Akhir-akhir
ini, tema pemakaian genap-ganjil terus mewarnai suasana ibukota. Paska dari
Asian Games 2018, Pemerintah Jakarta berkeinginan untuk menerapkan peraturan
yang berkaitan kendaraan lalulintas. Terutama melewati jalur-jalur tertentu
pada waktu tertentu.
Semula
keinginan untuk menerapkan peraturan diharapkan untuk mengurangi kemacetan
jalan di Jakarta. Keinginan ini kemudian ditambah dengan perbaikan fasilitas
angkutan umum, memperbanyak rute yang bisa ditempuh dan menambah kenyamanan
dari pengguna jasa angkutan umum.
Namun
keinginan ini ternyata belum mampu juga mengurangi kemacetan lalulintas.
Lalulintas pada waktu tertentu (entah menjelang masuk kerja, jam istirahat
ataupun pulang kerja) menjadi pemandangan sehari-hari. Sehingga keinginan
kemudian belum memenuhi keinginan.
Tapi
terlepas dari keinginan dari pemerintah, penggunaan hari atau jam untuk
melewati jalur tertentu menimbulkan persoalan serius didalam prinsip hukum.
Pengaturan
lalulintas untuk hari-hari tertentu di jalur-jalur tertentu yang dikenal
sebagai penerapan genap-ganjil, menimbulkan persoalan.
Pertama.
Ketika orang membayar kendaraan mobil, maka membayar pajak kendaraan bertujuan
untuk menimbulkan kewajiban dari pemilik kendaraan.
Nah.
Ketika pemilik kendaraan sudah membayar kewajibannya maka kemudian hak
menggunakan jalur umum tidak boleh diabaikan.
Pemilik
kendaraan yang sudah membayar tentu saja diperlakukan tidak adil.
Bukankah
tidak ada keringanan sama sekali ataupun pengurangan pajak kendaraan akibat
pada hari tertentu, kendaraan sama sekali tidak dapat digunakan.
Anggaplah
dia bekerja didaerah seputaran jalur penerapan genap-ganjil.
Maka
pada hari tertentu (apabila kendaraannya) tidak memungkinkan untuk digunakan
maka pemilik kendaraan kemudian dicabut haknya untuk menikmati fasilitas jalan.
Dengan
demikian apabila penerapan genap-ganjil dalam setahun, maka pemilik kendaraan
hanya boleh digunakan pada hari yang sesuai dengan plat kendaraannya.
Sehingga
satu tahun maka pemilik kendaraan malah hanya menikmati kendaraannya cuma
setengah dari setahun.
Bayangkan.
Dia telah membayar kendaraan untuk satu tahun, namun kemudian haknya dicabut
hanya boleh untuk digunakan setengah tahun.
Bukankah
begitu “merampas” haknya untuk menikmati jalur umum ?
Kedua.
Penerapan e-tilang.
Persoalan
ini secara sekilas tidak menimbulkan masalah. Dengan diterapkan e-tilang, maka
pelanggaran tilang, surat tilang dapat diantar kerumah. Atau bisa saja kemudian
ketika dilakukan perpanjangan STNK.
Problema
hukum mulai muncul.
Apakah
dengan diterapkan e-tilang dapat memenuhi unsur didalam hukum ?
Penerapan
e-tilang dilakukan dengan pemantau disetiap sudut jalanan. Surat tilang
diantarkan kerumah atau ketika dilakukan pembayaran perpanjangan STNK.
Apakah
dibenarkan oleh hukum ?
Pelanggaran
lalulintas adalah satu masalah terpisah. Namun ketika surat tilang diantarkan
kerumah atau ditilang ketika dilakukan pembayaran perpanjangan STNK, justru
tidak tepat.
Pertama.
Pelanggaran lalulintas adalah orang (rechtpersoon). Orang yang mengemudkan yang
melanggar lalulintas.
Sehingga
ketika orang (rechtpersoon) yang melakukan pelanggaran lalulintas maka seketika
itu juga harus dilakukan e-tilang.
Tidak
tepat kemudian yang dilakukan tilang adalah mobilnya. Bukan orangnya.
Jadi,
ketika surat e-tilang kemudian diantar kerumah, justru tidak dapat
menghubungkan dengna perbuatan dari pelanggar. Apakah benar (baik dengan alasan
ada camera cctv) mobil yang melakukan pelanggaran lalulintas benar-benar
dilakukan oleh pelanggar.
Atau
malah “terkesan” mobil yang ditilang. Bukan orangnya.
Lalu
bagaimana seharusnya ?
Ya.
Yang ditilang adalah orang. Bukan mobilnya. Sehingga segera dilakukan
penilangan ditempat terjadinya pelanggaran. Bukan pada tempat lain atau pada
waktu yang lain.
Berbagai
peristiwa yang berkaitan dengan lalulintas walaupun sepele justru tidak dapat
memenuhi prinsip dalam hukum.
Cara-cara
ini justru mengambil atau “merampas” hak dari pengguna lalulintas. Selain itu
juga pelanggaran lalulintas justru yang
ditilang adalah mobil. Bukan orang (rechtpersoon) yang melakukan pelanggaran
lalulintas.
Sesat
pikir ini harus diluruskan. Agar penerapan hukum atau penegakkan hukum sector didalam
berlalulintas tidak bertabrakan dengan prinsip yang ada.
https://jamberita.com/read/2019/02/21/5947764/sesat-pikir-berlalulintas
-->https://jamberita.com/read/2019/02/21/5947764/sesat-pikir-berlalulintas