Akhir-akhir ini, tema infrastruktur menjadi wacana public.
Wacana yang memantik kontroversi. Baik yang setuju maupun yang menolak.
Yang membutuhkan infrastruktur sebagai “urat nadi”
ekonomi dengan gegap gembira menerima. Bahkan sudah mulai menghitung waktu
efisiensi pengurangan cost waktu, onderdil mobil bahkan BBM. Namun yang unik,
yang menolak mengeluarkan argumentasi yang sulit diterima akal. Argumentasi
yang disampaikan “kami tidak butuh infrastruktur. Kami tidak makan semen”.
Sebuah paradog yang unik ditengah “kewarasan” berfikir politik kontemporer.
Sebagai “pengelana”, saya merasakan dampak harga BBM
(bensin) seharga Rp 18.000,- di Pulau Sumba. Salah satu pulau besar di Provinsi
NTT.
Harga BBM mahal dan sempat menghilang di Jambi pernah
dirasakan tahun 2009-2010.
Bayangkan. Nengok anak di Pesantren Padang Panjang.
Mesti bawa dua dirijen dimobil. Berhenti setiap ada yang jual minyak. Khawatir
tidak ada BBM disepanjang jalan dari Jambi – Padang Panjang. Waktu yang sangat
tidak efektif.
Bayangkan juga saya mesti sidang diluar kota Jambi.
Urusan “cuma” cari BBM, mesti salah satu agenda yang penting. Entah malam harus
“ngepom” dulu di SPBU, cari minyak “ketengan” hingga mencari berbagai sumber
yang menyediakan minyak.
Padahal harga resmi cuma Rp 6500,-. Di pasaran bisa
mencapai Rp 12.000,-. Bahkan tidak sungkan membeli Rp 15.000,-.
Lalu ketika “satu kebijakan” harga minyak nasional,
akupun kaget ketika menemukan BBM kemudian malah tetap diberbagai tempat.
Dan untuk menghindarkan “membakar duit”, kendaraan
tertentu tidak “Dibenarkan” memakai premium. Tawaran “pertalite” kemudian
menghindarkan dari antrian panjang. Mahal memang. Lalu mengapa kendaraan jenis “sedikit
mewah” masih menggunakan premium ?
Ah. Itu cuma “mental. Perilaku. Yang tidak dapat
dibicarakan dari pendekatan subsidi.
Lalu siapa yang paling kencang teriak “kenaikan” BBM ?.
Ya, kelas atas. Yang memilikli rata-rata 2 jenis kendaraan. Kelas yang tidak
tepat lagi “mewakili” kelas bawah. Yang sudah nyaman menikmati “kemudahan”
fasilitas”.
Mereka seharusnya menggunakan kelas diatasnya. Entah “pertalite”
atau “pertamax”.
Lalu “kelas yang diwakili” kemudian keberatan ?
Tidak. Mereka justru senang dengan satu harga.
Ketersediaan BBM. Itulah yang penting.
Siapa yang pernah merasakan naik kereta api bogor –
Jakarta ? berdesak-desakan. Kereta api yang bau. Tukang koran, copet, tukang
kacang yang teriak disana-sini ? Bahkan
kereta api yang sering telat datang.
Atau naik bis kota yang “bangkunya” sudah reok. Busa
bantalan kursi yang berserakan disana-sini ?
Bagaimana keadaan sekarang.
Wuih. Pengalaman terakhir naik MRT dari Gelora Bung
Karno setelah “konser Merah Putih” Slank, dengan modal kartu “one tap’, saya
bisa keluar dari kemacetan Senayan. Dengan enteng (walaupun sedikit
berdesak-desakkan), saya masih bisa ketemu di Sarinah. Paling lama cuma 15
menit. Jalan bebas hambatan. Konon “kabarnya’ macet “maut” masih terasa hingga
jam 9 malam.
Pangkal persoalan. Ya, Infrastruktur. Ketidaktersediaan”
BBM disebabkan infrastruktur. Jalan yang berlubang. Macet dimana-mana.
Masih ingat jarak tempuh Tembesi – Sarolangun yang cuma
103 km sekarang dapat ditempuh 1 jam 45 menit. Padahal hampir 6 tahun jarak
yang sama paling cepat dapat ditempuh 6 jam.
