06 Agustus 2019

opini musri nauli : Kisah Semut dari Mbah Maimun



Mendapatkan kabar duka mendalam terhadap kepergian Guru bangsa, KH Maimun Zubair (Mbah Maimun) mengingatkan kebesarannya namanya. Duka mendalam terhadap Guru yang jejaknya kemudian memberikan keteduhan, kenyamanan, kesantunan bahkan kedamaian. Tidak ada satupun kata-katanya yang keras. Teduh memayungi siapapun yang ingin dekatnya.

Sebagai orang yang diwarisi “kharomah” dan mempunyai ilmu yang adiluhung yang mumpuni, Mbah Main dapat disejajarkan dengan Kiyai Langitan. Ilmunya menembus langit dengan penguasaian ilmu agama.
Tidak perlu menyebutkan latarbelakang pendidikannya. Dengan menyebutkan satu kitab Al-Ihtijajus Syafiiyah ‘Alar Rawafidh al-Imamiyyah, tidak salah kemudian disebut sebagai Kiyai Langitan.

Menulis kitab dalam tulisan Arab (tentu saja tidak pakai baris) tidak hanya sekedar menguasai satu bidang ilmu. Entah berapa banyak cabang ilmu untuk mempelajarinya.

Nah. Ketika menuliskannya, maka bisa dipastikan hanya orang-orang istimewa yang dapat menuliskannya. Dan itu sangat langka di Indonesia.

Sehingga tidak salah kemudian dia dikenal sebagai “kitab berjalan”. Menjadi rujukan organisasi keagamaan. Entah itu MUI atau NU.

Ingatan cukup jernih. Tutur katanya lembut menguraikan persoalan agama, kebangsaan sambil bercerita. Tidak lupa guyonan (khas kiyai NU) membuat dakwahnya menjadi sejuk.

Namun sebagai “kiyai Langitan”, kakinya tetap berpijak dibumi. Lihatlah bagaimana dakwah-dakwahnya disampaikan dengan Bahasa Lokal. Kadang Bahasa Jawa. Sembari senandung. Dia mengajak agar tetap beribadah tanpa harus memaksa.

Dengan enteng berbagai persoalan yang rumit diuraikan dengan santai. Persis mengajak anak SD untuk sholat.

Atau sambil guyon ketika tema Islam yang disampaikan dengan nada kasar, sembari guyon kalimat rumit menjadi adem.

Sampeyan itu jangan suka mengkafir-kafirkan orang lain. Wong sampeyan sendiri belum tentu masuk surge. Kok ngurusin orang lain”.

Sehingga ketika NU menggelar Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar kemudian menghasilkan Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah tentang mengusulkan kata “non muslim”, pengejawantahan dari Islam kemudian menempatkan manusia sebagai sesama ciptaannya. Sehingga makna “kafir” menjadi tidak tepat dalam konsep Piagam Madinah. Konsep penghargaan sesama manusia dalam masa nabi Muhammad, SAW.

Sebagai Kiyai Langitan, ajaran yang paling mudah dilakukan adalah dengan cara menghormati ciptan-Nya.

Lihatlah. Bagaimana dia memperlakukan siapapun, tamu darimanapun tanpa ada perbedaan. Semuanya mendapatkan wejangan. Tidak ada satupun “musuh” yang dikamusnya.

Berbagai tokoh-tokoh yang berseberangan namun duduk takzim dihadapan Mbah Maimun. Sembari mengulurkan tangan, dia selalu mengajak berjabat tangan agar saling memaafkan.

Teladan hidupnya yang kemudian dikemas menjadi “Dawuh” yang mudah diaplikasikan menjadi pedoman hidup. Dawuh yang sering disampaikan dalam berbagai kesempatan dan sering dimuat diberbagai media massa.

Jika engkau melihat seekor semut terpeleset dan jatuh di air, Maka angkat dan tolonglah...
Barangkali itu menjadi penyebab ampunan bagimu di akherat.

Jika engkau menjumpai batu kecil di jalan yang bisa menggangu jalannya kaum muslimin, Maka singkirkanlah,
Barangkali itu menjadi penyebab dimudahkannya jalanmu menuju syurga.

Jika engkau menjumpai anak ayam terpisah dari induknya, Maka ambil dan susulkan ia dengan induknya,
Semoga itu menjadi penyebab Allah mengumpulkan dirimu dan keluargamu di surga.
Jika engkau melihat orang tua membutuhkan tumpangan, Maka antarkanlah ia...
Barangkali itu mejadi sebab kelapangan rezekimu di dunia.
Jika engkau bukanlah seorang yang mengusai banyak ilmu agama, Maka ajarkanlah alif ba' ta' kepada anak2 mu,
Setidaknya itu menjadi amal jariyah untukmu.. Yang tak akan terputus pahalanya meski engkau berada di alam kuburmu.

Jika engkau tidak bisa berbuat kebaikan sama sekali, Maka tahanlah tangan dan lsanmu dari menyakiti sesama makhluk hidup.....

Setidaknya itu akan menjadi sedekah untuk dirimu.

Selamat Jalan, Mbah. Semoga amal yang engkau wariskan dapat menerangi cahaya gelap hidup kami.

Al Fatihah.



Dimuat di www.jamberita.com, 6 Agustus 2019

https://jamberita.com/read/2019/08/06/5952237/kisah-semut-dari-mbah-maimun/