01 Januari 2020

opini musri nauli : Kisah Rambut Panjang





Rambut panjang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan saya. Motifnya cuma sederhana. Malas ke tukang cukur rambut. Tidak ada sama sekali kepikiran yang lain.

Yang kuingat, kalau mau ke tukang cukur rambut, apabila rambut sudah mengganggu pandangan. Selain juga “gerah” dan mulai tidak nyaman. Praktis, potong rambut cuma 3 bulan sekali.

Sehingga pilihan rambut panjang sejak SMA adalah sebuah kebetulan semata. Tidak ada agenda khusus.

Kisah “rambut panjang” masa SMA adalah “sikap kucing-kucingan’. Saya tahu persis kapan razia rambut panjang. Biasanya setelah upacara senin pagi. Dan saya selalu tidak hadir upacara senin. Sehingga tidak “terjebak” di razia sekolah.

Namun memasuki bangku kuliah, rambut panjang adalah sebuah pilihan. Pilihan yang tidak dapat dilepaskan sebagai Mapala (Mahasiswa paling lama). Sehingga ketika selesai kuliah, pilihan rambut panjang semata-mata karena sudah menjadi kebiasaan.

Gaya rambut panjang tidak dapat dilepaskan pandangan orang kepada saya. Saya kemudian dikenal sebagai “pria berambut panjang”. Sebuah pilihan yang kemudian menjadi lekat.

Rambut panjang pernah “dibotak” ketika Soeharto tumbang. Sehari ketika Soeharto “lengser keprabon. Mandeg pandito”, keesokan harinya, bersama dengan putra kedua kemudian botak. Dicukur habis. Kami kemudian berphoto berdua. Lucu sekali.

Botak kedua adalah ketika Jokowi menang pilpres 2014. Ditengah “himpitan” dukungan yang minim di Jambi, ditengah teman-teman yang tidak memilih Jokowi, pilihan “botak” bersama dengan putra ketiga adalah sebagai “symbol”. Simbol mengabarkan kemenangan. Entah bagaimana rasanya. Serasa melayang-layang diudara menikmati “dinginnya” rambut setelah dicukur habis.

Ketika Jokowi menang kembali 2019, desakan “botak” lebih nyaring “diprovokasi” putra kedua dan putra ketiga untuk “mengomporin” si Bungsu.

Dengan mengejek, “Ayah sudah botak dengan abang. Tinggal dengan adek yang belum” begitu menggema.

Ditengah rutinitas pekerjaan, suara telephone bordering. Diingatkan “janji” oleh istriku untuk “menemani” sibungsu untuk “botak”. “Si bungsu” termakan hasutan abang-abangnya. Sehingga “hampir setiap jam” terus diingatkan oleh si bungsu.

Tidak lama kemudian (seingatku mungkin beberapa hari hasil Quick Count mengabarkan kemenangan Jokowi), akupun pasrah. Memenuhi janji kepada si bungsu.

Namun memasuki tahun 2020, setelah 3 bulan habis “dicukur” habis, akupun kemudian “berdebat” sengit dengan si Bungsu. Nah. Mengenai perdebatan, tidak bisalah aku sampaikan. Lebih tepat “malu” aku kalah berdebat dengan si bungsu.

Tahun 2020 aku kemudian bertekad untuk tetap berambut pendek. Dan mungkin akan mengambil pilihan seperti itu.

Kalaupun ada “khas” yang aku lekatkan. Aku cuma mau “promosi” ikat kepala khas Jambi.

Lacak. Sebuah khas orang Jambi berikat kepala. Sekaligus juga hanya menutupi kepala. Agar jangan “lucu” dan sekaligus juga sebagai identitas orang Jambi. Dan itu sudah saya lakukan sejak 2 tahun yang lalu.

Mengenai memilih nama Lacak, ya, karena menurut para seniman yang hadir didalam pertemuan, disebutkan pilihan lacak sudah disepakati tahun 1980-an. Waktu itu pilihan nama yang tersedia “Lacak, Tanjak dan Desta’.

Tanjak dikenal di pesisir Timur Sumatera. Sedangkan Desta dikenal daerah uluan Jambi. Namun melihat persebarannya, lebih banyak menggunakan istilah Lacak. Sehingga Lacak kemudian disepakati seniman waktu itu.

Dan saya kemudian tidak terpaku dengan gaya satu model. Hampir setiap daerah yang saya kunjungi, saya akan utamakan menggunakan khas ikat kepala daerah masing-masing. Sehingga dapat memperkaya pengetahuan saya tentang daerah yang telah saya datangi.

Selamat tahun baru. Selamat datang impian.
Semoga kehidupan tahun mendatang lebih baik dari sebelumnya.

Happy New Year 2020.