Menyimak
pidato yang disampaikan dengan sumringah, menggelegar, berapi-api di podium
kebanggaan Walhi, “memaksa” hamba ingin urun rembug. Kata “memaksa” digunakan
sebagai padanan “paksaan hati” untuk membaca makna tersirat setiap pesan yang
disampaikan. Sembari mencari titik benang merah masing-masing setiap ungkapan
yang disampaikan.
Secara
pribadi, hamba dalam barisan “jamaah” takzim terhadap setiap maklumat
dikeluarkan Walhi. Organisasi yang separuh usia hamba ditahbiskan menjalaninya.
Praktis sejak tahun 1998, terlibat dalam berbagai kegiatan Walhi Jambi dan
Eknas Walhi. Baik putaran issu-issu actual kontemporer maupun hajatan-hajatan
besar. Entah pemilihan Direktur Nasional dan Dewan nasional (PNLH) maupun
pemilihan Direktur Daerah dan Dewan Daerah (PDLH). Belum lagi berbagai
pertemuan internal (KNLH/KDLH –semacam Rapimnas-Rapimda ataupun entah
Rakernas-rakerda). Sehingga berbagai issu-issu actual kontemporer, sedikit
hamba terlibat dalam perumusan issu, advokasi dan kampanye. Kalaupun hamba
kurang menguasai teknis, semata-mata kekurangpengetahuan detail. Jauh dari dari
kesan kurang terlibat.
Dari
4 nama-nama yang mempersiapkan diri menjadi “nahkoda” Walhi, adalah Anton (ED
Walhi Kalbar), Dana (ED Sumut), Mualim/Apenk
(Dewan Nasional Walhi) dan Zenzi (mantan ED Bengkulu/Kadep Advokasi
Eknas). Melihat nama-nama yang beredar, hampir dipastikan, hamba “terlibat” dan
bersentuhan langsung dalam satu putaran periode.
Dengan
Anton (Periode 2 Direktur Walhi Kalbar), hamba langsung bersentuhan dengan
issu-issu gambut. Baik dalam kampanye kebakaran 2013 dan massif kebakaran 2015.
Bersama-sama dengan Riko Kurniawan (Walhi Riau), Hadi Jatmiko (Sumsel), Ario
Rompas (Kalteng), kami bahu-membahu menjelaskan persoalan mendasar penyebab
kebakaran. Disatu sisi, kami kukuh menyampaikan tentang pengetahuan masyarakat
gambut yang terbukti arif didalam menjaga gambut. Karya monumental perlawanan
masih dapat dilihat didalam jejak “DOKUMENTASI KAJIAN 2016 – Kelola Rakyat atas
Ekosistem Rawa Gambut : Pelajaran Ragam Potret dan Argument Tanding”, Walhi,
2016.
Kitab
ini berisikan rujukan “mantra” cara rakyat membaca gambut (dengan penanamaan local
seperti “soak, rawang, tanah item, lebak berayun, payo, lebak, dll), melihat
tipologi gambut (2-3 mata cangkul, ujung Mandau, akar bekait-pakis, dll) dan
cara menjaganya (pantang larang).
Cara
membaca gambut inilah yang kemudian mampu menjelaskan mengapa kebakaran justru
banyak diareal perizinan. Bukan dilahan masyarakat (tempat peumoan/humo genah).
Dengan
Dana, hamba mengenal baik ketika sering “rontang-rantung” ke Medan. Seingat
hamba, Dana adalah anak muda yang lincah, gaul dan menjadi kawan yang baik
ketika sering ke medan. (Waktu itu belum menjadi Direktur Sumut). Hamba hanya
sempat bersentuhan langsung dalam issu advokasi praktis 6 bulan menjelang masa
hamba berakhir.
Sedangkan
Apenk lebih dikenal sebagai keluarga besar dari Cak Kholis (Nur Kholis).
Direktur Walhi Sumsel, Direktur LBH Palembang, Komnas HAM. Selain itu pernah
menjadi anggota Dewan Nasional. Apenk lebih dikenal sebagai teman sesame lawyer
dalam berbagai judicial review di MK. Waktu itu apenk masih mewakili dari AMAN.
Hubungan
personal semakin intentif ketika sama-sama menjadi pendamping Anwar Sadat
(Direktur Walhi Sumsel) dalam tuduhan kasus pidana di PN. Palembang. Selain
sering menyediakan “mobil pribadi” untuk urusan diluar kasus hukum di
Palembang, rutinitas mendampingi kasus di PN membuktikan, Apenk menjalankan
tugasnya secara profesionalisme. Tertib dan termasuk disiplin waktu selama
persidangan. Energi ini diperlukan untuk memberikan dukungan kepada Walhi
Sumsel dari gempuran berbagai lini.
Berbeda
dengan Zenzi. Hampir praktis, setiap perjalanan hamba di Walhi, hamba lebih
sering “berbenturan” gagasan. Kami lebih “nyaring” bertempur gagasan dalam
setiap periode.
