24 Oktober 2019

opini musri nauli : Bang Burhan yang saya kenal


Ketika diumumkan nama Jaksa Agung, ST Burhanuddin, ingatan saya melayang ketika sidang di Bangko paska kerusuhan massal yang berakhir pembakaran PT. KDA. Sebuah perusahaan sawit yang berkonflik di Desa Empang Benao, Bangko. September 1999.

Ketika proses hukum kemudian dipersidangan, ketika itu saya ditemui oleh Jaksa Penuntut Umum didalam persidangan. Beliau adalah senior saya di Fakultas Hukum Unja. Dengan tenang dia membisikkan.
“Nauli, kasihan masyarakat. Tuntutan kita pas saja. Nanti kita sama-sama ketemu dengan Kajari”. Sayapun mengangguk. “Tapi mohon sidang yang tertib, ya”, katanya sembari menepuk pundak saya. Persis ungkapan kakak kepada adiknya. Persis “kakak” yang mengemong adiknya yang tengah belajar sidang di pengadilan.

Tidak lama kemudian saya bertemu dengan Kajari. Entah apa yang diomongkan beliau kepada Kajari. Namun ketika saya bertemu, suasana lebih keakraban. Tidak ada pembicaraan khusus terhadap perkara yang tengah disidangkan. Kami hanya bercerita umum.

Sembari mengantarkan saya keluar ruangan, dia berbisik, “teruskanlah mendampingi masyarakat. Mereka masih buta hukum. Saya senang dengna kamu “, katanya. Lagi-lagi menepuk pundak saya.

Sayapun tidak mengerti. Mengapa tiba-tiba Kajari Bangko begitu baik dengan saya. Selain memang saya tidak pernah bertemu secara langsung, tiba-tiba dia berbaik hati untuk membuat tuntutan yang meringankan masyarakat.

Sayapun lega. Ketika tuntutan dibacakan (walaupun saya tetap gigih memaparkan fakta-fakta dan meminta bebas), waktu menjalani penjara tidak begitu lama. Saya kemudian menghitung dengan masa tahanan. Ternyata “para terdakwa” tinggal menjalani 1 minggu. Sebuah “kemewahan” yang saya rasakan ketika mendampingi kasus prodeo.

Di lain waktu, Saya kemudian mendapatkan informasi dari senior saya bagaimana dia memprovokasi “Kajari” agar membuat tuntutan yang ringan.

Dengan alasan “dia yunior saya, pak kajari. Masih muda. Saya yakin dia orang baik”. Sayapun ngakak. Yang pasti saya suka bersentuhan dengan senior yang membimbing disaat saya baru mulai praktek persidangan.

Sejak itu respek saya kemudian terbangun. Ditambah istri beliau adalah Jaksa yang sering sidang di Pengadilan Negeri Jambi. Walaupun kemudian saya tahu dia menjadi orang besar, namun ketika menjemput istrinya habis sidang, kami ramai-ramai ditraktir makan siang dibelakang Kejati.

Kami lebih suka “jahil” kepada istri beliau. Lebih suka “ganggu”. Dengan enteng kami sering membisikkan istrinya. “Awas mbak, bapak tuh ganteng. Kumis lagi. Banyak yang naksir”. Biasanya kami tertawa berderai.

Sudah lama memang kami tidak melihat beliau menjemput istrinya di Pengadilan Negeri Jambi. Sayapun kemudian tidak mengikuti beritanya.

Namun ketika saya melihat “pria berkumis” yang menundukkan badannya, saya kemudian langsung ingat. Ingat akan kehangatan seorang kakak yang melihat adiknya baru bersidang di Pengadilan Negeri.

Selamat, bang. Peristiwa 20 tahun lalu membekas. Dan saya yakin. Tuhan sedang bekerja untuk “memilih orang baik”.

Semoga abang amanah. Ditengah tingkat kepercayaan kepada penegak hukum yang masih jauh dari kata memuaskan.