29 Mei 2019

opini musri nauli : BAHAGIA



Bahagia adalah “keadaan atau perasaan senang dan tenteram. Bebas dari segala yang menyusahkan”.  Demikian Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan. Bahagia kemudian adalah beruntung, berbahagia, betul-betul merasa bahagia.

Bahagia adalah proses penciptaan. Bukan mempunyai segala-segalanya. Namun menerima apapun yang menjadi hidupnya. Sehingga bisa membebaskan dari rasa yang menyusahkan.
Bahagia tidak dapat dikaitkan dengan kekayaan. Orang kaya seperti Scot Young (miliarder asal Rusia), Adolf Merckle (orang terkaya Jerman), Otto Beisheim (miliarder Jerman), Xu Ming (miliarder China, pemilik Shide Group dan presiden dari klub sepakbola China, Dalian Shide), Jesse Livermore (AS) justru bunuh diri. Baik melompat dari lantai 4, Menabrakkan badannya ke kereta api atau menembakkan kepalanya. Jadi kekayaan tidak menjamin kebahagiaan.

Menerima dan bersyukur adalah hakekat bahagia. Sebuah rasa yang harus diterima.

Bahagia juga mampu menyingkirkan penyakit-penyakit hati. Entah iri, dengki, dendam ataupun penyakit hati lainnya.

Penyakit hati mampu menggerogoti hati, menghancurkan stamina. Bahkan mampu menghilangkan kebahagian.

Penyakit hati menutupi “kebeningan hati’. Menutupi kedamaian hati. Sehingga penyakit hati membuat “uring-uringan”, tidak sabar dan cenderung mudah meledak emosi.

Namun akhir-akhir ini, saya memperhatikan “rasa bahagia” sulit menjadi ukuran. Orang yang mempunyai mobil terbaru, Handphone tercanggih, menikmati fasilitas berbagai ukuran modern namun kemudian uring-uringan.

Entah mengomel harga BBM yang “katanya” naik. Padahal dengna mobil terbaru, BBM tidak tepat lagi menggunakan Premium. Tapi setidaknya “Pertalite”. Kalaupun enggan menggunakan pertamax.

Dan lucunya “dia rela” antri yang mengular sepanjang jalan menuju SPBU.

Dia kemudian “kencang” teriak harga cabe dan bawang yang meroket naik. Padahal dia sendiripun enggan jarang kepasar tradisional. Lebih suka ke pasar swalayan yang bersih, ber-Ac dan tidak gerah oleh panas.

Mereka rajin beribadah. Fasih bertasbih. Rajin mengikuti pengajian.

Namun “uring-uringan” bicara agama. Apalagi kalo sempat disenggol berkaitan dengan Pemilu.

Lupa “air wudhu” belum kering. Kata-katanya kasar. Bahkan saya sendiri bingung. Mengapa mereka uring-uringan. Bukankah Pemilu cuma urusan dunia. Mengapa begitu ngebet membicarakan urusan dunia. Urusan cuma 5 tahun sekali.

Bahkan diskusi apapun tidak boleh diimbangi humor ataupun guyon. “Garing” kata anak muda.

Semakin berumur bukannya semakin “kalem” dan tenang menghadapi hidup. Namun malah semakin semangat. Berapi-api. Apalagi membicarakan agenda politik.

Padahal dulu kukenal dengan kata-kata yang lembut, bijaksana dan “ngemong’. Terkesan kebapakkan dan persahabatan.

Akupun kemudian tersenyum. Kulihat diriku berbicara ketika baru tamat kuliah. Meledak-ledak. Tanpa kompromi.

Apakah penyakit hati yang membelenggu kemudian menimbulkan dendam. Sehingga sama sekali tidak mampu menerangi hatinya ?

Akupun mengusap dada. Sembari menonton televise aku cuma mendengar wejangan dari istriku.

“Mereka kurang bahagia” katanya tidak peduli.

Akupun ngakak.

Baca : Bahagia