21 November 2020

opini musri nauli : Pedoman Pemulihan Gambut di Lahan Konsesi



Akhir-akhir ini tidak dapat dipungkiri, membicarakan Gambut menarik perhatian publik. Konsentrasi publik semakin menguat ketika Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. 


Semula gambut menjadi perhatian publik disaat kebakaran mulai melanda beberapa provinsi yang kemudian dikenal sebagai langganan kebakaran. 

Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Selatan kemudian dikenal memiliki Kawasan gambut yang terluas di Indonesia justru menerima getahnya. 


Gambut yang semula tidak pernah dijadikan Kawasan izin (baik HGU maupun HTI) kemudian semakin marak sejak awal tahun 2000-an. Dan semakin massif memasuki paruh tahun 2010. 


Akibatnya alam kemudian menunjukkan perlawanan. Kebakaran hutan dan lahan yang semula sporadis kemudian semakin  sistematis. Provinsi-provinsi yang semula menikmati gambut sebagai anugerah illahi merasakan dampaknya. Menjadi langganan kebakaran. Setiap tahun. Bahkan semakin menggila sejak 2015. 


Berbagai regulasi telah mengatur tentang Kawasan ekosistem gambut. UU No. 32/2009 sudah mewanti-wanti. Gambut kemudian diletakkan sebagai kawasan unik (ecosystem essensial). Sebagai kawasan unik maka gambut haruslah diperlakukan “khusus”. Tidak dapat disandingkan dengan model pengelolaan dengan entitas lain seperti “minyak, panas bumi, sawit, hutan”.  


Paska kebakaran tahun  2015, berdasarkan Perpres No 1 Tahun 2016, BRG Diperintahkan untuk memulihkan gambut yang terbakar 2015 seluas 2 juta hektar (Pasal 4 Perpres No. 1 Tahun 2016). 


Berdasarkan Pasal 2 dan pasal 3 Perpres No 1 Tahun 2016, maka wewenang diberikan kepada BRG, adalah koordinasi terhadap restorasi gambut (Pasal 2 Perpres No. 1 Tahun 2016), pelaksanaan pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi (Pasal 3 huruf h Perpres No. 1 Tahun 2019. 


Makna “pelaksanaan pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi” sebagaimana diatur didalam Pasal 3 huruf h Perpres No. 1 Tahun 2019 kemudian diterjemahkan didalam pasal 10 huruf c Perpres No. 1 Tahun 2016  pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi, dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi. 


Secara tersirat, pasal 3 huruf h dan pasal 10 huruf c Perpres No. 1 Tahun 2016 adalah tetap memberikan tanggungjawab kepada pemegang izin untuk melakukan pemulihan gambut. 


Sedangkan berkaitan dengan “Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut” kemudian telah diatur didalam Peraturan Dirjen PPKL No P.3/PPKL/PKG/PKL.0/3/2018 (Perdirjen)


Untuk membantu memudahkan didalam pelaksanaan supervisi restorasi gambut dilahan konsesi maka kemudian dibuatkan pedoman pemulihan gambut dilahan konsesi. 


Hasil koordinasi dengan Dirjen PPKL KLHK, BRG diminta untuk konsentrasi di “Titik muka air tanah” sebagaimana didalam verifikasi Permen LHK No. 15/2017 PP No. 71/2014 jo PP No. 57/2016 jo Permen LHK No. 15/2017, TMAT diukur mencapai 0,4 meter.


PP No. 150/2000 juga mengatur tentang kerusakan di lahan basah. Dikenal istilah “laju subsiden” dan “Sedimen berpirit’.


BRG kemudian menyusun Pedoman Supervisi Pemulihan gambut (restorasi gambut) di lahan konsesi. Mulai dari indikator, spesifikasi alat untuk mengukur TMAT, waktu, perencanaan, tim (Tim pengarah, tim pelaksana). 


Dalam pertemuan dengan para pakar BRG, untuk melihat TMAT tidak hanya mengukur TMAT, tapi juga melihat fakta-fakta lain. Seperti “tanaman indikator”, “rumput”, “flora dan fauna” tertentu di sekitar gambut.. Dan itu bisa dilakukan pemeriksaan visual di lapangan


Didalam melakukan verifikasi terhadap pemegang konsesi, BRG berdasarkan kepada Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG), berpatokan terhadap target pemulihan gambut (restorasi gambut), Rencana Kerja Umum dan Rencana Pemulihan yang diserahkan kepada KLHK. 


Pedoman yang disusun berupa checklist yang menggambarkan hasil dari pemantauan dilapangan. 


Dari hasil analisis lapangan maka BRG kemudian mengeluarkan rekomendasi yang dapat digunakan sebagai penilaian dari kepatuhan perusahaan terhadap upaya pemulihan gambut. 


Badan Restorasi Gambut dapat memberikan rekomendasi kepada KLHK untuk dilanjutkan dengna perintah pemulihan oleh Dirjen PSKL – KLHK. 


Pedoman yang telah disusun dapat digunakan public didalam melakukan control public terhadap upaya pemulihan gambut oleh perusahaan. 


Sebagai bagian dari proses yang panjang, kebersamaan di BRG dalam suasana kekeluargaan menularkan arti penting. Kekeluargaan, kebersamaan, profesionalisme dan loyalitas. 


Suasana demikian yang membuat hubungan personal dengan teman-teman di BRG tetap terjaga. 


Terima kasih, BRG. 


Terima kasih Mbak Myrna. Terima kasih Ibu Emma, Bang Novi, kang Cupi, teteh nita. Dan adik-adik sekalian yang rela menjadi bagian dari kerepotan di kedeputian III BRG. 


Sekali lagi, kebersamaan di BRG membuat memori dalam hidup saya menjadi berarti. 


Baca : Gambut dari pendekatan Etnografi  dan Catatan Hukum PP No 57 Tahun 2016


Pencarian Terkait : opini musri nauli, musri nauli, hukum adat, hukum adat jambi