Ketika sang istri hamil anak ketiga, seketika itu “palu godam’ dijatuhkan. Aku dilarang naik sepeda motor.
“Anakmu sudah tiga orang. Hentikan naik sepeda motor ?, kata sang istri lembut. Melembutkan hatiku agar tidak menggunakan sepeda motor.
Entah “palu godam” atau memang digariskan, Tuhan kemudian memberikan rejeki. Dapat membeli mobil bekas (walaupun kredit). Angan naik sepeda motorpun sementara “redup”.
Angan naik sepeda motor terus terkubur. Sang Sulung dan adiknya yang sekolah diluar kota memerlukan biaya kuliah dan biaya asrama. Kebutuhan rutin bulanan yang mesti dipersiapkan.
Namun ketika keduanya kemudian selesai kuliah dan mulai bekerja, keinginan naik sepeda motor kembali muncul. Ditambah yang nomor tiga sudah selesai pesantren dan kembali melanjutkan SMA dekat rumah. Keinginan semakin membara.
Keinginan “touring” (lebih tepat adventure) semakin menguat. Agustus 2019, melalui postingan di FB, sepeda motor bekas berhasil dibeli. Tentu saja masih memerlukan perbaikan sana-sini.
Namun naluri berpetualang semakin kuat. Motor bekas mesti didandani. Mesin diperbaiki. Segala fasilitas pendukung entah pengapian, kabel-kabel mesti diperbaiki.
Tentu saja masih banyak pertanyaan. Apa sih enaknya naik sepeda motor ?
Ah. Kalau itu ditanyakan, tentu saja keinginan “darah muda” mesti disalurkan.
Berbeda dengan orang yang hobby bersepeda, naik sepeda motor dapat dilakukan untuk jalan jauh. Selain jalan yang ditempuh masih sulit dilalui kendaraan mobil, sepeda motor juga “menguji fisik” dan mengukur stamina. Selain tentu saja dapat bergaul dengan anak-anak muda. Anak muda yang penuh gagasan.
Sehingga tidak salah kemudian diskusikupun lebih banyak “harga pelek ban”, “ganti karburator”, “knalpot” ataupun berbagai variasi.
Dari pikiran anak muda, saya kemudian mengenal jaringan. Entah pembelian “online”, “mencari suku cadang bekas”, “Teknik mencari bengkel” ataupun sekedar tempat nongkrong anak-anak muda.
Dari diskusi mereka saya kemudian mengenal “trend dunia kini”, “kemuakkan dengan kelakuan perilaku koruptif”, “kebosanan kaum tua” yang sulit berubah”, kapasitas anak muda yang gagap menghadapi zaman. Hingga aku menemukan cara pandang baru anak muda menghadapi zaman.
Namun disisi lain, bonuspun kuraih. Aku mengenal jalan-jalan berlubang, “poster-poster kandidat yang berseliweran dipinggir jalan yang membosankan”, slogan yang jauh dari kenyataan. Sekaligus aku mendapatkan bekal untuk menilai kandidat yang memasuki pertarungan Pilkada 2020.
Dijalanan aku menemukan “ketidakadilan”. Di jalanan aku melihat mobil-mobil mewah yang memercikkan air hujan membasahi orang di jalanan.
Di jalanan aku melihat mobil mewah yang enteng membuang sampah plastik keluar dari kaca mobil. Atau kemudian membeli minyak bensin dan ikut antrian dengan angkot.
Dari jalanan aku juga melihat antrian beli gas 3 kg. Memanjang seperti ular. Terlihat dari antrian “orang kaya” membeli gas 3 kg. Entah darimana dia dapat kartu antrian yang menjadi hak orang umum. Bukan hak mereka.
Atau melihat kendaraan yang tidak disiplin mengikuti rambu-rambu lalulintas. Tidak ikut antri berhenti saat lampu merah. Atau mereka kemudian malah “mengeluarkan klakson” kuat-kuat”.
Tidak salah kemudian “jalanan adalah potret masyarakat”. Masyarakat belum mampu berubah untuk tertib dijalanan.
Apakah mereka tidak tertib disebabkan tidak adanya petugas disetiap simpang lampu merah.
Ah. Meminjam istilah ahli Sosiologi Hukum, Soerjono Soekanto mengatakan “Hukum adalah petugas” menemukan relevansinya. Sebuah potret dari masyarakat yang sedang berubah. Dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri.