23 Juli 2020

opini musri nauli : Simulasi Lembaga Pemulihan Gambut Paska 2020



Wacana Pemerintah sedang merampingkan Lembaga negara demi penghematan anggaran menjadi wacana publik. Pembubaran Lembaga negara yang dilakukan terhadap Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) memantik diskusi menarik ditengah masyarakat.
Presiden Jokowi beberapa kali membubarkan dan membentuk Lembaga Negara. Diantaranya Dewan Penerbangan Antariksa Nasional, Lembaga Koordinasi, Pengendalian dan Kesejahteraan Sosial Penyandang cacat, Dewan Buku Nasional dan Komisi Hukum Nasional (2014).

Tahun 2015 kemudian Badan Pengelolaan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestrasi, Degradasi Hutan dan Lahan gambut, Dewan Nasional Perubahan Iklim kemudian dilebur kedalam Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Tahun 2016 kemudian diantaranya membubarkan Badan Benih Nasional dan Dewan Kelautan Indonesia. Namun kemudian membentuk Badan Restorasi Gambut. Tahun 2017 Membubarkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

Pembubaran lembaga pada masa Jokowi Ma’ruf baru 18 lembaga dengan Perpres No. 82/2020.

Namun sorotan terhadap Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016 menarik perhatian publik. Perhatian luas dari berbagai kalangan.

Sorotan terhadap BRG didasarkan pemulihan gambut yang kurang maksimal. Selain masih terjadinya kebakaran, pemulihan gambut belum memberikan hasil yang signifikan.

Namun disisi lain terjadi kebakaran 2019 justru menimbulkan problema hukum. Berbagai data menyebutkan KLHK dan BNPB menyebutkan kebakaran mencapai 857.755 ha. Di gambut mencapai 227.304 ha dan non gambut mencapai 630.451 ha.

Berbagai wacana untuk menjawab kelembagaan yang bertanggungjawab untuk pemulihan gambut menjadi perhatian publik.

Wacana seperti BRG dileburkan didalam Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut Dirjen PPKL dibawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Direktorat Gambut), dibawah koordinasi BNPB atau Badan yang khusus bertugas untuk memulihkan gambut.

Apabila dilihat regulasi seperti UU No. 32/2009, PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016 maka lembaga yang mendapatkan mandat untuk menjadi “pemaksa” perintah pemulihan gambut adalah “Kementerian Lingkungan Hidup”.

Politik hukum kemudian dimandatkan Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan (KLHK). Mandat ini kemudian dapat dilihat Permen LHK No P.18/MENLHK-II/2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK No. 18/2015). Permen LHK No 18/2015 menghapuskan Permenhut No 33/2012 dan Permen LH No 18/2012.

Untuk mengatur teknis kemudian pengaturan gambut diatur didalam Pasal 642 Permen LHK No 18/2015. Dikenal Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut (Direktur Gambut). Direktur Gambut dibawah Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Dirjen PPKL).

Namun melihat kebakaran massif tahun 2015, Presiden Jokowi kemudian membentuk badan yang melaksanakan kegiatan restorasi gambut. Badan yang dibentuk diharapkan dapat menjadi tugas proses percepatan pemulihan Kawasan dan pengembalian fungsi hidrologi gambut akibat kebakaran yang khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh.

Pertimbangan Presiden Jokowi membentuk Badan yang bertugas pemulihan gambut dikenal sebagai Politik Hukum. Sebuah konsepsi yang melekat kewenangan Jokowi sebagai Presiden.

Politik hukum kemudian berwujud dengan Badan Restorasi Gambut berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 (Perpres No. 1/2016).

Melihat kepentingan politik hukum maka menjadi tidak relevan kemudian BRG dibawah Direktur Gambut Dirjen PPKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sementara itu wacana menghendaki BRG dibawah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menimbulkan problema regulasi. Sebagaimana regulasi UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, definisi bencana mengenal bencana alam dan bencana non alam.

Bencana alam disebutkan adalah peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung Meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Sedangkan bencana non alam diakibatkan gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik dan wabah penyakit.

Sehingga menempatkan “kebakaran” yang menjadi wewenang BNPB akan mengamandemenkan UU No. 24 Tahun 2007.

Menempatkan “kebakaran” sebagai bencana menimbulkan akibat hukum. UU No. 32/2009,  UU No. 41/1999, UU No. 39/2014 junto UU No. 18 Tahun 2004, PP No 4/2001 dan PP No. 45/2004 jelas-jelas menyatakan kebakaran bukanlah “bencana’. Dan berbagai regulasi kemudian tegas mencantumkan kalimat “setiap pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal didalam izinnya”.

Selain itu meletakkan “bencana” oleh negara maka mempunyai konsekwensi dan akibat hukum terhadap pemegang izin. Bencana adalah satu faktor sebagai “force majeure”.

Secara hukum, perusahaan bisa dilepaskan tanggungjawab dari kebakaran. Didalam tanggungjawab perdata, bencana alam merupakan salah satu yang menyebabkan perusahaan dilepaskan dari tanggungjawab (defende). Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPer menyebutkan “force majeure” sebagai salah satu factor untuk “melepaskan” kewajiban dan tanggungjawab untuk melaksanakan kewajibannya.

