24 Februari 2020

opini musri nauli : Surat Untuk sahabat

Menyimak pidato yang disampaikan dengan sumringah, menggelegar, berapi-api di podium kebanggaan Walhi, “memaksa” hamba ingin urun rembug. Kata “memaksa” digunakan sebagai padanan “paksaan hati” untuk membaca makna tersirat setiap pesan yang disampaikan. Sembari mencari titik benang merah masing-masing setiap ungkapan yang disampaikan.
Secara pribadi, hamba dalam barisan “jamaah” takzim terhadap setiap maklumat dikeluarkan Walhi. Organisasi yang separuh usia hamba ditahbiskan menjalaninya. Praktis sejak tahun 1998, terlibat dalam berbagai kegiatan Walhi Jambi dan Eknas Walhi. Baik putaran issu-issu actual kontemporer maupun hajatan-hajatan besar. Entah pemilihan Direktur Nasional dan Dewan nasional (PNLH) maupun pemilihan Direktur Daerah dan Dewan Daerah (PDLH). Belum lagi berbagai pertemuan internal (KNLH/KDLH –semacam Rapimnas-Rapimda ataupun entah Rakernas-rakerda). Sehingga berbagai issu-issu actual kontemporer, sedikit hamba terlibat dalam perumusan issu, advokasi dan kampanye. Kalaupun hamba kurang menguasai teknis, semata-mata kekurangpengetahuan detail. Jauh dari dari kesan kurang terlibat.

Dari 4 nama-nama yang mempersiapkan diri menjadi “nahkoda” Walhi, adalah Anton (ED Walhi Kalbar), Dana (ED Sumut), Mualim/Apenk  (Dewan Nasional Walhi) dan Zenzi (mantan ED Bengkulu/Kadep Advokasi Eknas). Melihat nama-nama yang beredar, hampir dipastikan, hamba “terlibat” dan bersentuhan langsung dalam satu putaran periode.

Dengan Anton (Periode 2 Direktur Walhi Kalbar), hamba langsung bersentuhan dengan issu-issu gambut. Baik dalam kampanye kebakaran 2013 dan massif kebakaran 2015. Bersama-sama dengan Riko Kurniawan (Walhi Riau), Hadi Jatmiko (Sumsel), Ario Rompas (Kalteng), kami bahu-membahu menjelaskan persoalan mendasar penyebab kebakaran. Disatu sisi, kami kukuh menyampaikan tentang pengetahuan masyarakat gambut yang terbukti arif didalam menjaga gambut. Karya monumental perlawanan masih dapat dilihat didalam jejak “DOKUMENTASI KAJIAN 2016 – Kelola Rakyat atas Ekosistem Rawa Gambut : Pelajaran Ragam Potret dan Argument Tanding”, Walhi, 2016.

Kitab ini berisikan rujukan “mantra” cara rakyat membaca gambut (dengan penanamaan local seperti “soak, rawang, tanah item, lebak berayun, payo, lebak, dll), melihat tipologi gambut (2-3 mata cangkul, ujung Mandau, akar bekait-pakis, dll) dan cara menjaganya (pantang larang).

Cara membaca gambut inilah yang kemudian mampu menjelaskan mengapa kebakaran justru banyak diareal perizinan. Bukan dilahan masyarakat (tempat peumoan/humo genah).

Dengan Dana, hamba mengenal baik ketika sering “rontang-rantung” ke Medan. Seingat hamba, Dana adalah anak muda yang lincah, gaul dan menjadi kawan yang baik ketika sering ke medan. (Waktu itu belum menjadi Direktur Sumut). Hamba hanya sempat bersentuhan langsung dalam issu advokasi praktis 6 bulan menjelang masa hamba berakhir.

Sedangkan Apenk lebih dikenal sebagai keluarga besar dari Cak Kholis (Nur Kholis). Direktur Walhi Sumsel, Direktur LBH Palembang, Komnas HAM. Selain itu pernah menjadi anggota Dewan Nasional. Apenk lebih dikenal sebagai teman sesame lawyer dalam berbagai judicial review di MK. Waktu itu apenk masih mewakili dari AMAN.

Hubungan personal semakin intentif ketika sama-sama menjadi pendamping Anwar Sadat (Direktur Walhi Sumsel) dalam tuduhan kasus pidana di PN. Palembang. Selain sering menyediakan “mobil pribadi” untuk urusan diluar kasus hukum di Palembang, rutinitas mendampingi kasus di PN membuktikan, Apenk menjalankan tugasnya secara profesionalisme. Tertib dan termasuk disiplin waktu selama persidangan. Energi ini diperlukan untuk memberikan dukungan kepada Walhi Sumsel dari gempuran berbagai lini.

Berbeda dengan Zenzi. Hampir praktis, setiap perjalanan hamba di Walhi, hamba lebih sering “berbenturan” gagasan. Kami lebih “nyaring” bertempur gagasan dalam setiap periode.

