07 Juli 2019

opini musri nauli : Syukur




Teringat waktu kecil, sang guru ngaji sering memulai pengajian dengan doa yang mengucapkan syukur atas nikmat dan karunia yang diberikan. Doa-doa yang sering diulang hingga masih terngiang ditelinga.

Bersyukur adalah mengucapkan terima kasih kepada Sang Pencipta atas karunianya. Dengan indra yang sempurna, pikiran yang jernih, badan yang sehat dan kekayaan yang membuat kita bahagia.

Kekayaan tidak harus berupa materi. Persahabatan, silaturahmi, tolong menolong, bahkan bantuan dari orang yang tidak terduga sering diumpamakan sebagai kekayaan.

Bukankah ada orang yang ada disekitar kita yang mempunyai kekayaan yang melimpah, materi yang berlebih. Namun tidak dapat menikmati hidupnya. Entah kekayaan yang tidak bermanfaat bagi orang lain, kekayaan yang didapatkan sering dikeluarkan untuk kebutuhan yang tidak perlu, tidak bahagia. Bahkan kekayaan materi yang dipunyainya tidak dapat dinikmati . Baik karena dia tidak menggunakan waktunya untuk menikmati bahagia, dikejar-kejar pekerjaan yang mendera. Bahkan tidak sedikit orang yang “sering termenung” sendirian disudut kota. Menikmati kekayaan tanpa kebahagiaan.

Bukankah kita menyaksikan teman-temanku, yang dikantongnya “paling banter Rp 50.000,-“, namun dia tertawa lepas. Bahagia menikmati hari.

Yah. Kekayaan dan kebahagiaan adalah “hati”. Mensyukuri kenikmatan yang diberikan dari sang Pencipta.

Lalu mengapa banyak sekali “pelaku” penyebar kebencian yang “Sering ditangkap” polisi berasal dari orang yang mapan, hidupnya sudah senang namun harus berakhir hidupnya dipenjara. Mengapa dia begitu tolol menyebarkan gossip, fitnah, ujaran kebencian bahkan tidak segan-segan menghina sebagian kelompok  orang lain.

Rasa penasaran itulah yang sering menjadi tanda tanya bagi saya. Apakah “mereka” sadar dengan perbuatannya. Lalu kebahagian apalagi yang hendak diraih ketika mereka melakuan tindak pidana. Apakah mereka sadar, hidup dipenjara akibat kelakuan bukanlah kebahagian yang hendak diraih.

Lihatlah. Sebagian besar mereka berasal dari kaum terdidik. Dari keluarga mapan. Bahkan tidak sedikit dari mereka justru dari keluarga yang terpandang. Entah menguasai informasi, menguasai gadget terbaru.

Bahkan ada yang berasal dari kaum terpelajar yang mengerti akan “logika”, dan pikiran sehat.

Pertanyan demi pertanyaan sering menggayuti pikiran saya.

Lalu kalau tujuan mencari kebahagian, mengapa ketika “pintu sel” mulai berderit, langsung mereka meraung-raung ? Bukankah tujuan kebahagian itu yang hendak dituju ?

Sayapun tidak habis mengerti. Dengan kekayaan dan kebahagian yang sudah mereka menikmati, lalu mengapa mereka “lari” dan sibuk mengurusi pekerjaan hina menyebarkan fitnah ? Apakah kekayaan dan kebahagiaan tidak cukup sehingga mereka mencari pelarian. Atau memang kekayaan dan kebahagiaan tidak mampu mengolah rasa. Menciptakan kesenangan yang kemudian ditebarkan kepada orang lain.

Sambil menarik nafas panjang, saya kemudian teringat pengajian waktu kecil. Bersyukurlah terhadap pemberian darinya. “Apabila engkau bersyukur, maka nikmatku khan ditambah. Namun apabila engkau tidak bersyukur. Sesungguhnya azabku sungguh pedih”.