Mengapa Pendidikan kemudian terjebak dengan “angka-angka”, “hapalan”, “dogma yang kaku ? Mengapa Pendidikan kemudian diseragamkan, dimobilisasi, disama-ratakan, diuji mutu sandar ?
Pertanyaan demi pertanyaan silih berganti.
“Setiap warga negara Hak mendapatkan Pendidikan” (makna tegas diatur didalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945). Oleh karena itu sebagai “hak” maka negara bertanggungjawab untuk menyelenggarakan Pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dengan tegas kemudian “memerintahkan” kepada Pemerintah untuk “mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem Pendidikan nasional’.
Lalu mengapa “satu sistem Pendidikan nasional” tidak memberikan ruang terhadap “keunikan” dan keaneragaman” peradaban nusantara ? Lalu mengapa kemudian Pemerintah termasuk infrastruktur kemudian gagap menghadapi perubahan ?
Secara sekilas, urusan Pendidikan Cuma semata-mata “pendaftaran sekolah”, sistem zonasi, kisruh penempatan guru, fasilitas yang jauh dari memadai ?
Dari sistem zonasi yang selalu heboh menjelang awal pendaftaran murid atau berbagai Pernik-pernik persoalan penempatan guru atau fasilitas yang jauh memadai adalah “kewajiban fisik” dari tanggungjawab negara.
Namun kemudian menempatkan satu persoalan dengan infrastruktur tanpa membangun karakter anak yang kuat menjadikan persoalan yang jauh lebih penting.
Sebagai negara yang terdiri dari berbagai bangsa, tidak dapat dipungkiri, setiap tempat menimbulkan perbedaan dan keunikan peradaban. Belum lagi berbagai tipologi yang tidak dapat direntang dalam satu sistem Pendidikan.
Padahal Pepatah Minangkabau sering mengingatkan “alam takambang jadi guru”. Alam adalah guru. Alam adalah ilmu pengetahuan. Alam adalah peradaban.
Sehingga Pendidikan harus menempatkan alam sebagai ilmu pengetahuan.
Bukankah anak-anak di sekitar hutan justru harus dikenalkan nama-nama hewan atau nama tumbuhan disekitarnya.
Anak-anak harus mengenal ular termasuk juga cara pengobatan. Menjadi ironis ketika korban akibat gigitan ular disebabkan anak-anak tidak dapat mengenal ular termasuk juga upaya pengobatannya.
Disisi lain, anak pelaut justru dikenal pengetahuan tentang membaca angin, cuaca, musim tangkapan, kalender akademik penangkapan ikan atau musim untuk turun ke darat.
Bukankah ketika gambut terbakar terus menerus disatu sisi masyarakat tidak dikembalikan untuk mengenal keunikan peradaban gambut.
Lalu mengapa tidak diceritakan tentang keunggulan rumah panggung (bertiang) didaerah-daerah yang dilewati sesar gempa tektonik di Pesisir Barat Sumatera, Pantai Selatan Jawa hingga memanjang sampai “Sunda kecil”, Sulawesi dan Papua. Sehingga korban-korban dapat diminimalisir.
Ketika wabah pandemik Corona kemudian melanda dunia, tiba-tiba ingatan kolektif negara Indonesia “diingatkan” ajaran leluhur nenek moyang. Tiba-tiba pengetahuan obat yang diturunkan dari nenek (memorial collective) menjadi pembahasan dari berbagai pertemuan.
Berbagai tradisi kemudian hilang dan menjadi cerita yang cuma bisa dituturkan. “Nyirih” cuma ditampilkan dalam upacara-upacara formal adat.
Nama-nama seperti “serai”, jahe”, kunyit’, “Kapulaga”, “kulit manis”, “pala”, “pinang” (ribuan nama) adalah nama-nama tumbuhan yang dapat menjadi imun untuk menghadapi corona.
Bukankah “wedang jahe” atau “STMJ” adalah minuman favorit ketika badan kurang enak atau sehabis jalan jauh.
Pengetahuan untuk mengenal alam (etnofarmasi) kemudian semakin tergerus waktu dan menjadi pengetahuan modern obat-obatan.
Dan ketika corona datang, tiba-tiba Indonesia kemudian gagap “untuk mencari formula”.
Padahal Indonesia sudah diwariskan pengetahuan obat-obatan tradisional (etnofarmasi) merupakan kekayaan pengetahuan yang kemudian mulai hilang ditelan waktu.
Sudah saatnya Pendidikan mengembalikan kepada alam sekitarnya. Pendidikan harus sesuai dengan karakter masing-masing peradaban.
Meminjam istilah “Paulo Freire”, Pendidikan harus membebaskan. Pendidikan harus sesuai dengan karakter dengan alam sekitarnya.
Pencarian terkait : Opini musri nauli, musri nauli, jambi, sejarah jambi, politik jambi, hukum adat jambi,
opini lain dapat dilihat di www.musri-nauli.blogspot.com