Mendapatkan
kabar duka mendalam terhadap kepergian Guru bangsa, KH Maimun Zubair (Mbah
Maimun) mengingatkan kebesarannya namanya. Duka mendalam terhadap Guru yang
jejaknya kemudian memberikan keteduhan, kenyamanan, kesantunan bahkan kedamaian.
Tidak ada satupun kata-katanya yang keras. Teduh memayungi siapapun yang ingin
dekatnya.
Sebagai
orang yang diwarisi “kharomah” dan mempunyai ilmu yang adiluhung yang mumpuni,
Mbah Main dapat disejajarkan dengan Kiyai Langitan. Ilmunya menembus langit
dengan penguasaian ilmu agama.
Tidak
perlu menyebutkan latarbelakang pendidikannya. Dengan menyebutkan satu kitab Al-Ihtijajus
Syafiiyah ‘Alar Rawafidh al-Imamiyyah, tidak salah kemudian disebut sebagai Kiyai
Langitan.
Menulis kitab dalam tulisan Arab (tentu saja tidak pakai baris) tidak
hanya sekedar menguasai satu bidang ilmu. Entah berapa banyak cabang ilmu untuk
mempelajarinya.
Nah. Ketika menuliskannya, maka bisa dipastikan hanya orang-orang
istimewa yang dapat menuliskannya. Dan itu sangat langka di Indonesia.
Sehingga tidak salah kemudian dia dikenal sebagai “kitab berjalan”.
Menjadi rujukan organisasi keagamaan. Entah itu MUI atau NU.
Ingatan cukup jernih. Tutur katanya lembut menguraikan persoalan agama,
kebangsaan sambil bercerita. Tidak lupa guyonan (khas kiyai NU) membuat
dakwahnya menjadi sejuk.
Namun sebagai “kiyai Langitan”, kakinya tetap berpijak dibumi. Lihatlah
bagaimana dakwah-dakwahnya disampaikan dengan Bahasa Lokal. Kadang Bahasa Jawa.
Sembari senandung. Dia mengajak agar tetap beribadah tanpa harus memaksa.
Dengan enteng berbagai persoalan yang rumit diuraikan dengan santai.
Persis mengajak anak SD untuk sholat.
Atau sambil guyon ketika tema Islam yang disampaikan dengan nada kasar,
sembari guyon kalimat rumit menjadi adem.
“Sampeyan itu jangan suka mengkafir-kafirkan orang lain. Wong
sampeyan sendiri belum tentu masuk surge. Kok ngurusin orang lain”.
Sehingga ketika NU menggelar Munas Alim Ulama dan Konferensi
Besar kemudian menghasilkan Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah tentang mengusulkan
kata “non muslim”, pengejawantahan
dari Islam kemudian menempatkan manusia sebagai sesama ciptaannya. Sehingga makna
“kafir” menjadi tidak tepat dalam
konsep Piagam Madinah. Konsep penghargaan sesama manusia dalam masa nabi Muhammad,
SAW.
Sebagai
Kiyai Langitan, ajaran yang paling mudah dilakukan adalah dengan cara
menghormati ciptan-Nya.
Lihatlah.
Bagaimana dia memperlakukan siapapun, tamu darimanapun tanpa ada perbedaan. Semuanya
mendapatkan wejangan. Tidak ada satupun “musuh” yang dikamusnya.
Berbagai
tokoh-tokoh yang berseberangan namun duduk takzim dihadapan Mbah Maimun.
Sembari mengulurkan tangan, dia selalu mengajak berjabat tangan agar saling
memaafkan.
Teladan
hidupnya yang kemudian dikemas menjadi “Dawuh” yang mudah diaplikasikan menjadi
pedoman hidup. Dawuh yang sering disampaikan dalam berbagai kesempatan dan
sering dimuat diberbagai media massa.
Jika engkau melihat seekor semut terpeleset
dan jatuh di air, Maka angkat dan tolonglah...
Barangkali itu menjadi penyebab ampunan bagimu di akherat.
Barangkali itu menjadi penyebab ampunan bagimu di akherat.
Jika engkau menjumpai batu kecil di jalan
yang bisa menggangu jalannya kaum muslimin, Maka singkirkanlah,
Barangkali itu menjadi penyebab
dimudahkannya jalanmu menuju syurga.
Jika engkau menjumpai anak ayam terpisah dari
induknya, Maka ambil dan susulkan ia dengan induknya,
Semoga itu menjadi penyebab Allah
mengumpulkan dirimu dan keluargamu di surga.
Jika engkau melihat orang tua membutuhkan
tumpangan, Maka antarkanlah ia...
Barangkali itu mejadi sebab kelapangan
rezekimu di dunia.
Jika engkau bukanlah seorang yang mengusai
banyak ilmu agama, Maka ajarkanlah alif ba' ta' kepada anak2 mu,
Setidaknya itu menjadi amal jariyah
untukmu.. Yang tak akan terputus pahalanya meski engkau berada di alam kuburmu.
Jika engkau tidak bisa berbuat kebaikan
sama sekali, Maka tahanlah tangan dan lsanmu dari menyakiti sesama makhluk
hidup.....
Setidaknya itu akan menjadi sedekah
untuk dirimu.
Selamat Jalan, Mbah. Semoga amal yang
engkau wariskan dapat menerangi cahaya gelap hidup kami.
Al Fatihah.
Dimuat di www.jamberita.com, 6 Agustus 2019
https://jamberita.com/read/2019/08/06/5952237/kisah-semut-dari-mbah-maimun/