Mari
kita lupakan suasana hiruk pikuk Pilpres 2019 yang memekakkan telinga.
Mengganggu nurani. Mari kita sejenak melihat peradaban adiluhung pusat
Episentrum Sumatera Tengah (Sumbar, Riau,
Jambi, Bengkulu). Peradaban yang diwariskan sejak zaman Pagaruyung.
Sebagai
‘Episentrum” peradaban Sumatera Tengah, Sumbar yang mempengaruhi peradaban
disekitarnya seperti Jambi, Riau, Bengkulu, mempunyai peradaban adiluhung.
Entah
dengan Seloko “Adat bersendikan Syara’.
Syara’ bersendikan Kitabullah’ yang kemudian termaktub didalam Peraturan
Daerah di berbagai provinsi, “struktur social”
seperti “ninik mamak-tuo tengganai-alim
ulama-cerdik pandai” atau istilah lain seperti “tiga tungku sejaringan”.
Seloko
“Adat bersendikan Syara’. Syara’
bersendikan Kitabullah’ dapat ditemukan didalam Perda Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu
Jambi junto Perda No. 5 Tahun 2007 justru ditemukan kalimat “Adat bersendikan syara'. Syara' bersendikan
kitabulah. Sebuah kata yang menjadi pegangan di masyarakat di Minangkabau. Begitu
juga didalam Perda Kabupaten Tanjabtim No. 5 Tahun 2014.
Di
Kerinci, Marga Serampas, Marga Sungai Tenang dikenal Seloko “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke
Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung, atau Tegak Tajur, Ilir ke
Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau membuktikan hubungan kekerabatan yang kuat
antara masyarakat di hulu Sungai Batanghari dengan Pagaruyung. Selain itu juga Seloko menggambarkan
sebagai “sembah bakti” untuk menghormati “Raja Jambi” dan “raja Minangkabau’.
“Sembah bakti” bukanlah bagian dari “jajahan”.
Tapi adalah “ikrar” menghormati Raja. “Berajo” adalah istilah yang tepat untuk
menggambarkan seloko kedua raja.
Seloko
dan struktur social yang dipengaruhi
dari Kerajaan Pagaruyung (sebagian sering
menyebutkan “Minangkabau), dapat ditandai dari jejak kerajaan Pagaruyung
diberbagai tempat. Entah di Riau, Bengkulu dan di Jambi.
Didalam
berbagai dokumen disebutkan wilayah Minangkabau dibagi menjadi
tiga. Darek (darat), Rantau dan Pesisia (Pesisir). Darek
adalah daerah tinggi diantara pegunungan diantaranya Gunung Singgalang dan
Gunung Merapi. Darek dibagi 3 (luhak nan tigo). Luhak tanah datar, luhak
Agam dan Luhak 50 Koto yang terdiri luhak, ranah dan Lareh. Maninjau termasuk
kedalam Luhak Agam. Rantau adalah daerah diluar Luhak nan tigo. Menyusuri
Sungai seperti Rokan, Siak, Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batanghari. Biasa
disebut juga Minangkabau Timur atau “ikua rantau (Ekor rantau). Sehingga
“ikua rantau” dilihat dari menyusuri Sungai Batanghari.
Di
Jambi, pengaruh Minangkabau ditandai berbagai tempat. Entah langsung “menyerap”
langsung dari Minangkabau seperti penggunaan nama “datuk” sebagai pemangku adat
seperti di Batin Datuk Nan Tigo (sarolangun), Datuk nan Duo (Marga Renah pembarap),
maupun “penyaringan” dan bertemu dengan hukum Jambi.
Pengaruh
Minangkabau ‘sangat kental” di Marga Jujuhan, Marga VII Koto, Marga IX Koto
(Kabupaten Tebo). Sebagai daerah yang langsung berbatasan dengan wilayah Sumbar
ditandai dengan Tembo “Durian Takuk Rajo’
dikenal di Marga Jujuhan, Marga VII Koto, Marga IX Koto dan Marga Sumay. Batas
alam wilayah Provinsi Sumbar dan Provinsi Jambi. Tembo “durian takuk rajo” juga dikenal dan diakui didalam Tambo
Minangkabau.
Di
Merangin, istilah “Tali undang-tambang
teliti” mempunyai makna “pertemuan”
Hukum Jambi dengan Hukum Minangkabau’. Perpaduan (tambang teliti) dengan hukum Jambi kemudian menghasilkan hukum di
Merangin. Istilah “tali undang tambang
teliti” masih termaktub didalam Lambang Kabupaten Merangin.
Bahkan
Pemangku adat “Datu Raja Nan Putih” yang dikenal di Marga Pangkalan Jambu
(Merangin) adalah termasuk kedalam Ranji Kerajaan Indrapura. Kemudian diberi
gelar Sultan Gadamsyah yang kemudian menjadi Raja di Pangkalan Jambu-Birun
(Merangin). Kerajaan Indrapura dikenal sebagai “vassal” dari Kerajaan
Pagaruyung.
Sehingga
tidak salah kemudian, Minangkabau adalah episentrum dari peradaban Sumatera
Tengah. Episentrum yang mempengaruhi, menginspirasi terhadap peradaban yang
terus dan masih terasa hingga kini.