Setelah
menempuh perjalanan menggunakan kereta api dari Bandung menuju Jakarta, saya
buru-buru ke Bandara Halim Perdanakusumah. Alasan menggunakan bandara Halim
Perdanakusumah semata-mata dekat dari stasiun dibandingkan menuju ke Bandara
Soekarno-Hatta (Cingkareng). Alhamdulilah dengna menggunakan taksi biasa,
sampai juga dibandara. Kupikir ending kisah akan berakhir baik.
Namun
justru kekesalan kemudian dimulai. Setelah “rehat”, ngudut sebentar di Bandara
Halim, tiba-tiba dikabarkan, Bandara Halim tidak bisa didarati pesawat.
Sehingga seluruh penerbangan kemudian dipindahkan ke Bandara Soetta.
Panikpun
mulai terjadi. Dengan banjir disana-sini, menggunakan Ojol (taksi online) tidak
memungkinkan. Menggunakan DAMRI dibandar juga tidak tercukupi. Saya kemudian
berlari mencari bus yang disiapkan maskapai untuk dialihkan ke Bandara Soetta.
10
menit kesana kemari, akhirnya bus yang disiapkan maskapai kemudian tiba.
Penumpang kemudian berdesak-desakkan berebut menaiki bus yang cuma beberapa
buah. Dengan kapasitas yang padat, kamipun bisa menaiki bus.
Setelah
melewati Jatinegara, melewati Gatsu (Gatot Subroto), jalur yang paling sering
saya lalui, saya bingung, kok. Setelah melewati Tugu Pancoran, bus tidak juga
naik Tol. Pikiran “kotor” mulai jahil. Jangan-jangan bus tidak mau masuk tol
karena “takut” bayar tol sehingga “menghemat” ongkos.
Pelan-pelan
kemudian mengikuti jalur Gatsu, melewati Tomang, Slipi, Kebun Jeruk,
keherananpun semakin menjadi-jadi. Ini kok belum juga masuk tol.
Namun
ketika melewati Kebun jeruk, pertanyaan kemudian terjawab. Banjir. Air
menggenangi tol. Tol tidak bisa dilewati. Sayapun tertawa. Malu sempat berfikir
kotor. Ha.. ha.. ha..
Bus
kemudian melaju, Kalideres, Petojo, melewati WTC mangga dua, Kemudian “barulah”
masuk tol Setyatmo. Cuma segelintir tol dipenuhi kendaraan.
Sayapun
kemudian menjadi tercenung. Mengapa hujan cuma “Seharian” Jakarta kemudian
lumpuh. Bandara terhenti. Air menggenangi dimana-mana. Entah apa cerita diluar
sana.
Namun
saya percaya, alam sedang bekerja. Menunjukkan dirinya. Menampakkan wajah
sesungguhnya. Memberitahukan kepada manusia. Bahwa manusia tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan alam itu sendiri.
Pikiran
inilah yang kemudian harus terus diingatkan. Sebagaimana alam cosmopolitan masyarakat
Timur. Manusia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan alam. Alam tidak
membutuhkan manusia. Justru manusialah yang sangat tergantung dengan alam.
Setelah
“masuk ke bandara Soetta’, kehebohanpun terjadi. Dengan perpindahan penumpang
dari Halim (terutama penumpang Citilink dan Batik Air), “sempat” terjadi cekcok
disana-sini.
Penumpang
protes “dikejar” boarding. Sementara antrian mengular dengan cuma 3 counter
check in.
Sementara
itu, petugas counter chec in meladeni kayak “petugas dibutuhkan”. Lamban. Bayangkan,
untuk meladeni satu penumpang bisa memakan waktu hingga 3-5 menit. Padahal, system
dibuat agar memudahkan pelayanan dan efisiensi waktu.
Layanan
manual yang tidak bisa dilakukan melalui “internet”. Persis “suasana mudik” di
Pulogadung.
Lagi-lagi
saya tertawa. Bicara revolusi industry 4.0 check in kayak ini masih terjadi.
Enakkan naik travel Ratu Intan. Sebentar saja check in, kita duduk dengan
tenang sembari menunggu keberangkatan.
Setelah
tiba giliran saya, sayapun kemudian “tercenung”. Untuk keberangkatannya malah
keesokan harinya.
Harus
“nginap” dimana nih. Memikirkan ke Jakarta, malah khawatir “terjebak” banjir.
Mau menginap di bandara, sama sekali belum pernah. Mau jajaki “hotel transit”
di bandara, harganya bisa “tidak belanja” seminggu.
Saya
tidak bisa membayangkan “kesialan” hari ini. Sudah buru-buru ke Bandara Halim,
disuruh “manual” ke Bandara Soetta, eh enak aja bilang, pesawatnya berangkat
keesokan harinya.
Lagi-lagi
saya tercenung dengan revolusi industri 4.0. Bagaimana mungkin dengan system yang
canggih, harus menderita kesialan begitu “dahsyat’.
Check
in manual, kabar diberangkatkan untuk keesokan harinya hingga harus memikirkan
nginap di Bandara sudah memastikan. Kita masih “terjebak” dengan ara lama.
Gagap menangkap “perubahan” dilapangan. Lambat respon, lelet dalam pelayanan
hingga “menelantarkan” penumpang.
Kesemuanya
justru meneguhkan saya. Wacana revolusi industri 4.0 hanyalah “wacana” yang
belum mampu mengubah “gaya” konvensional. Sudah jauh banget ketinggalan kita.
Baca : CEO VS HOAX