“Warung kok masih buka ?. Apakah
yang datang tidak berpuasa ?’,
Terdengar teriakan dari sudut jalan.
Akupun
tersenyum sembari bertanya ?. Apakah yang datang tidak berpuasa ? Mengapa
mereka tidak berpuasa ?. Apakah mereka bukan beragama muslim ? Apakah mereka
tengah musafir ?. Apakah mereka memang tidak diwajibkan tidak berpuasa ?.
Apakah karena perempuan sedang “datang bulan”, atau tengah menyusui atau memang
tidak diwajibkan untuk berpuasa ?.
Pikiranku
kemudian berkecamuk.
Apakah
begitu mulia orang yang berpuasa ?.
Apakah
orang berpuasa harus dihormati dan diminta untuk dihormati ?
Teringat
cerita KH. Mustafa Bisri (Gus Mus).
“Mengapa orang berpuasa hendak
dihormati ?. Apakah orang berpuasa “tidak tahan” berpuasa apabila melihat
warung berpuasa ?. Mengapa orang berpuasa justru ingin dilihat orang banyak
sehingga berpuasa harus diketahui orang lain ?
Lalu
?.
Apakah
orang tidak berpuasa lebih hina daripada berpuasa ? Mengapa negara menggunakan
berbagai alat-alat keamanan kemudian “memaksa” untuk menghormati orang berpuasa
?
Mengapa
negara kemudian mengurusi “ibadah” yang sudah tegas diatur didalam agama ?.
Apakah puasa akan bisa batal tanpa menggunakan kekuatan negara ?.
Apakah
orang berpuasa lebih mulia daripada orang berpuasa ?. Apakah orang berpuasa
lebih berpahala daripada orang berpuasa.
Akupun
tidak mengerti. Yang kutahu, “berpuasa” adalah kewajiban. Kewajiban yang
melekat kepada orang “pilihan” sebagaimana sering disampaikan para penceramah
agama.
Ya.
Cukuplah kata “Ya Ayyuhallazi”. Tidak
perlu lagi menggunakan alat-alat negara untuk memaksa.
Semoga
“orang tidak berpuasa” tidaklah lebih hina daripada orang berpuasa. Dan orang
yang berpuasa merasa “lebih mulia” daripada orang yang berpuasa.
Tidak
akan masuk ke dalam surga orang yang dihatinya ada kesombongan meskipun sebesar
biji sawi. (HR. Muslim). Demikian “obat’ untuk mengusir
kegalauan.