03 Januari 2020

opini musri nauli : 4.0 DAN REVOLUSI MENTAL


Setelah menempuh perjalanan menggunakan kereta api dari Bandung menuju Jakarta, saya buru-buru ke Bandara Halim Perdanakusumah. Alasan menggunakan bandara Halim Perdanakusumah semata-mata dekat dari stasiun dibandingkan menuju ke Bandara Soekarno-Hatta (Cingkareng). Alhamdulilah dengna menggunakan taksi biasa, sampai juga dibandara. Kupikir ending kisah akan berakhir baik.

Namun justru kekesalan kemudian dimulai. Setelah “rehat”, ngudut sebentar di Bandara Halim, tiba-tiba dikabarkan, Bandara Halim tidak bisa didarati pesawat. Sehingga seluruh penerbangan kemudian dipindahkan ke Bandara Soetta.

Panikpun mulai terjadi. Dengan banjir disana-sini, menggunakan Ojol (taksi online) tidak memungkinkan. Menggunakan DAMRI dibandar juga tidak tercukupi. Saya kemudian berlari mencari bus yang disiapkan maskapai untuk dialihkan ke Bandara Soetta.

10 menit kesana kemari, akhirnya bus yang disiapkan maskapai kemudian tiba. Penumpang kemudian berdesak-desakkan berebut menaiki bus yang cuma beberapa buah. Dengan kapasitas yang padat, kamipun bisa menaiki bus.

Setelah melewati Jatinegara, melewati Gatsu (Gatot Subroto), jalur yang paling sering saya lalui, saya bingung, kok. Setelah melewati Tugu Pancoran, bus tidak juga naik Tol. Pikiran “kotor” mulai jahil. Jangan-jangan bus tidak mau masuk tol karena “takut” bayar tol sehingga “menghemat” ongkos.

Pelan-pelan kemudian mengikuti jalur Gatsu, melewati Tomang, Slipi, Kebun Jeruk, keherananpun semakin menjadi-jadi. Ini kok belum juga masuk tol.

Namun ketika melewati Kebun jeruk, pertanyaan kemudian terjawab. Banjir. Air menggenangi tol. Tol tidak bisa dilewati. Sayapun tertawa. Malu sempat berfikir kotor. Ha.. ha.. ha..

Bus kemudian melaju, Kalideres, Petojo, melewati WTC mangga dua, Kemudian “barulah” masuk tol Setyatmo. Cuma segelintir tol dipenuhi kendaraan.

Sayapun kemudian menjadi tercenung. Mengapa hujan cuma “Seharian” Jakarta kemudian lumpuh. Bandara terhenti. Air menggenangi dimana-mana. Entah apa cerita diluar sana.

Namun saya percaya, alam sedang bekerja. Menunjukkan dirinya. Menampakkan wajah sesungguhnya. Memberitahukan kepada manusia. Bahwa manusia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan alam itu sendiri.

Pikiran inilah yang kemudian harus terus diingatkan. Sebagaimana alam cosmopolitan masyarakat Timur. Manusia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan alam. Alam tidak membutuhkan manusia. Justru manusialah yang sangat tergantung dengan alam.

Setelah “masuk ke bandara Soetta’, kehebohanpun terjadi. Dengan perpindahan penumpang dari Halim (terutama penumpang Citilink dan Batik Air), “sempat” terjadi cekcok disana-sini.

Penumpang protes “dikejar” boarding. Sementara antrian mengular dengan cuma 3 counter check in.

Sementara itu, petugas counter chec in meladeni kayak “petugas dibutuhkan”. Lamban. Bayangkan, untuk meladeni satu penumpang bisa memakan waktu hingga 3-5 menit. Padahal, system dibuat agar memudahkan pelayanan dan efisiensi waktu.

Layanan manual yang tidak bisa dilakukan melalui “internet”. Persis “suasana mudik” di Pulogadung.

Lagi-lagi saya tertawa. Bicara revolusi industry 4.0 check in kayak ini masih terjadi. Enakkan naik travel Ratu Intan. Sebentar saja check in, kita duduk dengan tenang sembari menunggu keberangkatan.

Setelah tiba giliran saya, sayapun kemudian “tercenung”. Untuk keberangkatannya malah keesokan harinya.

Harus “nginap” dimana nih. Memikirkan ke Jakarta, malah khawatir “terjebak” banjir. Mau menginap di bandara, sama sekali belum pernah. Mau jajaki “hotel transit” di bandara, harganya bisa “tidak belanja” seminggu.

Saya tidak bisa membayangkan “kesialan” hari ini. Sudah buru-buru ke Bandara Halim, disuruh “manual” ke Bandara Soetta, eh enak aja bilang, pesawatnya berangkat keesokan harinya.

Lagi-lagi saya tercenung dengan revolusi industri 4.0. Bagaimana mungkin dengan system yang canggih, harus menderita kesialan begitu “dahsyat’.

Check in manual, kabar diberangkatkan untuk keesokan harinya hingga harus memikirkan nginap di Bandara sudah memastikan. Kita masih “terjebak” dengan ara lama. Gagap menangkap “perubahan” dilapangan. Lambat respon, lelet dalam pelayanan hingga “menelantarkan” penumpang.

Kesemuanya justru meneguhkan saya. Wacana revolusi industri 4.0 hanyalah “wacana” yang belum mampu mengubah “gaya” konvensional. Sudah jauh banget ketinggalan kita.

Baca : CEO VS HOAX