Ketika tema “Pulang Kampung” dan mudik menyeruak ke permukaan, saya kemudian menyimak dengan pelan-pelan. Apakah pesan dari sang penutur yang disampaikan oleh Presiden Jokowi kemudian “dimentahkan” oleh sang pembawa acara (Najwa Shihab) atau memang Jokowi “terpeleset” keseleo lidah sehingga tidak dapat membedakan antara “pulang kampung” dan mudik.
Dalam ranah diksi yang hendak disampaikan Jokowi, Jokowi tegas kok membedakan secara harfiah maksud dari Pulang Kampung dan Mudik. Secara harfiah keinginan Jokowi adalah “larangan mudik” kepada masyarakat. Namun dengan mudah disambar oleh Najwa yang menyamakan “pulang kampung” dengan mudik.
Dengan telaten, Jokowi menjelaskan maksud dari perbedaan antara Pulang kampung dan mudik. Yang dimaksudkan dengan “mudik” adalah “orang kota” yang berlebaran bukan di kota. Lebih tepatnya di kampung halamannya. Atau bisa juga kampung halaman mertua. Kerinduan akan mudik begitu menggebu. Sehingga “praktis” hanya “mudik” yang menjadi perhatian nasional. Nah. Yang kegiatan ini untuk sementara dihentikan.
Namun terhadap “pulang kampung” justru tidak mungkin dilarang oleh Jokowi. Dengan telaten dan sabar, Jokowi menjelaskan terhadap akibat dari pandemic Corona, masyarakat yang kena dampak harus pulang kampung. Tidak mungkin lagi meneruskan kehidupannya di kota.
Secara harfiah, penjelasan Jokowi itu gamblang, tuntas dan jelas. Tidak perlu penafsiran.
Namun entah mengapa, bahasa yang digunakan Jokowi itu sederhana, pesannya jelas namun kemudian disamber langsung oleh Najwa.
Dengan enteng, Najwa persoalan “pulang kampung dan “mudik” hanyalah masalah waktu. Dengan demikian secara prinsip tidak ada perbedaan.
Secara umum, pesan Jokowi yang kemudian dipelintir cuma masalah waktu menimbulkan persoalan tersendiri.
Padahal dengan charisma host yang kuat dari Najwa, Najwa haruslah paham dengan Bahasa yang digunakan oleh Jokowi, gestur yang dipakai hingga “pesan tegas” dari Jokowi.
Padahal, sebagai orang Jawa, dengan kekuatan tekanan menggunakan kata “beda“ untuk menjelaskan makna Pulang kampung dan mudik, Jokowi sudah menampakkan ketegasan dan maksud dari penggunaan pulang kampung dan mudik.
Sebagai orang Jawa yang menggunakan simbol-simbol, ketika menerangkan dengan tegas, Jokowi telah menampakkan keinginan agar pulang kampung dapat diterima dan begitu berbeda dengan mudik. Gestur, symbol maupun diksi yang gagal ditangkap oleh Najwa.
Sebagai orang Jawa, pengaruh alam bawah sadar menjadi mainstream Jokowi didalam memimpin. Dalam masyarakat umum, alam bawah sadar adalah cara menangkap pesan dari Jokowi. Sehingga praktis, yang menjadi penolakan bukanlah masyarakat umum. Tapi kalangan tertentu yang gagal menangkap pesan dari Jokowi.
Namun dalam pengamatan lebih jauh, saya menangkap pesan yang lebih unik.
Secara umum, Jokowi sangat hati-hati untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya. Jokowi paham dengan kerumitan mengelola negara.
Ditengah berbagai pihak yang hendak melakukan “lockdown”, Jokowi dengan enteng meminta kepada Najwa, apakah Lockdown berhasil untuk mengurangi Corona. Tentu saja meminta kepada Najwa untuk menyebutkan negara-negara yang sukses.
Padahal kita paham. Italia kemudian gagal. India kemudian menyesal menetapkan Lockdown. Atau negara-negara bagian Amerika yang kemudian justru menyesalkan terhadap penetapan Lockdown.
Dari satu sisi, saya justru menangkap berbeda.
Pertama. Apabila kita melakukan simulasi terhadap perkembangan corona, maka daya tampung terhadap korban menjadi tidak tertanggulangi. Dari sudut ini, maka Jokowi tidak mungkin begitu terbuka dan akan menimbulkan kekhawatiran publik.
Dari sudut ini, saya mencoba menarik kesan. Jokowi “seakan-akan” dokter yang bertindak tenang menghadapi pasien yang panik dengan sakitnya.
Kedua. Jokowi paham dengan daya dukung Pemerintah Daerah terhadap pandemic Corona. Dengan database yang “kurang maksimal”, tentu saja persoalan “pulang kampung” dan Mudik menjadi persoalan besar.
Padahal apabila kita mempunyai database yang baik, database akan mudah menjelaskan “siapa yang pulang kampung” dan “siapa yang hanya mudik”. Sehingga “terjebak” diksi “pulang kampung” dan “mudik” tidak terjadi.
Ketiga. Jokowi paham dengan kekuatan bangsa Indonesia. Dengan pengalaman Panjang menghadapi berbagai musibah (bencana alam) maupun pandemic, kekuatan social bangsa Indonesia akan mampu menghadapinya.
Berbagai seruan di area public seperti “penyakit corona dapat disembuhkan hingga 94%” di radio, “rajin cuci tangan”, seruan untuk menghindarkan pertemuan adalah bentuk Jokowi mengajak public untuk menghadapi corona ini secara bersama-sama.
Belum lagi kekuatan ramuan rempah-rempah yang mampu menjadi penangkal ampuh corona mulai menjadi wacana public. Bukankah jahe merah, kunyit, serai, lengkuas ataupun ramuan rempah-rempah lain adalah penangkal “yang masih menjadi misteri”. Mengapa angka kematian, angka yang terpapar virus corona Indonesia dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia masih jauh dari yang dikhawatirkan.
Dari ranah ini, adalah momentum pengetahuan masyarakat menghadapi berbagai bencana haruslah tetap dikukuhkan.
Sudah saatnya kita bergandengan tangan menghadapi corona ini bersama-sama. Memperdebatkan diksi kata selain akan menyita masyarakat umum juga akan menghabiskan energi untuk menghadapi corona.
Padahal energi ini diperlukan untuk melewatinya.
Pencarian terkait : Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,
Opini Musri Nauli dapat dilihat www.musri-nauli.blogspot.com