Simbol ”sumbang salah” bukan berarti ”menyumbang
kesalahan” atau turut menyumbang kesalahan’.
Makna ”Sumbang” diartikan sebagai ”tidak pantas”, ”kurang pantas”, ”kurang elok” menurut pandangan mata, ”kurang nyaman”. Dalam pergaulan sehari-hari, kata ”sumbang” lebih menampakkan ”suara yang tidak merdu”, kurang harmoni, ”suara serak’.
Menurut kamus bahasa Indonesia, kata ”sumbang”
berarti ” bersalah (tentang
adat) melanggar adat (kebiasaan, kesopanan, dan sebagainya)”. Sumbang dapat
juga diartikan “kurang sopan, berdosa”. Selain itu juga berarti “salah, keliru”.
Makna “sumbang” dapat diartikan juga “tidak sedap didengar’. Bisa juga
diartikan “janggal”.
Sehingga
“sumbang salah” diartikan sebagai nilai-nilai yang dilanggar sebagai perbuatan
yang tercela. Dan sangat tidak layak.
Lalu
apa saja perbuatan yang tidak tercela dan dikategorikan sebagai tidak layak.
Nah.
Sebagai Hukum Adat Melayu Jambi yang dikenal sebagai “Pucuk Undang Delapan,
anak 12” maka nilai “sumbang salah” adalah perbuatan-perbuatan yang tercela dan
tidak layak ditengah masyarakat. Apapun yang dianggap “perbuatan tercela” dan
dikategorikan tidak layak”.
Dalam
praktek sehari-hari, antara satu Desa dengan Desa lain merupakan pandangan
hidup yang berbeda.
Satu
daerah dikenal “mandi harus menggunakan basahan”, atau “tempat pemandian” tidak
boleh digabung (apabila mandi disungai), atau waktu-waktu tertentu untuk mandi.
Misalnya “untuk perempuan” sebelum terang hari. Biasanya setelah subuh. Makanya
lelaki “tidak boleh mandi” sebelum perempuan selesai mandi.
Tempat
pemandian juga diatur. Lelaki tidak dibenarkan pemandian ditempat perempuan.
Biasanya lebih dihilir.
Kesemuanya
adalah pengaturan tentang “perbuatan tercela” atau dikategorikan sebagai “perbuatan
tidak layak” apabila dilanggar.
Setelah
“salah sumbang” sebagai nilai sebagai identitas, maka norma kemudian mengatur.
Istilah “salah lihat. Salah cilek” dikategorikan sebagai “salah lihat” atau
salah tengok” juga mengatur tentang bertandang kerumah. Bertamu.
Tatacara
bertamu selain ditentukan waktunya, juga bertamu harus dipastikan ada “lelaki
dirumah”.
Dimulai
dari tatacara “mengucapkan’ salam dengan keras. Sang tuan rumah yang
menyambutnya adalah lelaki. Apabila tidak ada lelaki dirumah, biasanya sang
tuan rumah langsung berteriak. “Dak ado jantan”.
Maka
sang tamu cukup tahu diri. Tidak dibenarkan masuk.
Kalaupun
ada pesan, cukup menyampaikan tanpa sang tuan rumah membuka pintu.
Apabila
sang tuan rumah membuka pintu, mempersilahkan masuk tanpa ada “jantan”
(lelaki), maka “perbuatan tercela” atau “perbuatan tidak layak”, maka tetangga
menduga ada keluarga yang datang kerumah keluarganya sendiri.
Sehingga
makna “salah lihat. Salah cilek” adalah pandangan tetangga yang mengganggap “tamu
yang ada” adalah keluarganya sendiri.
Namun
apabila “lelaki” yang datang bukan dari keluarganya sendiri, misalnya abang
dari tuan rumah (yang kebetulan tidak ada lelaki), maka “sang lelaki” yang
datang sebagai tamu malah dianggap suami dari pemilik rumah. Dan makna itulah
yang kemudian dikenal sebagai “salah lihat. Salah cilek”. Dan itu akan
menyesatkan sehingga menimbulkan kegaduhan, fitnah dan menimbulkan kehebohan.
Baik
“tuan rumah” perempuan yang menyambut maupun tamu yang datang dapat
dikategorikan “sebagai perbuatan tercela” atau tidak layak. Sehingga kemudian
dijatuhi hukuman adat. Tidak pantas bertamu “karena tidak ada lelaki” dirumah.
Perbuatan
ini tidak hanya pada malam hari. Tapi juga termasuk disiang hari.
Sehingga
kedatangan tamu (yang tidak ada lelaki) pada malam hari justru akan diberikan
sanksi lebih berat.
Advokat. Tinggal di Jambi