Mempunyai putra terkecil kelas SD adalah keunikan tersendiri didalam keluarga. Dibesarkan dari tradisi Melayu Jambi yang sering berkomunikasi dengan symbol-simbol, sindiran ataupun perumpamaan sering digunakan didalam keluarga justru menimbulkan kehebohan tersendiri.
Ketika sang istri sakit dan ketika kutanyakan, “mama, mau apa ?, kataku.. Biasanya selalu meminta makan enak. Maklum badan kurang enak memang disuguhi makanan enak lebih baik selain istirahat.
Entah bergurau atau memang lagi bete, sang istri cuma menukas. “Kalau dibelikan emas, pastilah sembuh !!!”, kata istriku sambil sewot. Sebuah symbol atau tanda atau pesan agar minta dibelikan sesuatu. Sebuah ungkapan wajar walaupun kadang juga tidak perlu disampaikan.
Si Bungsu yang mendengar langsung menimpali. “Kok beli mas, ma. Kalau sakit khan beli obat”, kata sibungsu lugu. Sebuah sindiran yang belum dipahami.
Dengan logika sederhana, dia malah protes. Orang sakit kok dibelikan emas. Padahal kalau sakit khan harus dibelikan obat”. Demikian yang dipikirkannya. Sebuah perumpamaan sederhana dari sudut pandang pikirannya. Pikiran masih anak Kelas 5 SD. Yang belum bisa menangkap pesan.
Kami serumah menjadi tertawa. Melihat kepolosan dari sang bungsu. Dan kami tidak perlu menjelaskan apa hubungan antara sakit dengan emas. Selain akan menghabiskan energi, pikirannya masih sederhana biarlah berkembang sesuai dengan usianya.
Namun pemikiran sibungsu justru menjadi perumpamaan melihat keadaan social yang terjadi sekarang dan menjadi heboh akhir-akhir ini.
Dalam suasana Ramadhan, saya justru melihat bagaimana ulama yang sebagian besar berasal dari kalangan nahdiyin justru “membuka” pengajian online. Masing-masing mengkaji kitab klasik. Kitab-kitab yang melihat berbagai tema dari para ulama-ulama besar.
Kiyai NU seperti KH Mustafa Bisri yang ketat membacakan hadist Arbain, KH Anwar Manshur menerangkan tentang Kitab Al Adzkar An Nawawi. Belum lagi Ulil Abshar Abdalla yang telah lama rutin membaca Kitab Imam Gazali – Ihya Ulumuddin. Semuanya membuka cakrawala berfikir dan mendalami islam dari berbagai pandangan ulama-ulama besar. Tentu saja masih ada para ustad muda lain yang juga melakukan kajian online yang terlalu Panjang disebutkan.
Disisi lain, ada juga pengajian yang dilakukan diluar kalangan nahdiyin. Namun yang unik adalah bagaimana pengajian yang dilakukan oleh ulama dari nahdiyin.
Dengan ilmu agama yang ketat (hampir setiap ayat dikupas dari berbagai pendekatan), namun tetap renyah disampaikan. Bahkan selain mendapatkan ilmu justru mendapatkan penyegaran dan semakin menambah kekuatan Islam sebagai agama “rahmatan lil alamin”.
Berbeda dengan kalangan yang tidak mempunyai basis agama yang kuat. Selain bersifat menakut-nakuti, lebih banyak bentuk larangan justru kitab yang dijadikan rujukan selain tidak kaya akan sebuah tema, juga berangkat dogma yang kaku. Justru lebih meminggirkan agama sebagai pedoman bagi manusia.
Dogma yang kaku juga berangkat dari pemahaman yang keliru. Hanya mau belajar dari satu kitab. Namun alergi dengna kitab lain.
Tidak salah kemudian saya justru memberikan perumpamaan sebagai kalangan yang cuma menafsirkan diksi dari kalimat justru menggambarkan pikiran dari sibungsu. Masih perlu belajar dan memahami esensi dari kalimat. Bukan sekedar hanya mengetahui diksi dari kalimat.
Tema diksi dan makna juga dapat dilihat ketika sebagian orang gagal memahami pesan dari Jokowi ketika polemik beda “Mudik” dan “pulang kampung”. Saya hanya tertawa bagaimana diksi dan pesan kemudian gagal ditangkap sebagian kalangan. Namun bagi masyarakat yang melihat makna dari pesan, polemic itu tidak mungkin akan menimbulkan persoalan.
Selain masyarakat yang hidup dalam kultur “simbol”, menangkap pesan dari tanda, polemic tidak mungkin terjadi apabila memahami pemimpin sebagai “penyampai” pesan. Dan menempatkan pemimpin sebagai “pengatur” bak nakhoda yang akan membawa perahu besar Indonesia melewati badai yang begitu kencang. Menerpa kapal yang terancam karam.
Kegagalan menangkap pesan juga sering keliru diterima sebagian kalangan.
Bukankah masih ingat ketika banjir melanda Jakarta, kemudian dikaitkan dengan pilkada ? . Begitu juga bencana di NTB dan Sulteng yang kemudian mengaitkan dengan pilpres.
Padahal esensi agama sudah menempatkan. Manusia adalah makhluk yang terbaik dimuka bumi. Bencana alam adalah peristiwa biasa dilintasan wilayah Indonesia. Bukankah hampir setiap tempat di Indonesia sudah mempunyai jalur dan masyarakat sudah beradaptasi dengan lingkungannya.
Bencana alam adalah kekuasaan Tuhan semata. Kekuasaan Tuhan yang sampai sekarang masih menjadi misteri dari kekuatannya. Jadi bukanlah hukuman.
Sudah saatnya, masyarakat diperbanyak dan diperkaya narasi tentang memahami makna. Bukan sekedar diksi dari kata.
Masa bangsa sebesar Indonesia masih juga berfikir seperti si bungsu ?
Baca :