Bahkan saya pernah menempuh Jambi – Bangko 256 km dapat
ditempuh 3 jam 45 menit. Saya ingat persis. Turun dari bandara dan mulai start
jam 8 Pagi, Hampir jam 12 siang sudah bisa sidang di Bangko.
Atau Bangko –Kerinci cuma 180 km yang sekarang dapat
ditempuh 4 jam. Masih ingat 5 tahun yang lalu ? Jarak yang sama dapat ditempuh
semalaman.
Lalu bagaimana nasib perjalanan ke Sabak. Jarak cuma 64
km pernah saya tempuh 45 menit.
Bagaimana nasib perjalanan itu semua ?
Parah.
Mobil batubara memadati jalan dari Tembesi hingga Jambi.
Macet dan menyebabkan kerusakan disana-sini.
Hampir setahun ini, saya praktis tidak pernah lagi
melewati bulian. Dari Jambi memutar dan memasuki Citra Raya, belok kiri
melewati jalan kecil (biasa disebut Jalan Ness).
3 bulan yang lalu masih bisa keluar ness dan memasuki
kota Bulian. Namun disimpang Ness sama sekali sudah macet. Sehingga sebelum
keluar ness, kemudian belok kiri. Melewati Desa Mekar Sari Ness. Melewati jalan
kampong, Kecil, berlubang walaupun sudah beraspal. Keluar jalan kemudian ketemu
LP di Bulian.
Begitu juga ke Sabak. Jembatan Aurduri 2 yang “hiruk
pikuk” menjadi angkutan batubara sama sekali pepepsan kosong. Jembatan terlalu
kecil sehingga tidak mungkin dilewati dua mobil batubara yang berpapasan.
Begitu melewati batas Muara Jambi – Tanjabtim, jalan
buruk sudah menganga. Berlubang disana-sini. Hingga kemudian memasuki menjelang
Kota Sabak.
Tidak lupa juga dari Sabak ke Rantau Rasau-Nipah
Panjang. Antrean panjang tidak dihindarkan. Selain jalan yang menyimpan lubang
yang besar. Jalan yang ditempuh sama sekali memunculkan pertanyaan. Mengapa
masyarakat yang terdapat di Rantau Rasa dan Nipah Panjang sama sekali tidak
diurus. Apakah jalan tidka begitu vital ?
Bahkan jalan ke kumpeh cuma “selemparan batu” dari
Gubernuran, kondisinya sudah sangat kronis. Bahkan saya cuma tertawa
mendengarkan kisah kawan yang cuma ke Tanjung (sekitar 75 km) harus menginap
semalaman menjelang Desa Pematang Raman.
Memalukan. Sebagai kampong tua yang pernah melahirkan “Singa
Kumpeh” yang pernah membuat Belanda tekuk lutut dinegeri Jambi.
Betul. Sekarang sedang dikerjakan jalan ke Sabak, Ke
Kumpeh. Walaupun telat, namun sudah banyak sekali investasi kita menjadi
sia-sia. Terjebak dijalanan
Kenyataan sebaliknya justru di Desa-desa. Jalan-jalan
utama, lorong rumah, jalan pertanian justru dibangun oleh Pemerintah Desa. 4
tahun terakhir, sangat terasa sekali perubahan dari Desa. Jalan kemudian dapat
ditempuh. Bahkan sama sekali tidak khawatir dengan hujan yang mengintai setiap
saat.
Memasuki Pemilu serentak, sudah saatnya kita peduli
dengan mereka yang mau mengurusi infrastruktur. Entah Presiden, DPD, Anggota
DPR-Anggota DPRD Provinsi/Kota/Kab atau Kepala Daerah yang mau mengurusi jalan.
Jangan mau pilih mereka yang “akan”. Atau incumbent yang
tidak pernah ngomong infrastruktur. Namun cuma datang cuma “5 tahun sekali”.
Buang ke tong sampah para kandidat Pemilu 2019 yang
tidak peduli dengan infrastruktur. Karena infrastruktur yang memudahkan
perjalanan kita menjadi tidak sia-sia.
Baca : PILKADA DAN INFRASTRUKTUR