Akhir-akhir ini, tema ganja menarik perhatian publik. Disaat PBB kemudian melegalkan ganja sebagai obat untuk keperluan medis.
Sebagaimana diketahui, ganja semula terdaftar sebagai obat terlarang dan berbahaya. WHO telah menetapkannya.
Namun PBB kemudian merestui WHO ganja sebagai keperluan medis. Putusan ini setelah voting yang dilakukan oleh komisi Obat Narkotika (CDN) yang berangggotan 53 negara. 27 negara Eropa dan Amerika setuju. Sementara 25 negara lain termasuk Tiongkok, Pakistan dan Rusia menentang.
Sebelum membahas dari pendekatan yuridis dan kesehatan, alangkah baiknya kita sejenak membahas tentang ganja itu sendiri.
Ganja atau mariyuana berasal dari tanaman dikenal cannabis sativa. Memiliki kandungan 100 bahan kimia berbeda yang disebut dengan cannabinoid.
Sebagai bahan baku untuk medis, sudah lazim ganja menjadi pengetahuan umum. Baik digunakan untuk mengatasi mual atau kehilangan nafsu makan yang dikenal marinol dan cesamet.
Marinol dan Cesamet telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA). Lembaga semacam BPOM di Indonesia.
Selain itu juga dikenal Epidiolex. Obat yang digunakan untuk anak-anak epilepsy. FDA sudah melegalkan sejak 2013. Namun penggunaan secara bebas sangat dilarang.
Negara Belanda sudah lama dikenal penggunaan terbatas mengenai ganja. Di beberapa tempat di Kota Amsterdam dikenal kota yang membebaskan penggunaan ganja dengan kadar tertentu.
Cerita ganja di Indonesia mengingatkan Fidelis Ari, seorang suami yang nekat menanam pohon ganja agar bisa mengekstraknya dan memberikan ke istrinya. Yeni Riawati yang mengidap penyakit syringomyelia. Penyakit langkah.
Namun hiruk pikuk hukum Indonesia kemudian mengalami polemic. Fidelis kemudian ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara. Bahkan yang memilukan, ketika Fidelis hanya diperkenankan polisi untuk melihat terakhir kali sang istri yang sudah tidak bernyawa.
Problema hukum mulai muncul. UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika masih menempatkan ganja sebagai narkotika golongan I.
Didalam lampiran UU No. 35 Tahun 2009 disebutkan “tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami dan hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
Namun terhadap penetapan WHO ganja sebagai keperluan medis tidak dipandang sederhana. Sebagai keperluan medis maka ganja kemudian kehilangan makna yuridisnya.
Indonesia harus memikirkan dari pendekatan yuridis.
Namun sebagai pendekatan medis, maka diluar dari kepentingan medis, regulasi harus tetap menempatkan sebagai “barang terlarang”. Sehingga lampiran UU No. 35 Tahun 2009 hanyalah sekedar melakukan perbaikan (revisi) UU No. 35 Tahun 2009.
Sehingga penyalahgunaan diluar kepentingan medis tetap menempatkan sebagai kejahatan.
Dengan demikian maka gegap gempita penetapan legal PBB ganja sebagai obat untuk keperluan medis bukanlah memberikan ruang penggunaan ganja diluar kepentingan medis.
Dan gegap gempita tidak juga disambut dengan sukacita dan memberikan ruang untuk “menggelek” dengan bebas.
Dimuat di wwww.metrojambi.com, 4 Desember 2020
https://metrojambi.com/read/2020/12/04/59695/ganja--perdebatan-yuridis-dan-kesehatan/
Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,