Ketika Zenzi menjadi Direktur Walhi Bengkulu (hamba menjadi Dewan Daerah Walhi Jambi), saya justru 2 tahun lebih di Bengkulu. Membantu kawan-kawan yang melawan perusahaan tambang biji besi yang hendak merampas tanah masyarakat. Belum lagi melawan perusahaan sawit.

Ketika Zenzi masuk ke Eksekutif nasional menjadi Manager kampanye, saya kemudian Direktur Walhi Jambi. Hampir praktis, selama 4 tahun dalam periode zaman saya, kami lebih “sibuk” berdebat dalam berbagai issu.

Zenzi yang berlatar belakang “biologi” dan saya berlatar belakang ilmu hukum, lebih banyak “bertengkar” istilah yang berbeda untuk menjelaskan satu persoalan. Hambapun terpaksa harus bolak-balik kitab klasik biologi, membaca kembali catatan lama pelajaran biologi (syukurlah dulu di SMA masuk jurusan Fisika. Jadi pelajaran Biologi agak mendingan) dan memegang kamus biologi.

Cerita singkat ini hanyalah sekedar “ungkapan” betapa teman-teman hamba menjadi “orang penting”. Mengikuti pertarungan selevel Direktur Walhi. Sebuah kehormatan siapapun termasuk hamba “tidak berani bermimpi”. Mereka adalah orang pilihan. Sehingga tidak salah kemudian surat ini lebih tepat hamba sampaikan “Surat untuk sahabat”.

Terlepas dari “aura” semangat yang disampaikan dalam debat kandidat (acara yang “karena kesehatan memburuk”, tidak sempat dihadiri secara langsung), ada beberapa percikan yang menarik untuk direnungkan.

Secara sekilas, hamba hendak menyampaikan, Walhi adalah “kawah candradimuka’ mendidik pemimpin. Ditangan Walhi, pemimpin yang mempunyai karakter kuat dihasilkan.

Ada orang bijak yang membisikkan kepada hamba. Ukuran Walhi dan pengurusnya justru dilihat ketika keduanya tidak lagi bersama. Apakah Walhinya kemudian turun tenggelam atau para pengurusnya justru tersingkirkan. Bisikkan itu cukup berat. Sehingga ketika para mantan pengurusnya justru tidak diperhitungkan dalam kancah lebih luas, maka justru Walhi yang membesarkannya bukan “dia yang membesarkannya”. Begitu sebaliknya.

Yang baik adalah ketika Walhi dan mantan pengurusnya tetap sama berkiprah. Sehingga saling memperkuat dan bergandengan tangan.

Namun disisi lain, Walhi adalah organisasi yang mempunyai akar “lingkungan hidup” yang mempunyai karakter kuat “Keindonesiaan’. Pandangan subyektif ini, sengaja hamba sampaikan, sebagai hasil renungan selama ini hamba berinteraksi.

Dengan irisan itulah, maka “nakhoda” Walhi tetap menampilkan “watak orang Indonesia” didalam memandang lingkungan hidup.

Bukankah Walhi tetap memilih dalam barisan menolak semen, menolak “peladang berpindah” sebagai penyebab kebakaran”, mengkampanyekan gambut dari pengetahuan masyarakat, bertutur tentang hutan sebagai pusat pandangan tentang alam (makrokosmos), bercerita tentang musim tanam, melihat tanda alam sebagai penanda musim hingga mempunyai pengetahuan tentang kalender Indonesia.

Bukankah Walhi fasih membicarakan bencana tanpa harus menyebutkan sebagai “kutukan dari sang Penguasa Alam Semesta’. Walhi menempatkan “apakah gempa bumi-gunung meletus”, sebagai pengetahuan yang tetap diwariskan turun temurun.

Dengan mengusung “maqom” Lingkungan Hidup Indonesia, pasti cara pandang orang Indonesia tidak mudah ditemukan dalam bingkai-bingkai literature kampus yang memerlukan “kajian serius”. “Maqom” Lingkungan Hidup Indonesia adalah “empirik”. Multi Pengetahuan dan multi talenta yang diwariskan dari “ruang-ruang sepi”, ditengah malam”, dibantu “Lampu togok” untuk meneranginya.

Sekali saja, para pengurus meninggalkan cara pandang tentang alam, maka “alamat kapal” Walhi ditinggalkan para supporter pendukung utamanya. Yang rela “berbaris’ meneriakkan nama Walhi ditengah lautan massa.

Yang ada cuma “cheerleaders” yang bertepuk tangan, sembari meliukkan tubuhnya bergembira ketika kita mampu mengshoot umpan bola.

Sebagai hamba yang sudah jauh dan sepi dari mengikuti gegap gempita politik di Walhi, hamba cuma berharap. Surat ini hendaknya diterima dengan baik.  



Jambi, 24 Februari 2020

Penunggu Lampu Togok