Ketika
Zenzi menjadi Direktur Walhi Bengkulu (hamba menjadi Dewan Daerah Walhi Jambi),
saya justru 2 tahun lebih di Bengkulu. Membantu kawan-kawan yang melawan
perusahaan tambang biji besi yang hendak merampas tanah masyarakat. Belum lagi
melawan perusahaan sawit.
Ketika
Zenzi masuk ke Eksekutif nasional menjadi Manager kampanye, saya kemudian
Direktur Walhi Jambi. Hampir praktis, selama 4 tahun dalam periode zaman saya,
kami lebih “sibuk” berdebat dalam berbagai issu.
Zenzi
yang berlatar belakang “biologi” dan saya berlatar belakang ilmu hukum, lebih
banyak “bertengkar” istilah yang berbeda untuk menjelaskan satu persoalan.
Hambapun terpaksa harus bolak-balik kitab klasik biologi, membaca kembali
catatan lama pelajaran biologi (syukurlah dulu di SMA masuk jurusan Fisika.
Jadi pelajaran Biologi agak mendingan) dan memegang kamus biologi.
Cerita
singkat ini hanyalah sekedar “ungkapan” betapa teman-teman hamba menjadi “orang
penting”. Mengikuti pertarungan selevel Direktur Walhi. Sebuah kehormatan
siapapun termasuk hamba “tidak berani bermimpi”. Mereka adalah orang pilihan.
Sehingga tidak salah kemudian surat ini lebih tepat hamba sampaikan “Surat
untuk sahabat”.
Terlepas
dari “aura” semangat yang disampaikan dalam debat kandidat (acara yang “karena
kesehatan memburuk”, tidak sempat dihadiri secara langsung), ada beberapa
percikan yang menarik untuk direnungkan.
Secara
sekilas, hamba hendak menyampaikan, Walhi adalah “kawah candradimuka’ mendidik
pemimpin. Ditangan Walhi, pemimpin yang mempunyai karakter kuat dihasilkan.
Ada
orang bijak yang membisikkan kepada hamba. Ukuran Walhi dan pengurusnya justru
dilihat ketika keduanya tidak lagi bersama. Apakah Walhinya kemudian turun
tenggelam atau para pengurusnya justru tersingkirkan. Bisikkan itu cukup berat.
Sehingga ketika para mantan pengurusnya justru tidak diperhitungkan dalam
kancah lebih luas, maka justru Walhi yang membesarkannya bukan “dia yang
membesarkannya”. Begitu sebaliknya.
Yang
baik adalah ketika Walhi dan mantan pengurusnya tetap sama berkiprah. Sehingga
saling memperkuat dan bergandengan tangan.
Namun
disisi lain, Walhi adalah organisasi yang mempunyai akar “lingkungan hidup”
yang mempunyai karakter kuat “Keindonesiaan’. Pandangan subyektif ini, sengaja
hamba sampaikan, sebagai hasil renungan selama ini hamba berinteraksi.
Dengan
irisan itulah, maka “nakhoda” Walhi tetap menampilkan “watak orang Indonesia”
didalam memandang lingkungan hidup.
Bukankah
Walhi tetap memilih dalam barisan menolak semen, menolak “peladang berpindah”
sebagai penyebab kebakaran”, mengkampanyekan gambut dari pengetahuan
masyarakat, bertutur tentang hutan sebagai pusat pandangan tentang alam
(makrokosmos), bercerita tentang musim tanam, melihat tanda alam sebagai
penanda musim hingga mempunyai pengetahuan tentang kalender Indonesia.
Bukankah
Walhi fasih membicarakan bencana tanpa harus menyebutkan sebagai “kutukan dari
sang Penguasa Alam Semesta’. Walhi menempatkan “apakah gempa bumi-gunung
meletus”, sebagai pengetahuan yang tetap diwariskan turun temurun.
Dengan
mengusung “maqom” Lingkungan Hidup Indonesia, pasti cara pandang orang
Indonesia tidak mudah ditemukan dalam bingkai-bingkai literature kampus yang
memerlukan “kajian serius”. “Maqom” Lingkungan Hidup Indonesia adalah “empirik”.
Multi Pengetahuan dan multi talenta yang diwariskan dari “ruang-ruang sepi”,
ditengah malam”, dibantu “Lampu togok” untuk meneranginya.
Sekali
saja, para pengurus meninggalkan cara pandang tentang alam, maka “alamat kapal”
Walhi ditinggalkan para supporter pendukung utamanya. Yang rela “berbaris’
meneriakkan nama Walhi ditengah lautan massa.
Yang
ada cuma “cheerleaders” yang bertepuk tangan, sembari meliukkan tubuhnya
bergembira ketika kita mampu mengshoot umpan bola.
Sebagai
hamba yang sudah jauh dan sepi dari mengikuti gegap gempita politik di Walhi,
hamba cuma berharap. Surat ini hendaknya diterima dengan baik.
Jambi,
24 Februari 2020
Penunggu
Lampu Togok