Rambut
panjang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan saya. Motifnya cuma sederhana.
Malas ke tukang cukur rambut. Tidak ada sama sekali kepikiran yang lain.
Yang
kuingat, kalau mau ke tukang cukur rambut, apabila rambut sudah mengganggu
pandangan. Selain juga “gerah” dan mulai tidak nyaman. Praktis, potong rambut
cuma 3 bulan sekali.
Sehingga
pilihan rambut panjang sejak SMA adalah sebuah kebetulan semata. Tidak ada
agenda khusus.
Kisah
“rambut panjang” masa SMA adalah “sikap kucing-kucingan’. Saya tahu persis
kapan razia rambut panjang. Biasanya setelah upacara senin pagi. Dan saya
selalu tidak hadir upacara senin. Sehingga tidak “terjebak” di razia sekolah.
Namun
memasuki bangku kuliah, rambut panjang adalah sebuah pilihan. Pilihan yang
tidak dapat dilepaskan sebagai Mapala (Mahasiswa paling lama). Sehingga ketika
selesai kuliah, pilihan rambut panjang semata-mata karena sudah menjadi
kebiasaan.
Gaya
rambut panjang tidak dapat dilepaskan pandangan orang kepada saya. Saya
kemudian dikenal sebagai “pria berambut panjang”. Sebuah pilihan yang kemudian
menjadi lekat.
Rambut
panjang pernah “dibotak” ketika Soeharto tumbang. Sehari ketika Soeharto “lengser
keprabon. Mandeg pandito”, keesokan harinya, bersama dengan putra kedua
kemudian botak. Dicukur habis. Kami kemudian berphoto berdua. Lucu sekali.
Botak
kedua adalah ketika Jokowi menang pilpres 2014. Ditengah “himpitan” dukungan
yang minim di Jambi, ditengah teman-teman yang tidak memilih Jokowi, pilihan “botak”
bersama dengan putra ketiga adalah sebagai “symbol”. Simbol mengabarkan
kemenangan. Entah bagaimana rasanya. Serasa melayang-layang diudara menikmati “dinginnya”
rambut setelah dicukur habis.
Ketika
Jokowi menang kembali 2019, desakan “botak” lebih nyaring “diprovokasi” putra
kedua dan putra ketiga untuk “mengomporin” si Bungsu.
Dengan
mengejek, “Ayah sudah botak dengan abang. Tinggal dengan adek yang belum”
begitu menggema.
Ditengah
rutinitas pekerjaan, suara telephone bordering. Diingatkan “janji” oleh istriku
untuk “menemani” sibungsu untuk “botak”. “Si bungsu” termakan hasutan
abang-abangnya. Sehingga “hampir setiap jam” terus diingatkan oleh si bungsu.
Tidak
lama kemudian (seingatku mungkin beberapa hari hasil Quick Count mengabarkan
kemenangan Jokowi), akupun pasrah. Memenuhi janji kepada si bungsu.
Namun
memasuki tahun 2020, setelah 3 bulan habis “dicukur” habis, akupun kemudian “berdebat”
sengit dengan si Bungsu. Nah. Mengenai perdebatan, tidak bisalah aku sampaikan.
Lebih tepat “malu” aku kalah berdebat dengan si bungsu.
Tahun
2020 aku kemudian bertekad untuk tetap berambut pendek. Dan mungkin akan
mengambil pilihan seperti itu.
Kalaupun
ada “khas” yang aku lekatkan. Aku cuma mau “promosi” ikat kepala khas Jambi.
Lacak.
Sebuah khas orang Jambi berikat kepala. Sekaligus juga hanya menutupi kepala.
Agar jangan “lucu” dan sekaligus juga sebagai identitas orang Jambi. Dan itu
sudah saya lakukan sejak 2 tahun yang lalu.
Mengenai
memilih nama Lacak, ya, karena menurut para seniman yang hadir didalam
pertemuan, disebutkan pilihan lacak sudah disepakati tahun 1980-an. Waktu itu
pilihan nama yang tersedia “Lacak, Tanjak dan Desta’.
Tanjak
dikenal di pesisir Timur Sumatera. Sedangkan Desta dikenal daerah uluan Jambi.
Namun melihat persebarannya, lebih banyak menggunakan istilah Lacak. Sehingga
Lacak kemudian disepakati seniman waktu itu.
Dan
saya kemudian tidak terpaku dengan gaya satu model. Hampir setiap daerah yang
saya kunjungi, saya akan utamakan menggunakan khas ikat kepala daerah
masing-masing. Sehingga dapat memperkaya pengetahuan saya tentang daerah yang
telah saya datangi.
Selamat
tahun baru. Selamat datang impian.
Semoga
kehidupan tahun mendatang lebih baik dari sebelumnya.
Happy
New Year 2020.