12 Maret 2020

opini musri nauli : CATATAN TERCECER NGOPI DI JAMBI


           

Ketika Hellosapa mengadakan “Indonesia dalam Secangkir Kopi” dengan menghadirkan Adian Napitupulu, seketika suasana heboh. Di dunia maya, berbagai poster mulai marak. Berbagai telephone kemudian bordering. Memastikan acara dengan hadirnya Adian Napitupulu.
Terlepas “banyak yang tidak setuju” dengan Adian yang bahasanya “lebih menampakkan politisi”, magnet Adian tidak dapat dipungkiri. Berbagai tayangan di youtube yang memuat “tagline” Adian dilihat puluhan ribu youtuber. Berbagai komentnya kemudian menjadi “kata kunci” yang menarik perhatian dunia maya.

Kiprah Adian tidak dapat dilepaskan dari kekuatan massa Forkot sebagai “bulldozer” melawan tirani orde baru. Kekuatan Forkot yang mampu menghajar barisan barikade menjadi ingatan memori terhadap awal perlawanan mahasiswa menjelang kejatuhan Soeharto. Forkot kemudian menjadi symbol pemersatu terhadap barisan yang terkenal paling ditakuti oleh barikade orde baru.

Adian kemudian menjadi “perekat” orde baru dengan ikatan “Persatuan Nasional 98 (PENA 98)”. Dengan kekuatan kolektif, Adian kemudian menjadi “juru bicara” Jokowi tahun 2014. Dalam dialog Pilpres, Adian mampu memainkan emosi pendukung pihak lawan. Isu apapun dilahap. Sehingga “medan tarung” yang telah teruji di lapangan kemudian berhasil dimainkan ditengah panggung. Adian kemudian menjadi “jaminan” terhadap serangan ide-ide yang tidka rasional terhadap tema-tema yang menjadi polemik.

Momentum kemudian “menjulang” ketika pilpres 2019. Adian adalah “jagoan panggung” yang membuat pihak lawan “tersedak” nafasnya dengan ide-ide yang dikeluarkan pihak lawan sendiri. Adian mampu menari-nari dan sembari lawan berfikir terhadap serangan balik, Adian dengna cuek kemudian tertawa lepas.

Dalam momentum issu-issu krusial, tema Kebangsaan, Kebhinekaan dan masa depan demokrasi menjadi santapan direnyah ringan.

Dengan enteng kemudian memberikan perumpamaan didalam keluarganya. Adian yang berasal dari Batak dan sang istri berasal dari Solo adalah perbedaan sosial yang tidak mungkin dihindarkan. Tipologi Batak yang “meledak-ledak”, to the point berhadapan dengan tipologi Solo yang santun, cenderung sabar dan menyampaikan pendapat dan kalem.

Belum lagi Adian yang beragama Katolik dan Sang Istri beragama Protestan. Walaupun keduanya adalah nasrani, tapi beberapa prinsip sangat berbeda jauh.

Berbagai latarbelakang sosial dan agama yang dicontohkan oleh Adian adalah gambaran terhadap keberagaman yang tidka mungkin dihindarkan.

Lalu bagaimana dengan Suku ?. Melanjutkan contohnya, Ayah Adian adalah orang batak. Sementara sang Ibu berasal dari Cirebon. Lalu bagaimana dengan nasib anak Adian. Apakah batak (keturunan dari sang kakek), Cirebon (keturunan dari Nenek) atau Solo (keturunan dari Ibu/istri Adian). Kerumitan itu tidka mungkin dihindarkan dalam prosesi panjang peradaban.

Masih ingat dengan cerita DNA Najwa Shihab, Edo Kondolangit yang sempat menarik perhatian pertengahan tahun lalu.

Padahal kita mengetahui, putri dari Quraish Shihab dikenal sebagai “habib”. Namun yang unik ternyata hanya 3,4 % hanya gen Arab. Bandingkan dengan 26,8% berasal dari Afrika Utara, Asia Selatan (48%).

Bahkan Edo Kondolangit yang dikenal “penyanyi” dari Timur justru lebih besar Gennya berasal dari Taiwan. Edo sendiri kaget ketika lebih banyak Gen dari Taiwan dibandingkan gen dari Afrika.

Dengan lugas Adian justru menegaskan. Isu “pribumi” menjadi tidak relevan. Negara sudah mengatur didalam berbagai konstitusi dengan menempatkan “warga negara”. Sebuah konstitusi yang kemudian menempatkan “kesamaan hak dan kedudukan dimuka hukum”.

Tema “keberagaman” adalah magnet untuk menjawab perubahan zaman. Dengan konstitusi yang kemudian menempatkan “warganegara” maka tema-tema seperti pribumi menjadi tidak relevan. Bahkan akan “merusak” keberagaman yang menjadi hakiki sebagai sebuah negara bangsa (state-nation).

Ngopi tidak lupa diselingi kisah-kisah romantisme menjelang ’98. Disebelah Adian adalah Kapolda Jambi yang ketika Adian menjadi demonstran dijalanan, Kapolda masih menjadi Kapolsek Menteng. Kedua fisik yang membuat harus bertemu terus dilapangan.

Sebagai “orang penting” dilingkaran Jokowi, sosok Adian tidak berubah. Berbagai pandangan dan sikapnya lebih menampakkan “intelektual” dibandingkan sebagai “juru bicara” Jokowi. Argumentasinya terstruktur dan jernih. Lebih menampakkan “akal sehat” dibandingkan “pokoknya berbeda” atau menjadi “pengembek”.

Terlepas dari tema Ngopi, acara ini lebih tepat “temu kangen” aktivis ’98. Saya kemudian bisa “bertukar sapa” dengan teman-teman 98. Memori ini sekaligus meneguhkan terhadap pandangan tentang reformasi, masa depan demokrasi dan harapan yang senantiasa tetap digantungkan terhadap perubahan zaman.



“Oase” dari tema keberagaman kemudian magnet tersendiri di Jambi. Ditengah tema politik kontemporer, Ngopi di Hellosapa adalah “tempat” bertemu berbagai pandangan. Namun tetap diakhiri “ngopi” sebagai tanda bersahabatan “kaum Melayu Jambi” yang suka berjabat tangan namun tetap menghargai perbedaan pandangan.