04 Juni 2019

opini musri nauli : hina


“Warung kok masih buka ?. Apakah yang datang tidak berpuasa ?’, Terdengar teriakan dari sudut jalan.

Akupun tersenyum sembari bertanya ?. Apakah yang datang tidak berpuasa ? Mengapa mereka tidak berpuasa ?. Apakah mereka bukan beragama muslim ? Apakah mereka tengah musafir ?. Apakah mereka memang tidak diwajibkan tidak berpuasa ?. Apakah karena perempuan sedang “datang bulan”, atau tengah menyusui atau memang tidak diwajibkan untuk berpuasa ?.
Pikiranku kemudian berkecamuk.

Apakah begitu mulia orang yang berpuasa ?.

Apakah orang berpuasa harus dihormati dan diminta untuk dihormati ?

Teringat cerita KH. Mustafa Bisri (Gus Mus).

“Mengapa orang berpuasa hendak dihormati ?. Apakah orang berpuasa “tidak tahan” berpuasa apabila melihat warung berpuasa ?. Mengapa orang berpuasa justru ingin dilihat orang banyak sehingga berpuasa harus diketahui orang lain ?

Lalu ?.

Apakah orang tidak berpuasa lebih hina daripada berpuasa ? Mengapa negara menggunakan berbagai alat-alat keamanan kemudian “memaksa” untuk menghormati orang berpuasa ?

Mengapa negara kemudian mengurusi “ibadah” yang sudah tegas diatur didalam agama ?. Apakah puasa akan bisa batal tanpa menggunakan kekuatan negara ?. 

Apakah orang berpuasa lebih mulia daripada orang berpuasa ?. Apakah orang berpuasa lebih berpahala daripada orang berpuasa.

Akupun tidak mengerti. Yang kutahu, “berpuasa” adalah kewajiban. Kewajiban yang melekat kepada orang “pilihan” sebagaimana sering disampaikan para penceramah agama.

Ya. Cukuplah kata “Ya Ayyuhallazi”. Tidak perlu lagi menggunakan alat-alat negara untuk memaksa.

Semoga “orang tidak berpuasa” tidaklah lebih hina daripada orang berpuasa. Dan orang yang berpuasa merasa “lebih mulia” daripada orang yang berpuasa.

Tidak akan masuk ke dalam surga orang yang dihatinya ada kesombongan meskipun sebesar biji sawi. (HR. Muslim). Demikian “obat’ untuk mengusir kegalauan.