22 Januari 2021

opini musri nauli : Kebenaran Hukum dan Kepastian Hukum


Ketika Calon Kapolri mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR-RI, salah satu yang menarik perhatian saya adalah ketika penyebutan Kebenaran Hukum dan kepastian hukum. Disandingkan dengan Restorative justice. Tidak lupa penyebutan kasus-kasus yang mengganggu Nurani public. Seperti kasus Nenek Minah dan Laporan anak kandung terhadap ibu kandungnya sendiri. 


Istilah “kebenaran hukum” dan “kepastian hukum” yang kemudian disandingkan dengan restorative justice memang paling menarik issu hukum. Apalagi kemudian dalam beberapa pembicaraan tidak lupa disandingkan dengan gagasan orisinal dari berbagai ahli. Seperti “hukum untuk manusia”. 


Namun ketika Calon Kapolri menyampaikan dalam forum resmi di DPR sebagai bagian dari prosesi fit and proper test maka menjadi agenda resmi. Dan sikap dan pandangan hukum dari kepolisian secara umum. 


Kebenaran hukum dan kepastian hukum adalah esensi dasar dari hukum pidana. Hukum harus memuat kepastian hukum. Sehingga tercapai keadilan hukum. 


Namun dalam term yang berbeda, tuduhan implementasi dan praktek penegakkan hukum dalam tema kebenaran hukum dan kepastian hukum justru terjebak dengan berbagai dogma. Bahkan tuduhan serius kepada ditujukan, kepastian hukum dan kebenaran hukum disederhanakan menjadi kebenaran procedural. Ataupun kebenaran peraturan. 


MK sudah mengingatkan didalam berbagai putusannya. MK kemudian menempatkan sebagai “keadilan substantive” dibandingkan dengan keadilan procedural. 


Kembali dengan tema yang ditawarkan oleh Calon Kapolri, ketika calon Kapolri menempatkan “restorative justice” dengan menempatkan kasus Nenek Minah dan Laporan anak terhadap ibunya merupakan rangkaian panjang setelah sebelumnya MA juga membuat kategori didalam berbagai kejahatan. 


Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 (Perma No. 2 Tahun 2012) kemudian membuat aturan yang mengatur tindak pidana ringan sebagaimana diatur didalam Pasal 364 KUHP, Pasal 372 KUHP, Pasal 379 KUHP, Pasal 384 KUHP dan Pasal 482 KUHP. 


Didalam Perma No 2 Tahun 2012 kemudian terhadap nilai yang diatur didalam KUHP senilai Rp 2.500,- maka kemudian dinaikkan mencapai 1000 x. Sehingga nilai kerugian senilai Rp 2.500,- menjadi Rp 2,5 juta.


Didalam praktek kemudian maka kerugian sebagaimana diatur didalam Pasal 364 KUHP, Pasal 372 KUHP, Pasal 379 KUHP, Pasal 384 KUHP dan Pasal 482 KUHP maka harus mencapai Rp 2,5 juta. 


Dengan demikian maka terhadap kerugian dibawah Rp 2,5 juta maka tidak dapat memenuhi unsur didalam pasal-pasal KUHP. 


Atau dengan kata lain maka terhadap terdakwa haruslah dinyatakan dibebaskan demi hukum (vrijpaark). 


Namun yang unik justru paparan dari calon Kapolri dengan menempatkan kasus Nenek Minah dan Laporan anak terhadap Ibu kandungnya yang kemudian ditempatkan sebagai “mengganggu keadilan publik’. 


Standing dan cara pandang Kapolri justru memberikan garis tegas. Kedepan Kepolisian dengan kewenangan menolak laporan yang kemudian dikategorikan keadilan publik. 


Dengan mengambil pilihan dan cara pandang Kapolri terhadap “mengganggu keadilan public”, maka Kepolisian kemudian Bersama rakyat kemudian dalam satu barisan. 


Polri telah kembali menjadi jatidiri. Sebagai Kepolisian yang bagian dari masyarakat. 


Selamat Kapolri terpilih. 


Kami akan bersamamu untuk mewujudkan gagasanmu, Kapolri.