07 Oktober 2020

opini musri nauli : PENYAKSI




“Yah, ayah jadi Direktur, ya”, kata si Bungsu diujung telephone. Terdengar suara berderai. 


“Yah, dek”, kataku sembari menahan tawa. Panggilan “adek’ kami lekatkan kepada sibungsu. Seluruh keluarga memanggil sibungsu dengan panggilan “Adek”. 


Teringat percakapan ketika si bungsu menelephoneku disaat aku masih diluar kota. Saya kemudian tidak membayangkan “suasana” dirumah. Selain mobilitas “urusan” yang masih ribet, suasana di Jambi tidak kurasakan langsung. 

“Pokoknya heboh, bang”, kata teman sesama tim. “Abang harus cepat pulang. Kita harus rapat”, lanjutnya. 


Ok. Segera urusan saya kelar, saya akan pulang. Malamnya segera rapat”, kataku menutup pembicaraan. 


Ditunjuk sebagai Direktur Media Publikasi dan Opini dalam tim pemenangan merupakan “pekerjaan baru”. Walaupun praktis “dunia pers” dan pergaulan dengan teman-teman jurnalis bukanlah hal yang baru. 


Sejak menjelang reformasi, pergaulan dengan teman-teman pers merupakan perlawanan “sumbatan demokrasi”. Teman-teman pers-lah yang justru menjadi “telinga kebenaran” untuk menyampaikan berbagai peristiwa yang “pers orde baru” tidak berani meliputnya. 


Belum lagi sejak 1996, dunia tulis menulis adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Menjadi penulis diberbagai media massa. Dan rutin menyetor tulisan. 


Dimulai dari zaman “disket” yang harganya masih Rp 2.500,-. Rutin kemudian barulah melalui e-mail. 


Namun akhir-akhir ini ketika dunia media online begitu menjamur, cara ini bahkan lebih mudah. Selain cukup melalui aplikasi whatapp, tulisan yang masuk tidak lama kemudian dapat dilihat di website media online. Sehingga ketika ada ide tulisan, maka tulisan dapat langsung dikirimi. Rutinitas yang semakin sering sejak 2006. 


Dengan demikian, praktis sejak 2006, hampir media online relatif rutin mengirimkan tulisan. Bahkan ada media online yang menjadi “langganan wajib”. 


Sehingga ketika kemudian ditunjuk menjadi Direktur Media Publikasi dan Opini justru menjadi “pergaulan” yang lebih familier. 


Menjadi “Direktur” menyebabkan interaksi saya dengan kandidat menjadi lebih mudah dan akses langsung. Bahkan beberapa tema penting, saya tidak merasa keberatan untuk menyampaikannya. 


Tentu saja banyak yang berfikir. Saya kemudian “bermimpi” akan menjadi kaya raya ketika kandidat yang saya usung menjadi Gubernur/Wakil Gubernur. 


Hello. 


Disaat usia hampir setengah abad, dimana hampir berbagai kehidupan sudah saya jalani, saya justru tengah menikmati dunia Advokat. Dunia yang pernah “sempat” saya tinggalkan 4 tahun. Saya menikmati dunia Advokat selain merupakan “panggilan jiwa” juga saya juga harus sadar. Saya dibesarkan “melawan orde baru’. Tetap memilih bersama dengan kaum yang tertindas atau kaum papa yang membutuhkan pertolongan hukum. 


Apakah itu “idealisme” ? 


Tidak. Ketika saya menuntaskan jabatan sebagai Direktur Walhi Jambi, saya kemudian “menyepi”. Menyelesaikan perjalanan panjang “menggali” sejarah dan marga/batin se Provinsi Jambi. 


Tugas yang sempat “terlantar’ karena tidak memungkinkan untuk dikerjakan. 


Lalu ketika saya kemudian “menyepi” dan menyelesaikan perjalanan panjang, maka filosofi yang dianut masyarakat Jawa menjadi pedoman saya. 


Lengser keprabon. Mandeg pandito. Kembali kedunia “pertapaan’ dan “menyepi” setelah “lengser” dari tahta. 


Sehingga ketika setahun yang lalu dimulai pembicaraan tentang agenda Pemilihan Gubernur 2020, saya hanya “merenung”. 


Apakah ini kesempatan untuk “membenahi” lingkungan hidup di Jambi dari pendekatan kebijakan ? 


Setelah saya melihat “keseriusan” dari kandidat”, cara memandang persoalan lingkungan hidup, pekerjaan yang sudah dilakukan maka saya kemudian berketetapan hati. 


Melaksanakan mandat-mandat yang belum saya tunaikan. 


Saya kemudian memilih “bertarung”. Menjadi bagian dari tim pemenangan. Menjadi penyaksi dari perubahan. 


Lalu ketika motivasi yang besar itu kemudian direduksi dengan alasan yang lain ? Misalnya akan mendapatkan kekayaan ketika kandidat yang saya usung kemudian menjadi pemenang. 


Rasanya “terlalu sayang”, kesempatan yang diberikan kepada saya kemudian menjadi persoalan “remeh-temeh”. Apalagi “cawe-cawe” urusan yang bukan menjadi bidang atau dunia saya. 


Setidak-tidaknya saya akan mengawal untuk membuka “seluruh kran’ yang selama ini tersumbat. Menghadirkan negara didalam persoalan ditengah rakyat. 


Apakah itu cuma “kampanye” atau slogan semata ? 


Di kandang Walhi Jambi, sang kandidat sendiri berjanji. Mengurusi isu lingkungan hidup dan memastikan “daya rusak” lingkungan hidup tidak semakin parah. 


Media massa yang hadir menjadi penyaksi. Atas janji sang kandidat. 


Dan saya kemudian memilih. Untuk menjadi gerbong memenuhi janji sang kandidat.