Dalam diskusi informal dengan teman-teman jurnalis, terdengar keluhan mengenai opini yang dituliskan dari beberapa penulis. Dengan lugas, temanku seorang Pemred online mengeluh.
“Sudah dikirimi ke media saya, bang, ternyata dia juga mengirimi ke media lain. Akupun kecewa”, sembari meneguk cappuccino. Terdengar mengeluh dan sedikit kecewa.
Aku mendengar dengan seksama. Sembari mencari informasi sebenarnya.
Pelan-pelan kusadari. Memang ada persoalan yang mengganggu pikiran temanku sang Pemred.
Akupun memperdalam informasi. Dengan pelan-pelan dia bercerita panjang lebar. Bagaimana sang penulis sering sekali mengirimkan opini yang sama ke berbagai media online.
Ternyata benang merah kutemukan. Ada prinsip-prinsip yang bisa kutangkap dari arah pembicaraan.
Sebagai penulis opini, hak cipta tetap menjadi milik dari sang penulis. Hak cipta melekat dan menjadi hak yang tetap abadi ditangan penulis. Hukum melindungi hak cipta sebagai karya intelektual yang mesti dihormati.
Dalam kaidah akademis, mengutip tanpa menyebutkan sumber penulis, sering disebutkan sebagai “plagiat”. Plagiat paling tabu dalam dunia akademis.
Masih ingat kasus Anggito Abimayu yang menulis di media cetak Kompas. Ternyata sang penulis asli yang menuliskan di blog keroyokan “kompasiana” kemudian protes.
Dengan menunjukkan tulisan asli, dia mampu menunjukkan “beberapa paragraf’ yang kemudian dikutip Anggito Abimayu tanpa menyebutkan sumbernya. Kutipan kemudian dimuat di media cetak kompas.
Dunia “penulisan” kemudian geger. Melihat jejak digital, sang penulis mampu menunjukkan “waktu penulisan” jauh sebelum Anggito Abimanyu menuliskannya.
Kompas yang begitu teledor kemudian sadar. Tidak melakukan crosckchek. Namun tanggungjawab tetap ditangan sang penulis.
Anggito Abimayu kemudian mundur dari pejabat negara.
Penghormatan terhadap sang penulis adalah mahkota dari kaidah akademik. Begitu esensial dari penghormatan terhadap penulis opini maka “plagiat” adalah persoalan yang paling ditabukan.
Bukankah kita sering mendengar, gelar akademik kemudian dicabut. Beberapa kasus kemudian kita lihat. Bagaimana seorang kandidat doctor yang kemudian berhasil ujian disertasi kemudian gelarnya dicabut ketika dia menuliskan disertasi berasal karya mahasiswanya. Padahal skripsi “dicatut’. Tanpa menyebutkan sumbernya.
Demikian begitu penting esensial dari penghormatan hak cipta.
Namun menjadi persoalan lain apabila sang penulis yang kemudian mengirimkan tulisan yang sama ke berbagai media.
Tema ini pernah menjadi perdebatan. Banyak yang setuju selama yang penulis yang mengirimkannya. Namun saya agak berbeda pandangan.
Dengan mengirimkan opini ke media, maka sang penulis telah menyerahkan “hak publikasi” kepada media yang bersangkutan. Hak publikasi adalah “hak privile”. Hak istimewa dari pemilik media.
Masih ingat ketika satu tulisan pernah menghebohkan di Jambi. Saya dan pemilik media “Sempat tolak menolak” untuk menyatakan “siapa yang berhak” untuk tulisan kemudian dikutip.
Semula mereka menghubungi sang pemilik media untuk “diizinkan tulisan” kemudian dikutip untuk kalangan internal. Sang pemilik media “malah menyarankan” kepada saya untuk meminta izin.
Ketika dihubungi, malah saya meminta agar menghubungi kepada pemilik media untuk diizinkan agar tulisan saya dikutip.
Sebagai pegangan saya, ketika tulisan kemudian dimuat di media, maka pemilik media-lah yang berhak untuk mengizinkan atau menolak tulisannya kemudian dikutip.
Bagi saya, ketika tulisan dimuat, maka “hak publikasi” terletak di pemilik media. Bukan ditangan saya.
“Hak publikasi” adalah hak istimewa yang diberikan oleh penulis. Hak itu melekat selama tulisan itu masih terpampang di media yang bersangkutan.
Hak publikasi adalah hak yang diberikan kepada media. Bukan kepada seluruh media. Sehingga hak publikasi adalah penghormatan yang diberikan oleh penulis kepada media.
Dengan kaidah itu maka saya berusaha untuk tidak pernah mengirimkan satu tulisan ke berbagai media.
Kembali ke cerita semula, terhadap “permintaan” agar tulisan kemudian dimuat di kalangan internal disepakati. Dia harus mengutip utuh dengan menyebutkan penulisnya dan sumber media yang memuatnya.
Berpijak kepada kaidah yang saya sampaikan, alangkah baiknya media online segera menertibkan para penulis yang tidak menghargai “hak publikasi’. Media online tidak akan menerbitkan tulisannya.
Atau setidak-tidaknya secara bijaksana meminta penegasan dari penulis untuk memastikan tulisan ini tidak dimuat di media lain.
Alangkah indahnya narasi keindonesiaan dan tentang Jambi tetap marak. Dan kaidah-kaidah hak cipta dan hak publikasi tetap dihormati.
Baca : UU Pers
Pencarian terkait : Opini musri nauli, musri nauli, jambi, sejarah jambi, politik jambi, hukum adat jambi,
opini lain dapat dilihat di www.musri-nauli.blogspot.com