Teringat
waktu kecil, sang guru ngaji sering memulai pengajian dengan doa yang
mengucapkan syukur atas nikmat dan karunia yang diberikan. Doa-doa yang sering
diulang hingga masih terngiang ditelinga.
Bersyukur
adalah mengucapkan terima kasih kepada Sang Pencipta atas karunianya. Dengan
indra yang sempurna, pikiran yang jernih, badan yang sehat dan kekayaan yang
membuat kita bahagia.
Kekayaan
tidak harus berupa materi. Persahabatan, silaturahmi, tolong menolong, bahkan
bantuan dari orang yang tidak terduga sering diumpamakan sebagai kekayaan.
Bukankah
ada orang yang ada disekitar kita yang mempunyai kekayaan yang melimpah, materi
yang berlebih. Namun tidak dapat menikmati hidupnya. Entah kekayaan yang tidak
bermanfaat bagi orang lain, kekayaan yang didapatkan sering dikeluarkan untuk
kebutuhan yang tidak perlu, tidak bahagia. Bahkan kekayaan materi yang
dipunyainya tidak dapat dinikmati . Baik karena dia tidak menggunakan waktunya
untuk menikmati bahagia, dikejar-kejar pekerjaan yang mendera. Bahkan tidak
sedikit orang yang “sering termenung” sendirian disudut kota. Menikmati
kekayaan tanpa kebahagiaan.
Bukankah
kita menyaksikan teman-temanku, yang dikantongnya “paling banter Rp 50.000,-“,
namun dia tertawa lepas. Bahagia menikmati hari.
Yah.
Kekayaan dan kebahagiaan adalah “hati”. Mensyukuri kenikmatan yang diberikan
dari sang Pencipta.
Lalu
mengapa banyak sekali “pelaku” penyebar kebencian yang “Sering ditangkap”
polisi berasal dari orang yang mapan, hidupnya sudah senang namun harus
berakhir hidupnya dipenjara. Mengapa dia begitu tolol menyebarkan gossip,
fitnah, ujaran kebencian bahkan tidak segan-segan menghina sebagian kelompok orang lain.
Rasa
penasaran itulah yang sering menjadi tanda tanya bagi saya. Apakah “mereka”
sadar dengan perbuatannya. Lalu kebahagian apalagi yang hendak diraih ketika mereka
melakuan tindak pidana. Apakah mereka sadar, hidup dipenjara akibat kelakuan
bukanlah kebahagian yang hendak diraih.
Lihatlah.
Sebagian besar mereka berasal dari kaum terdidik. Dari keluarga mapan. Bahkan tidak
sedikit dari mereka justru dari keluarga yang terpandang. Entah menguasai
informasi, menguasai gadget terbaru.
Bahkan
ada yang berasal dari kaum terpelajar yang mengerti akan “logika”, dan pikiran
sehat.
Pertanyan
demi pertanyaan sering menggayuti pikiran saya.
Lalu
kalau tujuan mencari kebahagian, mengapa ketika “pintu sel” mulai berderit,
langsung mereka meraung-raung ? Bukankah tujuan kebahagian itu yang hendak
dituju ?
Sayapun
tidak habis mengerti. Dengan kekayaan dan kebahagian yang sudah mereka
menikmati, lalu mengapa mereka “lari” dan sibuk mengurusi pekerjaan hina
menyebarkan fitnah ? Apakah kekayaan dan kebahagiaan tidak cukup sehingga
mereka mencari pelarian. Atau memang kekayaan dan kebahagiaan tidak mampu
mengolah rasa. Menciptakan kesenangan yang kemudian ditebarkan kepada orang
lain.
Sambil
menarik nafas panjang, saya kemudian teringat pengajian waktu kecil.
Bersyukurlah terhadap pemberian darinya. “Apabila
engkau bersyukur, maka nikmatku khan ditambah. Namun apabila engkau tidak
bersyukur. Sesungguhnya azabku sungguh pedih”.