Akhir-akhir
ini, pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan menimbulkan polemic. Apakah Hutan Adat
harus bersandarkan kepada Peraturan Daerah atau cukup dengan penetapan dari
Pemerintah Daerah ?
Problema
itu muncul ketika pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan secara tegas “memerintahkan” “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Makna “perintah” ditetapkan melalui peraturan
Daerah kemudian diperkuat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012
(Baca MK 35).
Didalam pertimbangannya, MK kemudian
menyebutkan “Terhadap dalil permohonan tersebut, Mahkamah
mempertimbangkan bahwa Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan
mengandung substansi yang sama dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam
konteks frasa “sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”. Oleh karenanya, pertimbangan hukum terhadap Pasal 4
ayat (3) UU Kehutanan menyangkut konteks frasa “sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya” mutatis mutandis berlaku terhadap dalil permohonan Pasal 67 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan;
Bahkan dengan tegas MK kemudian menegaskan “Adapun tentang pengukuhan dan hapusnya
masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan ketentuan lebih lanjut
diatur dalam Peraturan Pemerintah, menurut Mahkamah merupakan delegasi wewenang
yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang“.
Dengan demikian maka pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan
adalah “delegasi wewenang” yang diatur didalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Sehingga MK menyatakan pasal 67 ayat
(2) UU Kehutanan dengan pertimbangan pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan kemudian mempunyai
“kekuatan
hukum mengikat”.
Saya kemudian memberikan istilah sebagai “pernyataan
konstitusi”. Atau dalam ranah Hukum acara dikenal sebagai “putusan declaratoir”.
MK merumuskan sebagai “putusan konstitutif (putusan constitutief).
Dalam praktik, dikenal dengan
putusan sela (tussenvonnis) dan putusan akhir (eindvonnis). Di
dalam putusan akhir (eindvonnis), dikenal putusan condemnatoir,
putusan constitutief dan putusan declaratoir.
“Putusan
declaratoir” atau “pernyataan
konstitusi” atau “putusan
constitutief” bukanlah putusan yang bersifat “eksekutorial”.
Putusan bersifat “eksekutorial” adalah
putusan di maksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa atau
menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya
(eksekusinya) secara paksa.
Dalam praktek di Mahkamah Konstitusi, putusan yang
bersifat eksekutorial ditandai dengan mencabut pasal UU yang dimohonkan dari
pemohon. Misalnya “pasal 134, Pasal 136
dan Pasal 137 KUHP” yang dikenal sebagai pasal “hatzaai
artikelen”.
Kalimat tegas didalam putusan MK No.
13-22/PUU-IV/2006 menyebutkan “Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis,
dan Pasal 137 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dan “Menyatakan Pasal 134, Pasal
136 bis, dan Pasal 137 Kitab
Undang- Undang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
Bandingkan kalimat “menyatakan… bertentangan dengan UUD 1945”
dan “menyatakan… tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat” dengan kalimat “…
Pasal 67 ayat (2)… mempunyai kekuatan hukum mengikat”
Sehingga dari pendekatan hukum maka pasal
67 ayat (2) UU Kehutanan sudah tuntas dari pandangan konstitusi.
Lalu bagaimana memaknai putusan MK
35 ?
MK justru “memerintahkan ”Pemerintah menetapkan status hutan dan hutan adat
ditetapkan sepanjang menurut kenyataan masyarakat hukum adat yang bersangkutan
masih ada dan diakui keberadaannya”
Dengan demikian, pertimbangan MK terhadap Pasal 5 ayat 3 UU Kehutanan
menyebabkan ada suatu keadaan hukum baru. Pertimbangan MK inilah yang dapat
dikategorikan sebagai “putusan constitutief”.
Problemanya
justru dilapangan politik (good will). Keinginan untuk menetapkan hutan adat
sebagai “perintah” pasal 67 ayat (2) UU
Kehutanan berupa “peraturan daerah” memerlukan energy besar untuk
melaksanakannya.
Anggaplah
terdapat 25.383 desa didalam dan sekitar kawasan hutan (data berbagai sumber) atau 31.864 jumlah desa (Kementerian Kehutanan, 2010) maka
menjadi mustahil untuk ditetapkan Peraturan Daerah.
Selain
waktu yang panjang, dana yang besar juga sumber daya manusia yang tersebar
untuk merangkainya.
Ide
untuk “menyederhanakan” dapat melalui
proses Permendagri No. 52 tahun 2014 tentang
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, PERMEN ATR/ KEPALA BPN No. 10 tahun 2016 tentang
Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat
yang Berada di Kawasan Tertentu, PERMENLHK No. 32 Tahun
2015 tentang Hutan Hak , PERMENLHK No. 34 Tahun
2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam PengelolaanSDA dan
Lingkungan Hidup dan Perdirjen PSKL No 1 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Verifikasi dan Validasi Hutan Hak adalah satu pintu untuk keluar dari “Kepengapan”.
Meminjam istilah Achmad Sodiki (salah satu hakim
MK) didalam sebuah pertemuan di Jakarta 2018, “prinsipnya sudah diputuskan MK. Caranya bisa disederhanakan”. Sebuah strategi jitu dan ciamik tanpa harus
menabrak konstitusi.
Bukankah hukum harus bermanfaat kepada orang banyak
(zweckmasigkeit) ?
Baca : Pembagian Ruang
Dimuat di www.jamberita.com, 9 Februari 2019
https://jamberita.com/read/2019/02/09/5947502/problema-pasal-67-uu--kehutanan-%E2%80%93-hukum-atau-hukum