Dalam lapangan hukum pidana, force majeure” dipadankan dengan “overmacht”. “Overmacht” menjadi dasar untuk menyatakan alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden) sebagai sifat untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana.

Dengan demikian menempatkan kebakaran sebagai “bencana” mengakibatkan “Force majeure” (Hukum Perdata) atau “overmacht” (Hukum Pidana) mempunyai akibat hukum.  Justru memberikan dan “membebaskan” tanggungjawab dan kewajiban pemegang izin untuk melakukan pemulihan gambut.

Dengan demikian maka menempatkan “kebakaran” dan perintah pemulihan gambut dipadankan dengan UU No. 24 Tahun 2007 akan menimbulkan benturan norma hukum. Selain juga “dapat menghapuskan pertanggungjawaban pemegang izin” untuk melakukan pemulihan gambut.

Lalu bagaimana dengan semangat politik hukum pembentukan BRG ?

Secara sekilas, kebakaran yang terjadi diareal gambut menjadi beban BRG. Namun apabila ditelisik lebih jauh, justru menimbulkan implementasi dari regulasi yang mengatur.

Apabila diperhatikan data-data sampai tahun 2019, BRG telah memfasilitasi dan mengoordinasikan pembasahan gambut seluas 780 ribuan ha (88 %) dari total areal restorasi gambut seluas 892.248 ha yang ada diluar konsesi.

Sedangkan supervisi terhadap perusahaan perkebunan yang diperintahkan memulihkan gambut, BRG melakukan bersama dengan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian dimulai sejak September 2018 hingga Juni 2020. Bahkan terlibat 109 perusahaan seluas 442 ribu (79,6 %) dari total areal perkebunan didalam target restorasi gambut. Capain ini tidak boleh dinafikan.

Berdasarkan Pasal 2 dan pasal 3 Perpres No 1/2016, maka wewenang diberikan kepada BRG, adalah koordinasi terhadap restorasi gambut dan pelaksanaan pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi. Makna Pasal 3 huruf h Perpres No. 1/2016 kemudian diterjemahkan didalam pasal 10 huruf c Perpres No. 1/2016.

Secara tersirat, pasal 3 huruf h dan pasal 10 huruf c Perpres No. 1/2016 adalah tetap memberikan tanggungjawab kepada pemegang izin untuk melakukan pemulihan. Apabila pemegang izin “membandel” tidak mau melakukan restorasi gambut dan kemudian terbakar, maka dapat “melakukan pemulihan gambut kepada pihak ketiga” dengan pembiayaan kepada pemegang izin (Pasal 31 A PP No 57/2016).

Dengan demikian jelaslah. Negara tidak dibenarkan untuk melakukan pemulihan dilahan konsesi. Tanggungjawab terhadap pemulihan gambut akibat kebakaran menjadi tanggungjawab mutlak dari pemegang izin.

Sehingga terhadap kebakaran diareal konsesi yang marak terjadi tidak dapat dibebankan kepada BRG. Selain akan berdampak kepada persoalan hukum (penggunaan anggaran yang tidak pada tempatnya), wewenangnya semata-mata dilekatkan kepada Menteri/Gubernur/Walikota/Bupati berdasarkan PP No. 57/20160

Fungsi “supervisi, koordinasi” dari BRG tidak memungkinkan mengambilalih wewenang yang telah diberikan oleh kepada Menteri/Gubernur/Walikota/Bupati. Belum lagi regulasi Perpres No 1/2016 disandingkan dengan PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016.

Merujuk UU No 12/2011 junto UU No. 15/2019 menempatkan Peraturan Presiden dibawah Undang-undang. Menggunakan asas “Lex Superior derogate Legi” maka Perpres tidak dapat mengambilalih wewenang yang diatur didalam Peraturan Pemerintah.

Menilik wewenang BRG yang diatur didalam Perpres No 1/2016 kemudian disandingkan dengan PP No 71/2014 junto PP No. 57/2016 diibaratkan dengan istilah “Kepala dilepaskan. Ekor masih dipegang”.

Dengan demikian maka menjadi tidak relevan kemudian kebakaran yang terjadi dilahan konsesi kemudian dibebankan kepada BRG.

Melanjutkan semangat Politik Hukum Presiden Jokowi, maka badan yang bertugas khusus untuk pemulihan gambut dapat dilanjutkan.

Melihat capaian 780 ribu ha (88%) dari total restorasi gambut diluar konsesi dan terlibatnya 109 perusahaan seluas 442 ribu ha (79,6%) total areal perkebunan didalam target restorasi gambut, maka dibutuhkan lembaga untuk melanjutkan tugas pemulihan gambut.

Semangat Politik Hukum harus dilanjutkan. Tugas untuk melakukan pemulihan gambut (termasuk diareal konsesi) maka diimbangi dengan amandemen Pasal 30 ayat 1, Pasal 31 A, Pasal 44  PP No. 57 Tahun 2016.  

Pencarian terkait : Opini musri nauli, musri nauli, jambi, sejarah jambi, politik jambi, hukum adat jambi, 


Baca juga : Gambut dari pendekatan etnografi