16 April 2019

opini musri nauli : INFRASTRUKTUR



Akhir-akhir ini, tema infrastruktur menjadi wacana public. Wacana yang memantik kontroversi. Baik yang setuju maupun yang menolak.

Yang membutuhkan infrastruktur sebagai “urat nadi” ekonomi dengan gegap gembira menerima. Bahkan sudah mulai menghitung waktu efisiensi pengurangan cost waktu, onderdil mobil bahkan BBM. Namun yang unik, yang menolak mengeluarkan argumentasi yang sulit diterima akal. Argumentasi yang disampaikan “kami tidak butuh infrastruktur. Kami tidak makan semen”. Sebuah paradog yang unik ditengah “kewarasan” berfikir politik kontemporer.

Sebagai “pengelana”, saya merasakan dampak harga BBM (bensin) seharga Rp 18.000,- di Pulau Sumba. Salah satu pulau besar di Provinsi NTT.

Harga BBM mahal dan sempat menghilang di Jambi pernah dirasakan tahun 2009-2010.

Bayangkan. Nengok anak di Pesantren Padang Panjang. Mesti bawa dua dirijen dimobil. Berhenti setiap ada yang jual minyak. Khawatir tidak ada BBM disepanjang jalan dari Jambi – Padang Panjang. Waktu yang sangat tidak efektif.

Bayangkan juga saya mesti sidang diluar kota Jambi. Urusan “cuma” cari BBM, mesti salah satu agenda yang penting. Entah malam harus “ngepom” dulu di SPBU, cari minyak “ketengan” hingga mencari berbagai sumber yang menyediakan minyak.

Padahal harga resmi cuma Rp 6500,-. Di pasaran bisa mencapai Rp 12.000,-. Bahkan tidak sungkan membeli Rp 15.000,-.

Lalu ketika “satu kebijakan” harga minyak nasional, akupun kaget ketika menemukan BBM kemudian malah tetap diberbagai tempat.

Dan untuk menghindarkan “membakar duit”, kendaraan tertentu tidak “Dibenarkan” memakai premium. Tawaran “pertalite” kemudian menghindarkan dari antrian panjang. Mahal memang. Lalu mengapa kendaraan jenis “sedikit mewah” masih menggunakan premium ?

Ah. Itu cuma “mental. Perilaku. Yang tidak dapat dibicarakan dari pendekatan subsidi.

Lalu siapa yang paling kencang teriak “kenaikan” BBM ?. Ya, kelas atas. Yang memilikli rata-rata 2 jenis kendaraan. Kelas yang tidak tepat lagi “mewakili” kelas bawah. Yang sudah nyaman menikmati “kemudahan” fasilitas”.

Mereka seharusnya menggunakan kelas diatasnya. Entah “pertalite” atau “pertamax”.

Lalu “kelas yang diwakili” kemudian keberatan ?

Tidak. Mereka justru senang dengan satu harga. Ketersediaan BBM. Itulah yang penting.

Siapa yang pernah merasakan naik kereta api bogor – Jakarta ? berdesak-desakan. Kereta api yang bau. Tukang koran, copet, tukang kacang yang teriak disana-sini  ? Bahkan kereta api yang sering telat datang.

Atau naik bis kota yang “bangkunya” sudah reok. Busa bantalan kursi yang berserakan disana-sini ?

Bagaimana keadaan sekarang.

Wuih. Pengalaman terakhir naik MRT dari Gelora Bung Karno setelah “konser Merah Putih” Slank, dengan modal kartu “one tap’, saya bisa keluar dari kemacetan Senayan. Dengan enteng (walaupun sedikit berdesak-desakkan), saya masih bisa ketemu di Sarinah. Paling lama cuma 15 menit. Jalan bebas hambatan. Konon “kabarnya’ macet “maut” masih terasa hingga jam 9 malam.

Pangkal persoalan. Ya, Infrastruktur. Ketidaktersediaan” BBM disebabkan infrastruktur. Jalan yang berlubang. Macet dimana-mana.

Masih ingat jarak tempuh Tembesi – Sarolangun yang cuma 103 km sekarang dapat ditempuh 1 jam 45 menit. Padahal hampir 6 tahun jarak yang sama paling cepat dapat ditempuh 6 jam.

Bahkan saya pernah menempuh Jambi – Bangko 256 km dapat ditempuh 3 jam 45 menit. Saya ingat persis. Turun dari bandara dan mulai start jam 8 Pagi, Hampir jam 12 siang sudah bisa sidang di Bangko.

Atau Bangko –Kerinci cuma 180 km yang sekarang dapat ditempuh 4 jam. Masih ingat 5 tahun yang lalu ? Jarak yang sama dapat ditempuh semalaman.

Lalu bagaimana nasib perjalanan ke Sabak. Jarak cuma 64 km pernah saya tempuh 45 menit.

Bagaimana nasib perjalanan itu semua ?

Parah.

Mobil batubara memadati jalan dari Tembesi hingga Jambi. Macet dan menyebabkan kerusakan disana-sini.

Hampir setahun ini, saya praktis tidak pernah lagi melewati bulian. Dari Jambi memutar dan memasuki Citra Raya, belok kiri melewati jalan kecil (biasa disebut Jalan Ness).

3 bulan yang lalu masih bisa keluar ness dan memasuki kota Bulian. Namun disimpang Ness sama sekali sudah macet. Sehingga sebelum keluar ness, kemudian belok kiri. Melewati Desa Mekar Sari Ness. Melewati jalan kampong, Kecil, berlubang walaupun sudah beraspal. Keluar jalan kemudian ketemu LP di Bulian.

Begitu juga ke Sabak. Jembatan Aurduri 2 yang “hiruk pikuk” menjadi angkutan batubara sama sekali pepepsan kosong. Jembatan terlalu kecil sehingga tidak mungkin dilewati dua mobil batubara yang berpapasan.

Begitu melewati batas Muara Jambi – Tanjabtim, jalan buruk sudah menganga. Berlubang disana-sini. Hingga kemudian memasuki menjelang Kota Sabak.

Tidak lupa juga dari Sabak ke Rantau Rasau-Nipah Panjang. Antrean panjang tidak dihindarkan. Selain jalan yang menyimpan lubang yang besar. Jalan yang ditempuh sama sekali memunculkan pertanyaan. Mengapa masyarakat yang terdapat di Rantau Rasa dan Nipah Panjang sama sekali tidak diurus. Apakah jalan tidka begitu vital ?

Bahkan jalan ke kumpeh cuma “selemparan batu” dari Gubernuran, kondisinya sudah sangat kronis. Bahkan saya cuma tertawa mendengarkan kisah kawan yang cuma ke Tanjung (sekitar 75 km) harus menginap semalaman menjelang Desa Pematang Raman.

Memalukan. Sebagai kampong tua yang pernah melahirkan “Singa Kumpeh” yang pernah membuat Belanda tekuk lutut dinegeri Jambi.

Betul. Sekarang sedang dikerjakan jalan ke Sabak, Ke Kumpeh. Walaupun telat, namun sudah banyak sekali investasi kita menjadi sia-sia. Terjebak dijalanan

Kenyataan sebaliknya justru di Desa-desa. Jalan-jalan utama, lorong rumah, jalan pertanian justru dibangun oleh Pemerintah Desa. 4 tahun terakhir, sangat terasa sekali perubahan dari Desa. Jalan kemudian dapat ditempuh. Bahkan sama sekali tidak khawatir dengan hujan yang mengintai setiap saat.

Memasuki Pemilu serentak, sudah saatnya kita peduli dengan mereka yang mau mengurusi infrastruktur. Entah Presiden, DPD, Anggota DPR-Anggota DPRD Provinsi/Kota/Kab atau Kepala Daerah yang mau mengurusi jalan.

Jangan mau pilih mereka yang “akan”. Atau incumbent yang tidak pernah ngomong infrastruktur. Namun cuma datang cuma “5 tahun sekali”.

Buang ke tong sampah para kandidat Pemilu 2019 yang tidak peduli dengan infrastruktur. Karena infrastruktur yang memudahkan perjalanan kita menjadi tidak sia-sia.