siapa yang bilang tidak perlu
infrastruktur. Siapa yang bilang tidak makan semen. Nah. Kalo terjemahan “Paja
Kalera’, saya lebih suka menyebutkan, sumpah serapah terhadap orang yang keras
kepala dan tidak mau diatur)
Terlepas
dari urusan politik dimana Jokowi hanya meraih 30% suara di Sumbar, perbaikan
jalur dan mengembalikan keadaan semula merupakan tanggungjawab negara. Jokowi
tidak pernah melihat kepentingan dari suara yang diraihnya.
Tanggungjawab
sebagai Kepala Pemerintahan yang tidak ingin rakyatnya menderita harus
dikedepankan tanpa harus melihat dukungan suara politiknya.
Cara
ini juga dilakukan untuk infrastruktur di Papua, datang ke NTB dan Sulteng
hingga mengurusi daerah-darah terpencil.
Bukankah
Jokowi datang ketika bencana di NTB dan Sulteng sebagai “Bapak” yang paling
merasakan “kehilangan rumah”, “keluarga yang tidur ditenda-tenda”, bahkan
kehilangan handai tolan ?
Dalam
mengurusi “urusan” infrastruktur, “kesinambungan” antara pulau mutlak
diperlukan. Sebagai Kepala Negara, Jokowi tidak perlu mengaitkan dengan
kepentingna politik.
Itu
cara yang masih terekam jelas gaya orde baru.
Bukankah
kita masih ingat di memori ketika suara yang tidak mendukung orde baru kemudian
jalannya tidak diurus ?.
Apakah
kita mau mengulangi cara orde baru sementara kita mengutuk cara-cara orde baru.
Maka.
Marilah kita beri dukungan, kita ingatkan kepada Jokowi. Agar mengurusi
kewajibannya sebagai Kepala Pemerintahan. Memberikan keadilan kepada seluruh
rakyat Indonesia.
Mari
kita lupakan urusan copras capres yang justru mengkerdilkan jiwa kemanusiaan.
Marilah kita bergandengan tangan melihat penderitaan anak negeri akibat
bencana.
Tokh
urusan pilpres cuma 5 detik di kotak suara. Namun yang kita nikmati dapat kita
ceritakan kepada anak cucu kita.