Dalam
tradisi Melayu Jambi, prosesi “melamar” dikenal dengan istilah “tanda Jadi’.
Tanda jadi adalah “pengikat” antara sang calon mempelai perempuan dengan
seorang lelaki calon mempelai laki-laki.
Prosesi
dimulai dengan “kedatangan” keluarga besar calon laki-laki kerumah calon
mempelai perempuan. Diiringi keluarga besar baik didampingi “maman” (saudara laki-laki ayah atau saudara
laki-laki perempuan), Ibu/nenek, saudara perempuan sang lelaki, bahkan
saudara-saudara lelaki. Keluarga besar kemudian mempersiapkan acara ini secara
khusus.
Keluarga
besar lelaki sengaja mendatangi kerumah keluarga besar sang perempuan untuk
“menanyakan” adanya “kemenakan dari datuk” yang sudah “berusik sirih bergurau
pinang” dengan “anak kemenakan” dari keluarga lelaki.
Kedatangan
juga sekaligus “memastikan” kepada keluarga besar perempuan “apakah sang anak
kemenakan perempuan” belum ada pengikat dari lelaki lain. Dan juga menanyakan
“apakah anak kemenakan perempuan” mau diikat janji dengan “anak kemenakan
lelaki” yang datang.
Sebagai
pengantar “tando Jadi”, maka rangkaian acara dipersiapkan dengan baik. Termasuk
mempersiapkan “tokoh adat” pengantar dan sekaligus menjadi jurubicara dari
keluarga lelaki.
Setelah
kedatangan “keluarga besar lelaki”, sang pembaca acara kemudian memimpin acara.
Sekaligus memandu acara dengan berbagai rangkaian.
Rangkaian
dimulai dari sambutan dari sang pembawa acara, ummul kitab, sambutan dari
sohibul hajat (tuan rumah), rangkaian acara penyerahan “tanda jadi”,
persetujuan dari sang tuan rumah dan diakhiri dengan doa bersama.
Berbagai
seloko kemudian disebutkan. Dimulai dari “yang
gedang dak disebut gelar, yang kecik dak sebut namo”, kecik nan sakti, gedang
nan betuah”, “rumah nan bepagar adat, nan laman bepagar undang dan bertepi
baso”, “ico pakai”,
Hubungan
istimewa antara kedua pasang ditandai dengan seloko “berusik sirih-bergurau pinang”. Hubungan yang kemudian dapat
dilanjutkan untuk jenjang selanjutnya.
Proses
mengantarkan “tando Jadi” cukup panjang. Dimulai dari kedatangan dari calon
sang mempelai lelaki untuk menyampaikan maksud kedatangan.
Dilepaskan ayam seinduk, serai nan
berumpun, bak kudo pelajang bukit, saya penyambung lidah daripadonyo
“Kami idak sesat, idak pula salah
jalan, memang tujuan kami kerumah ikolah.
Kami membawa orang nan banyak,
beserta arak dengan ber-iring”, cepat kaki-salah langkah, cepat lidah salah
bekato, kami mohon dimaafkan.
Prosesi
selanjutnya mengantarkan sirih. Sebagai pembuka cerito, maka dimulai dari
Seloko “Gemerutuk main gendang. Kini
seraso main orgen. Sirih kelukup, pinangnyo memang. Inilah sirih kami orang
tanjung raden
Tuan
rumah kemudian mencicipi sembari menyodorkan sirih “Dari perentak ke pulau pekan. Singgah di pasar membeli tembakau. Sirih teletak, silahkan dimakan. Awal sembah
pemulaan kato.
Kemutuk
bunyi gendang. Bunyi gendang anak rajo jambi. Sirih pinang kami hidangkan.
Inilah ado didepan kami. Inilah pemakan kami.
Setelah
itu, barulah tuan rumah menanyakan maksud kedatangan tamu dengan memulai “Kami nak betanyo kepada datuk. “nak ngudut
idak berapi, nipah digulung pake tembakau. “apo nian maksud Datuk datang
kemari. Biasanyo datuk datang seorang beduo. Iko serombongan nian.
“Nampaknya jauh datuk dengan
pengiring. Kami sambut dengna sejernih hati.
Selanjutnya
“prosesi tando jadi” dengan seloko “Berusik
sirih bergurau pinang.
Kok mabuk sirih lah dimakan sirih.
Kok mabuk pinang dimakan pinang. Adat
padang kepanasan. Adat tumbuh menyarokan. Adat tuo menanggung ragam. Adat mudo
menanggung rindu.
“kok bejalan ke ulu” lah sampai
kebatas. Kok bejalan ke ilir lah sampai ke muaro.
Esok awak kebukit, tekenang di aek.
Awak dirumah tekenang diangin
Pandangna mato lah tetumbuk.
Pandangan hati lah tetaut. Lah dak dapat dipisahkan lagi. Dianjak laye, diangggun
mati.
Ke
bukit nak samo mendaki, kelurah nak samo menurun. Mudik nak serentak-sesatang,
hilir nak sedengkuh dayung.
Seringgit
tengah-tengah delapan. Sebulan 30 hari. Sediikit samo-samo dimakan. Idak ado samo-samo dicari.
Pertanyaan
selanjutnya ditanyakan kepada datuk “ibarat
kebun bungo, lah ado yang memagarnyo ?.
Sang
Datuk kemudian menyambut “Kalo
sepenglihatan kami “Belum ado “bekedip mato. Mengantar tando.
Proses
kemudian diserahkan “tando jadi”. Sebagai pengikat hubungan. “Biak dak diganggu
orang. Biak diikat dalam halaman rumah”.
Namun
yang unik, kedua belah pihak yang diutus datuk sebagai jurubicara, keduanya
saling memuji. Lihatlah kata pengantar dari Datuk tuan rumah “Bukan biduk sembarang biduk. Biduk kami
dari kayu sungkai. Bukan duduk sembarang duduk. Kami disini disuruh-suruh
tuo-tuo tengganai.
Jadi kami mohon maaf. Seharusnya
datuk duduk-duduk ditengah, kami duduk dipinggir.
Pasang cemeti, camar-camar, dapat
udang duo-duo. Dari kecik kami dak pernah belajar. Lah gedang malu betanyo
pulo. Lah tuo pelupo pulo. Jadi kami dak
pandai berpantun apo lagi bersyair pulo
Selain
itu setiap seloko dibalas sembari senda gurau. “Kecik dak sebut namo, gedang
dak sebut gelar” yang kemudian dibalas “kecik besakti, gedang betuah”.
Prosesi
“tando jadi” berusik sirih bergurau pinang adalah prosesi kehidupan yang masih
hidup ditengah masyarakat Melayu Jambi. Setiap prosesi kehidupan selalu
mengagungkan kemanusiaan dengan derajat tertinggi.
Senda
gurau, saling berseloko, saling merendahkan sembari memuji adalah bagian dari
kehidupan. Suasana tertawa seiring selama pertemuan.
Kekayaan
budaya yang tidak mungkin luntur. Sebagaimana seloko “dak lapuk dek hujan, dak lekang dek panas”.
Denyut
budaya yang mengalir terus menerus. Bertahan sepanjang zaman.
Advokat. Tinggal di Jambi
Dimuat di www.jamberita.com, 4 Februari 2019
https://jamberita.com/read/2019/02/04/5947401/makna-simbolik-tanda-jadi-/
https://jamberita.com/read/2019/02/04/5947401/makna-simbolik-tanda-jadi-/