Bukan
karena “pilihan politik”, makanya bukalapak kemudian mengalami nasib tragis.
Jatuh ke jurang dalam hitungan jam. Sang CEO kemudian “buru-buru” bertemu
Jokowi untuk meminta maaf.
Mari
kita lupakan “orientasi politik”. Karena kedua pendukung sudah menetapkan
pilihannya. Susah diomongin.
Namun
“menggunakan logika” dalam hitung-hitungan matematika tidak dapat dipungkiri.
Sebuah pondasi penting untuk merawat nalar.
Mengapa
public tidak menyukai “hoax” yang disebarkan ?
Pertama.
Publik trauma terhadap hasil penghitungan “abal-abal” Pilpres 2014. Adegan
paling memalukan sejagat dunia ditunjukkan dengan kemudian sujud ditanah.
Itulah “awal” muak dari public yang “tidak terima”, matematika sering
diakal-akalin.
Masih
ingat khan duit Rp 100.000 yang menghebohkan. Tempe setipis ATM, angka
kemiskinan yang datanya entah darimana disadur. Pokoknya logika matematika “dipinggirkan”.
Diganti teriakan yang tidak ada hubungan dengan matematika.
Ok.
Kalo politisi sering “mengacaukan” matematika, public (sekesal apapun), ya politisi
berangkat dari pola berfikir “biar bohong tapi tidak boleh salah”.
Paling-paling
kita cuma nyengir. Anggap saja hiburan sembari meneguk kopi. Sembari tertawa.
Kedua.
Selevel CEO yang mengaku perusahaan yang “menguasai” dunia maya, jago membaca
trend pasar, membangun branding dari trust public malah mengutip data “basi”.
Itupun dari sumber yang tidak resmi.
Bayangkan.
Bagaimana
bisa mengelola perusahaan yang “mau bermain skala global” dan menguasai dunia
malah terjebak dengan angka-angka hoax.
Lalu
bagaimana “branding” trust public akan terbangun.
Bagaimana
kita bisa mempercayai lembaga yang berurusan dengan “pasar” dunia maya dan uang
yang kemudian dititipkan ?.
Ya.
Trust adalah segala-galanya. Itu jauh melebihi limpahan modal untuk membangun
infrastruktur hardward dari bisnis dunia maya.
Nah.
Yang ketiga. Yang posting ini bukan politisi yang “sembarang” bicara data dan
tanpa pernah mengutip lembaga resmi.
Tapi
seorang CEO yang “dipundaknya” dibangun branding dan trust dari pasar.
Apakah
semudah itu public akan percaya dengan integritas CEO, sementara masih suka nyebar
hoax ?
Berbeda
dengan traveloka dan Sari Roti yang dikampanyekan untuk diboikot namun malah
tidak terganggu dengan kampanye itu.
Selain
“hoax’ yang disebarkan terhadap travelloka dan Sari Roti tidak terbukti,
travelloka dan Sari Roti tidak ikut cawe-cawe mengirimkan data-data hoax.
Publik malah kemudian mendukung. Sampai sekarang travelloka dan Sari Roti masih
adem-adem ayem. Tidak terpengaruh sama sekali.
Lalu
mengapa CEO begitu panic sehingga harus “buru-buru” ketemu Jokowi.
Apakah
ancaman begitu nyata. Apakah kepanikan mulai melanda. Mengapa mereka tidak
bersikukuh seperti travelloka dan Sari Roti.
Keliru,
brow. Ini bukan persoalan dengan Jokowi. Ini adalah “hoax” yang memang harus
diberantas. Hoax yang menciptakan kegaduhan dari siapapun yang mengutip dari sumber-sumber
yang tidak kredibel.
Prinsip
lu berbeda. “boleh salah. Tapi tidak boleh bohong’.
Nah,
lu. Lu sudah berbohong. Hoax lagi.
Hayo.
Bukankah
hoax telah memakan korban. Entah Buni Yani, Jonru, Ratna Sarumpaet atau sederet
lain petinggi negeri. Ada oknum guru. Bahkan ada orang yang bekerja
diperpustakaan dari kampus terkenal di republic ini.
Emangnya
lu tidak belajar dari peristiwa mereka. Mereka kemudian tragis. Selain
menjalani proses hukum, eh, malah dicuekin. Apapun perkataan mereka, sama
sekali public tidak percaya.
Ah.
Mengutip data dari lembaga yang tidak kredibel tuh memalukan. Selain harus
menyiapkan badan masuk penjara, rasa malu kemudian mendera. Harus menanggung
seumur hidup. Dikenal sebagai tukang hoax.
Jadi.
Itulah derita yang harus diterima CEO. Yang harus menerima nasib. Mengutip
data-data basi. Tidak kredibel lagi.
Jadi.
Memaafkan dari Jokowi itu satu urusan.
Urusan
lain ?. Sebaiknya elu mundur. Terlalu berat beban yang harus ditanggung oleh
perusahaan elo. Mengingat brandingnya,
langsung terbayang. CEO yang menyebar hoax.