Ketika
Hellosapa mengadakan “Indonesia dalam Secangkir Kopi” dengan menghadirkan Adian
Napitupulu, seketika suasana heboh. Di dunia maya, berbagai poster mulai marak.
Berbagai telephone kemudian bordering. Memastikan acara dengan hadirnya Adian
Napitupulu.
Terlepas
“banyak yang tidak setuju” dengan Adian yang bahasanya “lebih menampakkan
politisi”, magnet Adian tidak dapat dipungkiri. Berbagai tayangan di youtube yang
memuat “tagline” Adian dilihat puluhan ribu youtuber. Berbagai komentnya
kemudian menjadi “kata kunci” yang menarik perhatian dunia maya.
Kiprah
Adian tidak dapat dilepaskan dari kekuatan massa Forkot sebagai “bulldozer”
melawan tirani orde baru. Kekuatan Forkot yang mampu menghajar barisan barikade
menjadi ingatan memori terhadap awal perlawanan mahasiswa menjelang kejatuhan
Soeharto. Forkot kemudian menjadi symbol pemersatu terhadap barisan yang
terkenal paling ditakuti oleh barikade orde baru.
Adian
kemudian menjadi “perekat” orde baru dengan ikatan “Persatuan Nasional 98 (PENA
98)”. Dengan kekuatan kolektif, Adian kemudian menjadi “juru bicara” Jokowi
tahun 2014. Dalam dialog Pilpres, Adian mampu memainkan emosi pendukung pihak
lawan. Isu apapun dilahap. Sehingga “medan tarung” yang telah teruji di
lapangan kemudian berhasil dimainkan ditengah panggung. Adian kemudian menjadi “jaminan”
terhadap serangan ide-ide yang tidka rasional terhadap tema-tema yang menjadi polemik.
Momentum
kemudian “menjulang” ketika pilpres 2019. Adian adalah “jagoan panggung” yang
membuat pihak lawan “tersedak” nafasnya dengan ide-ide yang dikeluarkan pihak
lawan sendiri. Adian mampu menari-nari dan sembari lawan berfikir terhadap
serangan balik, Adian dengna cuek kemudian tertawa lepas.
Dalam
momentum issu-issu krusial, tema Kebangsaan, Kebhinekaan dan masa depan
demokrasi menjadi santapan direnyah ringan.
Dengan
enteng kemudian memberikan perumpamaan didalam keluarganya. Adian yang berasal
dari Batak dan sang istri berasal dari Solo adalah perbedaan sosial yang tidak
mungkin dihindarkan. Tipologi Batak yang “meledak-ledak”, to the point berhadapan
dengan tipologi Solo yang santun, cenderung sabar dan menyampaikan pendapat dan
kalem.
Belum
lagi Adian yang beragama Katolik dan Sang Istri beragama Protestan. Walaupun
keduanya adalah nasrani, tapi beberapa prinsip sangat berbeda jauh.
Berbagai
latarbelakang sosial dan agama yang dicontohkan oleh Adian adalah gambaran
terhadap keberagaman yang tidka mungkin dihindarkan.
Lalu
bagaimana dengan Suku ?. Melanjutkan contohnya, Ayah Adian adalah orang batak.
Sementara sang Ibu berasal dari Cirebon. Lalu bagaimana dengan nasib anak
Adian. Apakah batak (keturunan dari sang kakek), Cirebon (keturunan dari Nenek)
atau Solo (keturunan dari Ibu/istri Adian). Kerumitan itu tidka mungkin
dihindarkan dalam prosesi panjang peradaban.
Masih
ingat dengan cerita DNA Najwa Shihab, Edo Kondolangit yang sempat menarik
perhatian pertengahan tahun lalu.
Padahal
kita mengetahui, putri dari Quraish Shihab dikenal sebagai “habib”. Namun yang
unik ternyata hanya 3,4 % hanya gen Arab. Bandingkan dengan 26,8% berasal dari
Afrika Utara, Asia Selatan (48%).
Bahkan
Edo Kondolangit yang dikenal “penyanyi” dari Timur justru lebih besar Gennya
berasal dari Taiwan. Edo sendiri kaget ketika lebih banyak Gen dari Taiwan
dibandingkan gen dari Afrika.
Dengan
lugas Adian justru menegaskan. Isu “pribumi” menjadi tidak relevan. Negara sudah
mengatur didalam berbagai konstitusi dengan menempatkan “warga negara”. Sebuah
konstitusi yang kemudian menempatkan “kesamaan hak dan kedudukan dimuka hukum”.
Tema
“keberagaman” adalah magnet untuk menjawab perubahan zaman. Dengan konstitusi
yang kemudian menempatkan “warganegara” maka tema-tema seperti pribumi menjadi
tidak relevan. Bahkan akan “merusak” keberagaman yang menjadi hakiki sebagai
sebuah negara bangsa (state-nation).
Ngopi
tidak lupa diselingi kisah-kisah romantisme menjelang ’98. Disebelah Adian
adalah Kapolda Jambi yang ketika Adian menjadi demonstran dijalanan, Kapolda
masih menjadi Kapolsek Menteng. Kedua fisik yang membuat harus bertemu terus
dilapangan.
Sebagai
“orang penting” dilingkaran Jokowi, sosok Adian tidak berubah. Berbagai
pandangan dan sikapnya lebih menampakkan “intelektual” dibandingkan sebagai “juru
bicara” Jokowi. Argumentasinya terstruktur dan jernih. Lebih menampakkan “akal
sehat” dibandingkan “pokoknya berbeda” atau menjadi “pengembek”.
Terlepas
dari tema Ngopi, acara ini lebih tepat “temu kangen” aktivis ’98. Saya kemudian
bisa “bertukar sapa” dengan teman-teman 98. Memori ini sekaligus meneguhkan
terhadap pandangan tentang reformasi, masa depan demokrasi dan harapan yang
senantiasa tetap digantungkan terhadap perubahan zaman.
“Oase”
dari tema keberagaman kemudian magnet tersendiri di Jambi. Ditengah tema
politik kontemporer, Ngopi di Hellosapa adalah “tempat” bertemu berbagai
pandangan. Namun tetap diakhiri “ngopi” sebagai tanda bersahabatan “kaum Melayu
Jambi” yang suka berjabat tangan namun tetap menghargai perbedaan pandangan.
Baca : Generasi 98