26 Januari 2021

opini musri nauli : Hukum Acara Pengadilan Agama

 


Tidak dapat dipungkiri, terhadap sengketa yang berkaitan hak yang kemudian dianut oleh umat Islam kemudian diselesaikan oleh Pengadilan tersendiri. Sebagaimana diatur didalam UU No. 7 Tahun 1989 yang kemudian diperbarui oleh UU No. 3 Tahun 2006 kemudian dikenal Pengadilan Agama. 


Didalam UU kemudian diatur perkara yang berkaitan seperti perkawinan, pewarisan, wasiat, hibah, zakat, wakaf, infaq, shadaqah dan ekonomi. 


Sebelum keluarnya UU No. 7 Tahun 1989, terhadap seluruh proses pengadilan masih diatur didalam berbagai regulasi. Seperti Staatsblad No 152, Staatsblad 116 dan Staatsblad 610. Termasuk berbagai regulasi yang masih menempatkan berbagai istilah. Seperti Qadi dan Kerapatan Qadi Besar sebagaimana diatur didalam Staatsblad No 638 dan Staatsblad No 639. 


Namun sejak UU No. 7 Tahun 1989 maka seluruhnya kemudian tunduk di Pengadilan Agama. 


Pengadilan Agama merupakan pengejewantahan dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 


Dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 yang mengatur tentang Pengadilan Agama maka terhadap hukum acara yang dikenal didalam Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) tetap berlaku. Kecuali yang memang diatur tegas didalam UU No. 7 Tahun 1989. Sehingga UU No. 7 Tahun 1989 merupakan UU yang bersifat “lex specialis”. 


Dengan melihat makna berbagai regulasi Hukum Acara Perdata maka didalam Pengadilan Agama juga mengenal alat bukti seperti Surat, keterangan saksi, persangkaan hakim, pengadilan, sumpah, pemeriksaan setempat dan keterangan ahli. 


Sebagai salah satu pilar Lembaga yudikatif yang tunduk di Mahkamah Agung, maka Pengadilan Agama juga mengenal berjenjang. Yang dimulai dari Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan kemudian bermuara ke Mahkamah Agung. 


Di Mahkamah Agung juga dikenal kamar perkara agama yang dipimpin oleh Ketua Kamar Agama.