Musri Nauli
Akhir-akhir
ini tema “kebebasan berpendapat” mengemuka. Sebagai “hak” yang dijaminkan konstitusi, kata-katanya jelas tercantum didalam
pasal 28 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.
Kalimat
ini kemudian dipertegas didalam amandemen konstitusi Pasal 28 E “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Namun didalam ranah HAM, kategori HAM dikenal
sebagai “non derogable right” dan “derogable
rights”. “Non derogable right”
adalah HAM yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 28 I ayat (1)
kemudian menyebutkan ““Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.”
Diluar
daripada “Non
derogable right” yang kemudian dikenal sebagai “derogable rights” maka kemudian diatur melalui UU. UU Harus
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum (Pasal 28 J ayat (2).
Dengan demikian maka “hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat” kemudian diatur didalam UU. Maka kita mengenal peraturan mendirikan
organisasi (UU Yayasan, UU Serikat Buruh), UU menyampaikan pendapat dimuka Umum
(UU No. 9 Tahun 1998) dan UU Pers ( UU
No. 40 Tahun 1999).
Namun terhadap kebebasan berpendapat kemudian
dibebankan kewajiban untuk memenuhi HAM. Pasal 28 J ayat (1) dengan tegas
menyebutkan “Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Sehingga terhadap “pelanggaran” dan merampas hak
orang orang didalam kehidupan dan ketertiban masyarakat maka kemudian menimbulkan
konflik, pertentangan. Bahkan mengakibatkan proses hukum.
UU No. 19 Tahun 2016 junto UU No. 11 Tahun 2008
Tentang ITE jelas-jelas mencantumkan larangan. Baik “menyebarkan berita bohong
atau menyesatkan” (Pasal 45 ayat (1) maupun “menyebarkan informasi yang
menimbulkan kebencian atau permusuhan individu atau sekelompok berdasarkan atas
suku, agama dan ras (Rasial) (Pasal 45 ayat (2).
Menyebarkan “berita bohong atau menyesat”
kemudian dikenal sebagai “hoax”. Sedangkan “menyebarkan kebencian” kemudian
dikenal sebagai “ujaran kebencian (hate speech). Keduanya diancam dengan pidana
penjara 6 tahun.
Dengan demikian maka kebebasan berpendapat
(freedom right) tidak dapat disebutkan sebagai hak-hak yang tidak dapat
dikurangi (derogable rights). Kebebasan
berpendapat (freedom right) kemudian dibatasi oleh UU.
Selain itu Kebebasan berpendapat (freedom right)
tidak boleh bertujuan untuk “hoax” maupun “hate speech”.
Dengan alasan Kebebasan berpendapat (freedom
right) namun kemudian bertujuan “hoak” atau “hate speech”, maka proses hukum
sudah menunggu. Proses hukum kemudian mengatur agar “Kebebasan berpendapat
(freedom right)” tidak disalahgunakan.
Rumit ?
Gampang. Apabila didunia nyata, kita diharapkan
mengontrol pembicaraan, menimbang perasaan orang lain agar tidak tersinggung,
tidak boleh bertindak rasial, maka didunia mayapun demikian.
Dimuat di www.serujambi.com, 4 Februari 2019
Dimuat di www.serujambi.com, 4 Februari 2019
Baca : HATE SPEECH DAN KETAKUTAN AKAN BAYANG-BAYANG
https://www.serujambi.com/2019/opini-kebebasan-berpendapat-dan-ujaran-kebencian/
https://www.serujambi.com/2019/opini-kebebasan-berpendapat-dan-ujaran-kebencian/