“Yah,
ayah ikutkan demo Soeharto dulu ?“, tanya putra keduaku.. Mahasiswa akhir yang
mulai kritis. Entah mendapatkan cerita dari sang ibu. Atau punya memori waktu
kecil.
Ya.
Aku ingat persis, ketika lahir tahun 1997, suasana hangat menumbangkan Soeharto
begitu kuat. Entah rumahku sering disinggahi teman-teman buruh, teman mahasiswa
ataupun teman-teman petani. Suasana kritis yang terus berlangsung hingga tahun
2000.
Jangan
tanya suasana rumahku. Rame kayak pasar. Entah cuma sekedar “numpang” mandi,
atau teman-teman yang langsung ke dapur untuk makan siang.
Rumah
kontrakanku memang terbuka dengan kedatangan siapa saja. Mereka tidak canggung
langsung ke dapur. Buka tudung saji. Kemudian makan tanpa beban. Biasanya
istriku memang masak untuk orang banyak.. Jadi persediaan selalu cukup.
Bahkan
seingatku, putraku pernah ikut demonstrasi “aksi petani” Empang Benao yang
tertembak ketika paska kerusuhan PT. KDA.
Tentu
saja berbagai yel-yel yang sering disuarakan masih terekam dibenaknya.
Teringat
ketika waktu aku lagi dirumah. Istirahat santai. Dengan entengnya dia mengambil
kartun. Menulis kata-kata. Kemudian keliling rumah sembari teriak-teriak.. Dia
lebih mengenal yel-yel “rakyat bersatu tidak dikalahkan” daripada lagu-lagu
anak-anak. Seperti “Balonku ada lima”, atau “Potong bebek angsa”..
Istriku
cuma tersenyum.. “Nah. Lihat anakmu”.
Sehingga
merekam jejak memori waktu kecil kemudian membuat dia selalu kritis. Entah “mempertanyakan”
larangan ibunya, mengeluarkan argumentasi yang logis. Bahkan hingga sekarang,
masih mencak-mencak melihat plat mobil dinas yang bersilewaran di jalan raya.
Terutama hari minggu atau nongkrong di swalayan.
Dia
juga kritis dengan beasiswa untuk mahasiswa. Alasannya masih kuingat. “Kita tidak boleh menerima beasiswa. Itu hak
orang lain. Nanti akan dicabut rejeki”.
Atau
dengan enteng dia melarang ibunya membeli gas 3 kg. Alasannya sama. “Itu bukan
hak kita”.
Bahkan
aku mendapatkan kabar. Dia kritis dengan teman-temannya. Berdebat dengan dosen
yang menurutnya tidak masuk akal. Dengan enteng dia bercerita. “Masa tidak
tahu, yah. Siapa penculik ? Masa kita masih mendukung penculik”.
Akupun
tersenyum.
Dan
ketika kukabarkan adanya undangan ketemu relawan dengan Jokowi. Pagi-pagi sibuk
berkemas. Mandi. Memakai pakaian yang baik. Tidka lupa pakai minyak wangi.
Entah mengapa minggu pagi, dia tidak mau menemani ibunya kepasar. Alasannya. “Ada
acara penting”. Kamipun tertawa.
Sepulang
dari acara. Dengan bangga dia bercerita kepada ibunya. “tangan Jokowi lembut,
ma’. Dia ramah”. Sang ibu tidak mau
kalah. “Mana photonya ?”. Sambil kesal dia cuma berkata “tidak terpikir, ma.
Itu be cukup”.
Entah
apa yang dipikirkannya.
Namun
aku yakin. Telah lahir anak muda, Kritis dengan keadaan sekitarnya.
Bagiku
itulah kemewahan. Sebagaimana sering disampaikan oleh Tan Malaka. “Idealisme
adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh Pemuda”.