Membaca uneg-uneg Pak Guru Wiwin
tentang penggunaan imbuhan disore hari setelah pulang dari lapangan sembari
mengirimkan photo di FB, membangkitkan kelucuan.
Saya sedang membayangkan,
bagaimana mas wiwin yang “solonya” sangat kental namun menumpahkan uneg-unegnya
di FB.
Kelucuan pertama saya rasakan dan
sedang membayangkan, bagaimana Mas Wiwin sedang mangkel, kesal, uring-uringan
mengenai tulisan yang keliru menempatkan “imbuhan”.. Uraiannya panjang. Nah,
karena sedang membayangkan kelucuan, maka saya pengen ikut nimbrung.
Kedua. Setahu saya, mas wiwin
yang “mengaku” ahli sejarah tapi kemudian menyentil kaidah Bahasa Indonesia.
Bidang yang jauh dari jangkauan pendidikan formalnya.
Mas wiwin
Mengenai penempatan imbuhan,
bukan “sampeyan” saja yang merasakan.
Sebagai orang yang “pernah
mempunyai asisten”, mempunyai staf, menerima edisi perbaikan yang berkaitan
dengan perkara, pernah diminta untuk “mengedit” tulisan, sudah mencapai “emosi”
di ubun-ubun.
Tau khan, kalo saya lagi emosi
meledak. Suara pasti melengking. Persis “suaranya” ketika malam-malam didatangi
duda kerumah perempuan yang “tidak ada jantan”.
Pasti ngamuk.
Pasti keluar sumpah serapah.
Ujung kalimatnya “Bengak, tolol, belajar lagi”, buka pelajaran dasar Bahasa
Indonesia”.
Nah, kalo mas wiwin cuma
menuangkan kekesalannya cuma di FB, saya harus “menahan” marah berhari-hari..
Kesal. Minum kopi tidak terasa nikmatnya.
Nah, Yang paling kesal. Sudah
dijelaskan “kekeliruannya”, memang sih diperbaiki di item itu. Namun kemudian
kesalahan yang sama berulang lagi. Hayo, mas wiwin. Bagaimana ? ike piye. ?
Padahal, mas wiwin tau khan ?
Pelajaran Bahasa Indonesia, dari SD Kelas 1 hingga perguruan tinggi tetap
diajarkan. Baik pelajaran “menyimak”, berbicara”, menulis, mendengarkan dll.
Pokoknya pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang paling sering
diajarkan dari “ayunan” hingga ke “liang lahat”. Nah, hayo.
Coba mas Wiwin membayangkan, saya
yang seharusnya cukup membaca substansi saja, mesti menjadi editor. Mesti “mengurut”
satu persatu.
Bukan melihat alur. Tapi termasuk
juga memperhatikan kaidah Bahasa Indonesia. Melihat letak huruf capital.
Melihat tanda baca. Memperhatikan detail imbuhan.
Hayo. Bisa bayangkan khan ?
Energi yang cukup memperhatikan “detail”,
eh, harus pula memperhatikan detailnya.
Tapi pernah, mas wiwin
memperhatikan tulisan. Hampir setengah halaman tanpa tanda baca ?
Pernah ?. Kalo belum pernah,
bersyukurlah. Cukup saya saja yang mengalaminya.
Cuma saya cuma memberi kabar. Membaca
setengah halaman tanpa tanda baca itu menyesakkan dada.
Sama sesak dadanya ketika memuji junjungan
setinggi langit, eh, ternyata tidak bisa apa-apa.
Yang katanya mendapatkan “wangsit”
dari langit, tapi “bersyukur” kepada Sang penguasa saja tidak pernah.
Ya, Paling-paling bisa joget.
Persis Via Vallen ketika ditawarkan menjadi penyanyi di pembukaan Asian Games.
Yang kemudian membuat musisi yang
mengaku “terkenal” malah uring-uringan.
Persis emak-emak menjerit melihat
harga cabe melambung tinggi.
Lama-lama saya akhirnya sadar.
Ekspetasi saya terlalu berlebihan. Tidak mungkin meminta orang akan paham
mengenai imbuhan, tanda baca, penggunaan huruf capital apabila tidak
sering-sering dipraktekkan.
Pernah dalam suatu kesempatan di
acara milenial, saya mengajukan pertanyaan.
“Siapa yang punya FB ?. Hampirnya
satu ruangan mengangkat tangan. Termasuk panitia.
“Siapa yang punya IG ?. Lagi-lagi
hampir satu ruangan mengangkat tangan. Panita sepertinya malu. Malu dengan
peserta yang memang rata-rata generasi milenial.
“Siapa yang punya twitter ?. Mulai
berkurang yang mengangkat.
“Siapa yang punya website atau
blog ?. Eh, tidak sampai 5 orang yang
mengangkat tangan.
Salah satu dari 5 orang kemudian
pertanyaan saya susul. “Kapan terakhir diisi website atau blognya ?.
“Satu bulan yang lalu, pak”.
Pertanyaan kembali saya
lanjutkan.
“Kapan terakhir membaca buku ?”.
Hampir semuanya saling berpandangan.
Tidak berhenti. Lagi-lagi saya
bertanya.
“Kapan terakhir beli buku ?.
Suasana hening.
Hanya satu yang menjawab. “Saya,
pak”.
“Kapan ?.
“3 bulan yang lalu “.
Saya tersenyum. Ya. Kita
kekurangan orang yang mau membaca. Apalagi membeli buku.
Jadi jangan dibayangkan mengenai menulis.
Jauh, mas.
Kayak “perdebatan” mengenai
bentuk bumi. Tidak perlu dibahas lagi.
Semua jawaban dari audiensi tadi semoga
dapat membantu mas wiwin untuk mengurangi kekesalannya.
Sarolangun, 10 Februari 2019