Membicarakan
izin perusahaan dilahan milik masyarakat (pemilik tanah) menimbulkan persoalan
dalam tataran hukum administrasi negara dan hukum tanah.
Pemilik
tanah yang mendapatkan tanah berdasarkan hukum adat, mendiami bertahun-tahun
bahkan sebagian besar merupakan tanah warisan kemudian “dibenturkan” dengan
izin perusahaan diatasnya.
Sebagai
pemegang izin, perusahaan kadangkala keliru menempatkan “maqom” izin berkaitan
dengan tanah. “Tanpa tedeng aling-aling”, perusahaan langsung mengerahkan alat
berat, memboldozer tanaman tanpa “merasa bersalah”. Dengan konsep atau izin
yang dipegangnya, sang pemegang izin dengan enteng bahkan cenderung “merasa
benar”.
Dalam
rezim hukum administrasi negara, konsepsi “izin” adalah pembolehan atau “dispensasi’.
Atau dengan kata lain, sang pemegang izin yang semula dilarang oleh hukum kemudian
oleh negara kemudian “membolehkan” untuk berkebun. Sawit atau kayu misalnya. Sehingga
izin yang berakar dari “pembolehan” atau “dispensasi’ tidka menimbulkan hak.
Maqom ini sengaja dipaparkan agar, konsepsi izin tidak boleh menabrak esensi
hukum tanah sebagaimana diatur didalam UUPA.
Lalu
bagaimana konsep “izin” kemudian bertabrakan dengan hak milik pemilik tanah ?
Dalam
UU No. 5 tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) secara tegas limitative menempatkan
hak milik sebagai hak utama dan terkuat. Hak milik hanya hapus ketika “dialihkan”
atau “diperalihkan”. “Dialihkan” ditandai dengan “jualbeli”, sewa menyewa,
jaminan utang”. Sedangkan “dialihkan” hanya berkaitan dengan “hibah” atau “waris”.
Begitu
agungnya “hak milik” dalam konsepsi HAM, hak milik “tidak dapat dirampas” oleh
siapapun dan dalam keadaan apapun. Makna hak milik melekat didalam individu.
Lalu
apakah begitu agungnya “hak milik” kemudian dapat dirampas oleh konsepsi izin ?
Tentu
saja tidak dibenarkan, hak milik menjadi hapus dengan konsepsi izin. Konsepsi “izin”
berdasarkan maqom “pembolehan” atau “dispensasi’ tidak mungkin menghapuskan
atau menghilangkan “hak milik” yang sudah diatur didalam UUPA.
Atau
dengan kata lain, izin tidak dapat mengambilalih hak milik terhadap tanah.
Didalam
hukum Tanah Melayu Jambi, izin dikenal dimulai dari prosesi “pamit kepada
penghulu”. Sebagai izin “pamit kepada penghulu”, maka sang pemohon izin tidak
dapat menguasai tanah menjadi hak milik. Esensi ini biasa dikenal didalam
praktek ditengah masyarakat.
Di
daerah hulu, “pamit ke penghulu” kemudian dilanjutkan kepada pemilik tanah.
Ujaran yang biasa dikenal adalah “numpang bekebun’ atau “numpang beumo’. Biasanya
ada perjanjian antara “sang pemohon” dengan pemilik tanah. Istilah ini biasa
dikenal “paroan”. Sang pemohon bersedia menanam tanaman tertentu yang
disepakati dengna pemilik tanah. Pemilik tanah bersedia untuk”meminjamkan
tanahnya” dengan system bagi hasil. Istilah inilah yang menjadi makna “paroan”.
Paroan
berasal dari kata “paroh”. Atau separoh. Atau bagi dua. Sehingga pemilik tanah
berhak menikmati hasilnya dibagi dua.
Sebagai
“sang pemohon”, maka berhak untuk menikmati hasilnya. Namun status tanah masih
tetap menjadi hak milik dari sang pemilik tanah.
Dihilir
dikenal “pawah”. Biasanya ditanami tertentu. Kalau tanaman yang berumur panjang
(tanaman tuo), maka selama menghasilkan, maka sang penanam berhak terhadap
hasilnya. Dibagi dua dengna pemilik tanah.
Sedangkan
tanaman berumur pendek biasa dikenal “peumoan”. Peumoan adalah areal yang
memang dikhususkan untuk tanaman mudo seperti menanam padi.
Dengan
demikian maka “paroan”, pawah”, “peumoan” adalah hak untuk menikmati hasil
tanaman. Bukan berhak terhadap status tanah.
Sehingga
“izin” pemegang konsensi baik sawit ataupun kayu sekalipun dapat dikategorikan
sebagai “hak untuk menikmati hasil tanaman”. Bukan status tanah.
Negara
sudah mengaturnya. Didalam surat Keputusan kepala Daerah yang berkaitan izin
(izin prinsip, izin HTI, IUP) selalu dinyatakan “terhadap tegakan yang menjadi
hak pihak ketiga, maka pemegang izin harus menyelesaikan dengna pihak ketiga”.
Sehingga
pemegang izin harus menyelesaikan dengan pemilik tanah. Tidak sertamerta “izin”
menjadi hak terhadap tanah.
Kekeliruan
penafsiran izin yang kemudian dibenturkan dengan hak tanah menjadi salah satu paradigma
yang menyumbang berbagai konflik.
Sudah
saatnya paradigma pemegang izin harus diluruskan. Agar berbagai konflik yang
tengah terjadi dapat didudukkan menjadi persoalan hukum. Sehingga penghormatan
sang pemilik tanah dapat ditempatkan sebagaimana diatur didalam UUPA.
Advokat. Tinggal di Jambi