Ketika
diumumkan nama Jaksa Agung, ST Burhanuddin, ingatan saya melayang ketika sidang
di Bangko paska kerusuhan massal yang berakhir pembakaran PT. KDA. Sebuah
perusahaan sawit yang berkonflik di Desa Empang Benao, Bangko. September 1999.
Ketika
proses hukum kemudian dipersidangan, ketika itu saya ditemui oleh Jaksa
Penuntut Umum didalam persidangan. Beliau adalah senior saya di Fakultas Hukum
Unja. Dengan tenang dia membisikkan.
“Nauli,
kasihan masyarakat. Tuntutan kita pas saja. Nanti kita sama-sama ketemu dengan
Kajari”. Sayapun mengangguk. “Tapi mohon sidang yang tertib, ya”, katanya
sembari menepuk pundak saya. Persis ungkapan kakak kepada adiknya. Persis “kakak”
yang mengemong adiknya yang tengah belajar sidang di pengadilan.
Tidak
lama kemudian saya bertemu dengan Kajari. Entah apa yang diomongkan beliau
kepada Kajari. Namun ketika saya bertemu, suasana lebih keakraban. Tidak ada
pembicaraan khusus terhadap perkara yang tengah disidangkan. Kami hanya
bercerita umum.
Sembari
mengantarkan saya keluar ruangan, dia berbisik, “teruskanlah mendampingi
masyarakat. Mereka masih buta hukum. Saya senang dengna kamu “, katanya. Lagi-lagi
menepuk pundak saya.
Sayapun
tidak mengerti. Mengapa tiba-tiba Kajari Bangko begitu baik dengan saya. Selain
memang saya tidak pernah bertemu secara langsung, tiba-tiba dia berbaik hati
untuk membuat tuntutan yang meringankan masyarakat.
Sayapun
lega. Ketika tuntutan dibacakan (walaupun saya tetap gigih memaparkan
fakta-fakta dan meminta bebas), waktu menjalani penjara tidak begitu lama. Saya
kemudian menghitung dengan masa tahanan. Ternyata “para terdakwa” tinggal
menjalani 1 minggu. Sebuah “kemewahan” yang saya rasakan ketika mendampingi
kasus prodeo.
Di
lain waktu, Saya kemudian mendapatkan informasi dari senior saya bagaimana dia
memprovokasi “Kajari” agar membuat tuntutan yang ringan.
Dengan
alasan “dia yunior saya, pak kajari. Masih muda. Saya yakin dia orang baik”.
Sayapun ngakak. Yang pasti saya suka bersentuhan dengan senior yang membimbing
disaat saya baru mulai praktek persidangan.
Sejak
itu respek saya kemudian terbangun. Ditambah istri beliau adalah Jaksa yang
sering sidang di Pengadilan Negeri Jambi. Walaupun kemudian saya tahu dia
menjadi orang besar, namun ketika menjemput istrinya habis sidang, kami
ramai-ramai ditraktir makan siang dibelakang Kejati.
Kami
lebih suka “jahil” kepada istri beliau. Lebih suka “ganggu”. Dengan enteng kami
sering membisikkan istrinya. “Awas mbak, bapak tuh ganteng. Kumis lagi. Banyak yang
naksir”. Biasanya kami tertawa berderai.
Sudah
lama memang kami tidak melihat beliau menjemput istrinya di Pengadilan Negeri
Jambi. Sayapun kemudian tidak mengikuti beritanya.
Namun
ketika saya melihat “pria berkumis” yang menundukkan badannya, saya kemudian
langsung ingat. Ingat akan kehangatan seorang kakak yang melihat adiknya baru
bersidang di Pengadilan Negeri.
Selamat,
bang. Peristiwa 20 tahun lalu membekas. Dan saya yakin. Tuhan sedang bekerja
untuk “memilih orang baik”.
Semoga
abang amanah. Ditengah tingkat kepercayaan kepada penegak hukum yang masih jauh
dari kata memuaskan.