18 Desember 2018

opini musri nauli : KRITIS


“Yah, ayah ikutkan demo Soeharto dulu ?“, tanya putra keduaku.. Mahasiswa akhir yang mulai kritis. Entah mendapatkan cerita dari sang ibu. Atau punya memori waktu kecil.

Ya. Aku ingat persis, ketika lahir tahun 1997, suasana hangat menumbangkan Soeharto begitu kuat. Entah rumahku sering disinggahi teman-teman buruh, teman mahasiswa ataupun teman-teman petani. Suasana kritis yang terus berlangsung hingga tahun 2000.

Jangan tanya suasana rumahku. Rame kayak pasar. Entah cuma sekedar “numpang” mandi, atau teman-teman yang langsung ke dapur untuk makan siang.

Rumah kontrakanku memang terbuka dengan kedatangan siapa saja. Mereka tidak canggung langsung ke dapur. Buka tudung saji. Kemudian makan tanpa beban. Biasanya istriku memang masak untuk orang banyak.. Jadi persediaan selalu cukup.

Bahkan seingatku, putraku pernah ikut demonstrasi “aksi petani” Empang Benao yang tertembak ketika paska kerusuhan PT. KDA.

Tentu saja berbagai yel-yel yang sering disuarakan masih terekam dibenaknya.

Teringat ketika waktu aku lagi dirumah. Istirahat santai. Dengan entengnya dia mengambil kartun. Menulis kata-kata. Kemudian keliling rumah sembari teriak-teriak.. Dia lebih mengenal yel-yel “rakyat bersatu tidak dikalahkan” daripada lagu-lagu anak-anak. Seperti “Balonku ada lima”, atau “Potong bebek angsa”..

Istriku cuma tersenyum.. “Nah. Lihat anakmu”.

Sehingga merekam jejak memori waktu kecil kemudian membuat dia selalu kritis. Entah “mempertanyakan” larangan ibunya, mengeluarkan argumentasi yang logis. Bahkan hingga sekarang, masih mencak-mencak melihat plat mobil dinas yang bersilewaran di jalan raya. Terutama hari minggu atau nongkrong di swalayan.

Dia juga kritis dengan beasiswa untuk mahasiswa. Alasannya masih kuingat. “Kita tidak boleh menerima beasiswa. Itu hak orang lain. Nanti akan dicabut rejeki”.

Atau dengan enteng dia melarang ibunya membeli gas 3 kg. Alasannya sama. “Itu bukan hak kita”.

Bahkan aku mendapatkan kabar. Dia kritis dengan teman-temannya. Berdebat dengan dosen yang menurutnya tidak masuk akal. Dengan enteng dia bercerita. “Masa tidak tahu, yah. Siapa penculik ? Masa kita masih mendukung penculik”.

Akupun tersenyum.

Dan ketika kukabarkan adanya undangan ketemu relawan dengan Jokowi. Pagi-pagi sibuk berkemas. Mandi. Memakai pakaian yang baik. Tidka lupa pakai minyak wangi. Entah mengapa minggu pagi, dia tidak mau menemani ibunya kepasar. Alasannya. “Ada acara penting”. Kamipun tertawa.

Sepulang dari acara. Dengan bangga dia bercerita kepada ibunya. “tangan Jokowi lembut, ma’. Dia ramah”.  Sang ibu tidak mau kalah. “Mana photonya ?”. Sambil kesal dia cuma berkata “tidak terpikir, ma. Itu be cukup”.

Entah apa yang dipikirkannya.

Namun aku yakin. Telah lahir anak muda, Kritis dengan keadaan sekitarnya.

Bagiku itulah kemewahan. Sebagaimana sering disampaikan oleh Tan Malaka. “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh Pemuda”.