16 Februari 2019

opini musri nauli : CEO VS HOAX


Bukan karena “pilihan politik”, makanya bukalapak kemudian mengalami nasib tragis. Jatuh ke jurang dalam hitungan jam. Sang CEO kemudian “buru-buru” bertemu Jokowi untuk meminta maaf.

Mari kita lupakan “orientasi politik”. Karena kedua pendukung sudah menetapkan pilihannya. Susah diomongin.

Namun “menggunakan logika” dalam hitung-hitungan matematika tidak dapat dipungkiri. Sebuah pondasi penting untuk merawat nalar.

Mengapa public tidak menyukai “hoax” yang disebarkan ?

Pertama. Publik trauma terhadap hasil penghitungan “abal-abal” Pilpres 2014. Adegan paling memalukan sejagat dunia ditunjukkan dengan kemudian sujud ditanah. Itulah “awal” muak dari public yang “tidak terima”, matematika sering diakal-akalin.

Masih ingat khan duit Rp 100.000 yang menghebohkan. Tempe setipis ATM, angka kemiskinan yang datanya entah darimana disadur. Pokoknya logika matematika “dipinggirkan”. Diganti teriakan yang tidak ada hubungan dengan matematika.

Ok. Kalo politisi sering “mengacaukan” matematika, public (sekesal apapun), ya politisi berangkat dari pola berfikir “biar bohong tapi tidak boleh salah”.
Paling-paling kita cuma nyengir. Anggap saja hiburan sembari meneguk kopi. Sembari tertawa.

Kedua. Selevel CEO yang mengaku perusahaan yang “menguasai” dunia maya, jago membaca trend pasar, membangun branding dari trust public malah mengutip data “basi”. Itupun dari sumber yang tidak resmi.

Bayangkan.

Bagaimana bisa mengelola perusahaan yang “mau bermain skala global” dan menguasai dunia malah terjebak dengan angka-angka hoax.

Lalu bagaimana “branding” trust public akan terbangun.
Bagaimana kita bisa mempercayai lembaga yang berurusan dengan “pasar” dunia maya dan uang yang kemudian dititipkan ?.

Ya. Trust adalah segala-galanya. Itu jauh melebihi limpahan modal untuk membangun infrastruktur hardward dari bisnis dunia maya.

Nah. Yang ketiga. Yang posting ini bukan politisi yang “sembarang” bicara data dan tanpa pernah mengutip lembaga resmi.
Tapi seorang CEO yang “dipundaknya” dibangun branding dan trust dari pasar.  

Apakah semudah itu public akan percaya dengan integritas CEO, sementara masih suka nyebar hoax ?

Berbeda dengan traveloka dan Sari Roti yang dikampanyekan untuk diboikot namun malah tidak terganggu dengan kampanye itu.

Selain “hoax’ yang disebarkan terhadap travelloka dan Sari Roti tidak terbukti, travelloka dan Sari Roti tidak ikut cawe-cawe mengirimkan data-data hoax. Publik malah kemudian mendukung. Sampai sekarang travelloka dan Sari Roti masih adem-adem ayem. Tidak terpengaruh sama sekali.

Lalu mengapa CEO begitu panic sehingga harus “buru-buru” ketemu Jokowi.
Apakah ancaman begitu nyata. Apakah kepanikan mulai melanda. Mengapa mereka tidak bersikukuh seperti travelloka dan Sari Roti.

Keliru, brow. Ini bukan persoalan dengan Jokowi. Ini adalah “hoax” yang memang harus diberantas. Hoax yang menciptakan kegaduhan dari siapapun yang mengutip dari sumber-sumber yang tidak kredibel.

Prinsip lu berbeda. “boleh salah. Tapi tidak boleh bohong’.
Nah, lu. Lu sudah berbohong. Hoax lagi.

Hayo.

Bukankah hoax telah memakan korban. Entah Buni Yani, Jonru, Ratna Sarumpaet atau sederet lain petinggi negeri. Ada oknum guru. Bahkan ada orang yang bekerja diperpustakaan dari kampus terkenal di republic ini.  

Emangnya lu tidak belajar dari peristiwa mereka. Mereka kemudian tragis. Selain menjalani proses hukum, eh, malah dicuekin. Apapun perkataan mereka, sama sekali public tidak percaya.

Ah. Mengutip data dari lembaga yang tidak kredibel tuh memalukan. Selain harus menyiapkan badan masuk penjara, rasa malu kemudian mendera. Harus menanggung seumur hidup. Dikenal sebagai tukang hoax.

Jadi. Itulah derita yang harus diterima CEO. Yang harus menerima nasib. Mengutip data-data basi. Tidak kredibel lagi.

Jadi. Memaafkan dari Jokowi itu satu urusan.  

Urusan lain ?. Sebaiknya elu mundur. Terlalu berat beban yang harus ditanggung oleh perusahaan elo.  Mengingat brandingnya, langsung terbayang. CEO yang menyebar hoax.