Setelah
5 tahun tidak mengeluarkan filosofi Jawa, Jokowi kemudian mengeluarkan filsafat
Jawa “Lamun Sira Sekti – Ojo Mateni,
Lamun Sira Banter – Ojo Ndhisiki, Lamun Sira Pinter – Ojo Minter”. Secara
harfiah dapat diterjemahkan “Meskipun
kamu sakti, kamu tidak boleh menjatuhkan. Meskipun kamu cepat. Jangan suka
mendahului. Meskipun kamu pintar. Jangan suka sok pintar”.
Makna
Filosofi yang digunakan Jokowi sering digunakan untuk melihat sikap, pandangan
dan langkah Jokowi dalam berbagai peristiwa pelik di Indonesia.
Ketika
heboh polemic Polri-KPK Januari 2015, Entah mengeluarkan beban, facebook
yang diakui sebagai milik Jokowi, statusnya cukup serius. “Suro Diro
Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti..." segala sifat keras hati, picik,
angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar..
Ketika
status di Facebook Jokowi memuat kalimat Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening
Pangastuti..." segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa
dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar, maka Jokowi ingin
menyelesaikan persoalan “kerumitan” tanpa ingin menang sendiri. Jokowi
ingin menyelesaikannya tanpa ada yang merasa dikalahkan.
Tarik menarik antara tidak berpihak
kepada KPK dan Polri membuat Jokowi harus berhitung sangat hati-hati.
Tipologi ini menggambarkan mitologi
Jawa yang menganut prinsip “rukun”. Rukun adalah kondisi adanya keseimbangan
dan saling menghormati.
Jokowi “memerankan” sikap
sopan santun. Menjaga emosi partai pendukung yang telah mengusungnya baik dari
Walikota, Gubernur maupun Presiden.
Jokowi sadar apabila BG tidak
dilantik dan terkesan “grasa-grusu” akan menimbulkan persoalan di
kalangan elite partai pendukung.
Namun Jokowi juga hendak mengirimkan
pesan kepada siapapun agar saling menghormati dan “tepa selira”.
Sehingga diharapkan “apapun” keputusan yang diambil Jokowi tidak akan
terjadinya pertikaian yang berlarut-larut.
Jokowi berhasil “melewati titian”
yang rumit. Wakapolri kemudian diangkat menjadi Kapolri. Presiden kemudian
mengeluarkan Perppu untuk mengganti pimpinan KPK yang sudah menjadi tersangka. Sedangkan
kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto kemudian “diponeering’. Ditutup demi
kepentingna umum oleh Kejagung.
Kedua belah kemudian “terbukti”
menerima. Suasana politik yang sempat “gaduh” kemudian mereda. Suasana “gaduh’
yang tidak diinginkan oleh Jokowi yang berangkat dari konsepsi alam pemikiran
Jawa. Yang mengagungkan “kerukunan”, “guyup”, adem dan tenang. Senikmati
harmoni mengalir seperti air.
Dalam serat Negarakertagama Mpu
Prapanca, mitologi “rukun” adalah “masihi samasta bhuwana”.
Berbuat dan mengasihi sesama. Manifestasinya diwujudkan “memayu hayuning
bawana”. Harus menjaga ketentraman, kesejahteraaan dan keseimbangan dunia.
Mitologi Jawa yang dianut Jokowi
merupakan way of life yang menjadi acuan dalam bertindak. Mitologi Jawa
dapat juga ditafsirkan sebagai pandangan dunia Jawa (Javanese world view)
atau wawasan hidup Jawa (Javanese outlook) (Suwardi Endraswara, Falsafah
Hidup Jawa).
Dalam konsep filsafat Jawa mengenal
konsep-konsep umum seperti (1) manunggaling Kawula gusti, (2) tentang
manusia, (3) Perkembangan manusia dan (4) sikap hidup. Perwujudan kemudian
dapat dilihat dalam konsepsi seperti Falsafah metafisika, Tuhan sebagai sangkan
paraning dumadi, epistemologi, cara mendapatkan kesadaran cita (hening),
falsafah aksiologi, nilai etik dan falsafah antropologi yaitu pola pikir
kemanusiaan.
Kembali ke filosofi yang baru
digaungkan Jokowi, Filosofi Jawa
yang digaungkan Jokowi “Lamun Sira Sekti –
Ojo Mateni, Lamun Sira Banter – Ojo Ndhisiki, Lamun Sira Pinter – Ojo Minter”, masih
hidup dan menjadi pegangan masyarakat Jawa. Konsepsi menjalani hidup setelah “tapa
brata” yang panjang. Tidak mudah meraih dan menerapkan konsepsi seperti ini.
“Tapa
brata” yang diraih manusia paripurna harus mengalami tempaan yang panjang, mengalami
berbagai cobaan dan derita hingga harus dicampakkan sebagai manusia.
Namun
sebagai “tapa brata’ ujian sesungguhnya tidak boleh abai dari maknanya.
Sehingga “ketenangan, kejelian, kesabaran” adalah proses yang harus dilalui.
Sehingga ketika Jokowi memaparkan dengan sabar dan menguraikan kerumitan dengan
mudah adalah hasil dari proses yang panjang. Bukan sekedar hapalan yang
diajarkan dalam alam cosmopolitan masyarakat Jawa.