Bahagia
adalah “keadaan atau perasaan
senang dan tenteram. Bebas dari segala yang menyusahkan”. Demikian Kamus Besar Bahasa Indonesia
menyebutkan. Bahagia kemudian adalah beruntung, berbahagia, betul-betul merasa
bahagia.
Bahagia adalah proses penciptaan.
Bukan mempunyai segala-segalanya. Namun menerima apapun yang menjadi hidupnya. Sehingga
bisa membebaskan dari rasa yang menyusahkan.
Bahagia tidak dapat dikaitkan dengan
kekayaan. Orang kaya seperti Scot Young (miliarder
asal Rusia), Adolf Merckle (orang terkaya Jerman), Otto
Beisheim (miliarder Jerman), Xu Ming
(miliarder China, pemilik Shide Group dan presiden dari klub sepakbola China,
Dalian Shide), Jesse Livermore (AS) justru bunuh
diri. Baik melompat dari lantai 4, Menabrakkan badannya ke kereta api atau
menembakkan kepalanya. Jadi kekayaan tidak menjamin kebahagiaan.
Menerima
dan bersyukur adalah hakekat bahagia. Sebuah rasa yang harus diterima.
Bahagia
juga mampu menyingkirkan penyakit-penyakit hati. Entah iri, dengki, dendam
ataupun penyakit hati lainnya.
Penyakit
hati mampu menggerogoti hati, menghancurkan stamina. Bahkan mampu menghilangkan
kebahagian.
Penyakit
hati menutupi “kebeningan hati’. Menutupi kedamaian hati. Sehingga penyakit
hati membuat “uring-uringan”, tidak sabar dan cenderung mudah meledak emosi.
Namun
akhir-akhir ini, saya memperhatikan “rasa bahagia” sulit menjadi ukuran. Orang
yang mempunyai mobil terbaru, Handphone tercanggih, menikmati fasilitas
berbagai ukuran modern namun kemudian uring-uringan.
Entah
mengomel harga BBM yang “katanya” naik. Padahal dengna mobil terbaru, BBM tidak
tepat lagi menggunakan Premium. Tapi setidaknya “Pertalite”. Kalaupun enggan
menggunakan pertamax.
Dan
lucunya “dia rela” antri yang mengular sepanjang jalan menuju SPBU.
Dia
kemudian “kencang” teriak harga cabe dan bawang yang meroket naik. Padahal dia
sendiripun enggan jarang kepasar tradisional. Lebih suka ke pasar swalayan yang
bersih, ber-Ac dan tidak gerah oleh panas.
Mereka
rajin beribadah. Fasih bertasbih. Rajin mengikuti pengajian.
Namun “uring-uringan”
bicara agama. Apalagi kalo sempat disenggol berkaitan dengan Pemilu.
Lupa “air
wudhu” belum kering. Kata-katanya kasar. Bahkan saya sendiri bingung. Mengapa
mereka uring-uringan. Bukankah Pemilu cuma urusan dunia. Mengapa begitu ngebet
membicarakan urusan dunia. Urusan cuma 5 tahun sekali.
Bahkan
diskusi apapun tidak boleh diimbangi humor ataupun guyon. “Garing” kata anak
muda.
Semakin
berumur bukannya semakin “kalem” dan tenang menghadapi hidup. Namun malah
semakin semangat. Berapi-api. Apalagi membicarakan agenda politik.
Padahal
dulu kukenal dengan kata-kata yang lembut, bijaksana dan “ngemong’. Terkesan kebapakkan
dan persahabatan.
Akupun kemudian
tersenyum. Kulihat diriku berbicara ketika baru tamat kuliah. Meledak-ledak.
Tanpa kompromi.
Apakah
penyakit hati yang membelenggu kemudian menimbulkan dendam. Sehingga sama
sekali tidak mampu menerangi hatinya ?
Akupun
mengusap dada. Sembari menonton televise aku cuma mendengar wejangan dari
istriku.
“Mereka
kurang bahagia” katanya tidak peduli.
Akupun
ngakak.
Baca : Bahagia