26 November 2020

Opini musri nauli : Keep spirit, KPK

 



Masih ingat ketika protes dan gelombang penolakan terhadap RUU KPK dan terpilih paket pimpinan KPK setahun yang lalu. 


Gelombang besar penolakkan kemudian diterima sebagai bagian kritik publik terhadap RUU KPK. 


Sebagai Lembaga negara, KPK harus tetap dikritik. KPK harus independent. Demikian kesan yang kuat saat itu. 


Belum usai pembahasan RUU KPK, terpilihnya pimpinan KPK diterima dengan apatis. Terlepas dari nama-nama yang menjadi pimpinan KPK, kesan publik mulai tidak respek lagi dengan KPK. 


Namun seorang temanku berbisik. Dengan pelan dia berkata. “Tenang, ketua. Ada kak Lili. Dia komit, kok dengan agenda pemberantasan korupsi SDA”. Sembari menunjukkan berbagai agenda pertemuan dengan KPK. 


“Tidak ketua. Saya mungkin menjadi masyarakat biasa saja. Mendukung KPK dengan cara saya”, kataku menghindar. Sembari menjadi masyarakat biasa tentu saja pandanganku tidak mewakili siapapun. 


“Pergantian kekuasaan harus terjadi. Sekarang kita yang lagi leading. Masa mereka aja yang bisa berbicara dengan KPK”, katanya meneguhkan. 


Pelan tapi pasti. Saya menangkap kesan. Ada upaya sistematis untuk “membunuh” KPK. Entah dengan cara membangun demoralisasi. Menjauhkan KPK dengan masyarakat. Bahkan tidak henti-hentinya memprotes terhadap keberadaan KPK. Baik cara kerja yang kemudian tunduk dengan UU KPK yang baru. Maupun demoralisasi terhadap terpilihnya kepemimpinan KPK. 


Tidak salah kemudian saya pernah berujar. “Dasar kalian. Aktivis Kantor Pos”, kataku sembari menumpahkan kekesalan. 


“Tenang, bang. Ntar sebentar lagi mereka akan menjilat sepatu”, kata seorang teman di Jakarta. 


Aku tersenyum. Istilah “menjilat sepatu” adalah istilah Melayu yang menggambarkan perilaku orang yang semula sibuk mengkritik namun ketika kekuasaan berganti, dia cepat-cepat merapat. Memuji-muji setinggi langit. 


Bahkan didalam diskusi di Balikpapan, Kesan dari kawan-kawan begitu kental. Penolakkan terhadap KPK dan terpilihnya pimpinan KPK. 


Namun suasana kemudian berubah. Ketika KPK menangkap Menteri aktif, seketika riuh gemuruh di FB. Semua kembali memuji. 


Namun yang lucu. Bukan pimpinan KPK yang mereka puji. Tapi adalah Novel Baswedan. Sebuah upaya yang agak aneh juga. 


Tapi sudahlah. 


Dari dulu saya percaya dengan KPK. Dengan dukungan yang cukup, system yang sudah tertata baik, KPK tetap menjalankan fungsinya. 


Pencegahan dan penindakan. Sebagaimana mandate dari UU KPK. 


Bukankah ketika pimpinan sebelumnya. Ketika publik ragu dengan kepemimpinan Abraham Samad. Atau KPK dengan kepemimpinan Agus Rahardjo. 


Bukankah KPK kemudian dihujat. Sembari tetap merapat agar mendapatkan akses. 


Lalu bagaimana ending dari kepempinan Abraham Samad dan Agus Rahadjo. Justru setiap periode kepemimpinan mereka menelurkan prestasi yang gemilang. 


Sekali lagi tempatkan pada porsinya. Tetap kritis sembari obyektif. 


Keep spirit KPK. 


Pencarian terkait : opini musri nauli, musri nauli, jambi, jambi dalam hukum, KPK,