28 Mei 2019

opini musri nauli : Makna Filosofi Jokowi



Setelah 5 tahun tidak mengeluarkan filosofi Jawa, Jokowi kemudian mengeluarkan filsafat Jawa “Lamun Sira Sekti – Ojo Mateni, Lamun Sira Banter – Ojo Ndhisiki, Lamun Sira Pinter – Ojo Minter”. Secara harfiah dapat diterjemahkan “Meskipun kamu sakti, kamu tidak boleh menjatuhkan. Meskipun kamu cepat. Jangan suka mendahului. Meskipun kamu pintar. Jangan suka sok pintar”.

Makna Filosofi yang digunakan Jokowi sering digunakan untuk melihat sikap, pandangan dan langkah Jokowi dalam berbagai peristiwa pelik di Indonesia.

Ketika heboh polemic Polri-KPK Januari 2015, Entah mengeluarkan beban, facebook yang diakui sebagai milik Jokowi, statusnya cukup serius. “Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti..." segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar..

Ketika status di Facebook Jokowi memuat kalimat Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti..." segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar, maka Jokowi ingin menyelesaikan persoalan “kerumitan” tanpa ingin menang sendiri. Jokowi ingin menyelesaikannya tanpa ada yang merasa dikalahkan.

Tarik menarik antara tidak berpihak kepada KPK dan Polri membuat Jokowi harus berhitung sangat hati-hati.

Tipologi ini menggambarkan mitologi Jawa yang menganut prinsip “rukun”. Rukun adalah kondisi adanya keseimbangan dan saling menghormati.

Jokowi “memerankan” sikap sopan santun. Menjaga emosi partai pendukung yang telah mengusungnya baik dari Walikota, Gubernur maupun Presiden.

Jokowi sadar apabila BG tidak dilantik dan terkesan “grasa-grusu” akan menimbulkan persoalan di kalangan elite partai pendukung.

Namun Jokowi juga hendak mengirimkan pesan kepada siapapun agar saling menghormati dan “tepa selira”. Sehingga diharapkan “apapun” keputusan yang diambil Jokowi tidak akan terjadinya pertikaian yang berlarut-larut.

Jokowi berhasil “melewati titian” yang rumit. Wakapolri kemudian diangkat menjadi Kapolri. Presiden kemudian mengeluarkan Perppu untuk mengganti pimpinan KPK yang sudah menjadi tersangka. Sedangkan kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto kemudian “diponeering’. Ditutup demi kepentingna umum oleh Kejagung.

Kedua belah kemudian “terbukti” menerima. Suasana politik yang sempat “gaduh” kemudian mereda. Suasana “gaduh’ yang tidak diinginkan oleh Jokowi yang berangkat dari konsepsi alam pemikiran Jawa. Yang mengagungkan “kerukunan”, “guyup”, adem dan tenang. Senikmati harmoni mengalir seperti air.

Dalam serat Negarakertagama Mpu Prapanca, mitologi “rukun” adalah “masihi samasta bhuwana”. Berbuat dan mengasihi sesama. Manifestasinya diwujudkan “memayu hayuning bawana”. Harus menjaga ketentraman, kesejahteraaan dan keseimbangan dunia.

Mitologi Jawa yang dianut Jokowi merupakan way of life yang menjadi acuan dalam bertindak. Mitologi Jawa dapat juga ditafsirkan sebagai pandangan dunia Jawa (Javanese world view) atau wawasan hidup Jawa (Javanese outlook) (Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa).

Dalam konsep filsafat Jawa mengenal konsep-konsep umum seperti (1) manunggaling Kawula gusti, (2) tentang manusia, (3) Perkembangan manusia dan (4) sikap hidup. Perwujudan kemudian dapat dilihat dalam konsepsi seperti Falsafah metafisika, Tuhan sebagai sangkan paraning dumadi, epistemologi, cara mendapatkan kesadaran cita (hening), falsafah aksiologi, nilai etik dan falsafah antropologi yaitu pola pikir kemanusiaan.

Kembali ke filosofi yang baru digaungkan Jokowi, Filosofi Jawa yang digaungkan Jokowi “Lamun Sira Sekti – Ojo Mateni, Lamun Sira Banter – Ojo Ndhisiki, Lamun Sira Pinter – Ojo Minter”, masih hidup dan menjadi pegangan masyarakat Jawa. Konsepsi menjalani hidup setelah “tapa brata” yang panjang. Tidak mudah meraih dan menerapkan konsepsi seperti ini.

“Tapa brata” yang diraih manusia paripurna harus mengalami tempaan yang panjang, mengalami berbagai cobaan dan derita hingga harus dicampakkan sebagai manusia.

Namun sebagai “tapa brata’ ujian sesungguhnya tidak boleh abai dari maknanya. Sehingga “ketenangan, kejelian, kesabaran” adalah proses yang harus dilalui. Sehingga ketika Jokowi memaparkan dengan sabar dan menguraikan kerumitan dengan mudah adalah hasil dari proses yang panjang. Bukan sekedar hapalan yang diajarkan dalam alam cosmopolitan masyarakat Jawa.