09 Januari 2021

opini musri nauli : Wagiman



Istilah Wagiman tidak pernah lepas dan dilekatkan terhadap kepada Tri Rismaharini (Risma). Istilah Wagiman begitu melekat dan tidak terpisahkan. 


Istilah Wagiman diartikan Walikota Gila taman. Seorang Walikota yang sibuk membangun Taman. Lengkap dengan tanaman yang indah dipandang mata. 


Ditangan Risma, wajah Surabaya kemudian bersolek. Berbenah. Dan terus menginspirasi Walikota se-Indonesia. 


Risma kemudian menjadi sorotan dengan sikap gesit mengatur lalulintas, langsung turun ketika banjir. Bahkan tidak segan-segan memaki para arek suroboyo yang merusak taman. 


Dia terus memaki siapapun yang merusak taman. Baginya taman adalah wajah kota. Sehingga merusak taman dapat membangkitkan emosinya. 


Sebagai “bintang’, Risma tidak terlepas dari kritikan, cemoohan bahkan berbagai sindiran. 


Aksi-aksinya kemudian dibully. Bahkan dijadikan meme dimedsos. 


Tapi apakah dia peduli. 


Tidak. Baginya, dia hanya kerja. Dia tidak butuh pencitraan. Dia tidak butuh popularitas. 


Di mobilnya tersedia, sapu, HT, karung beras dan berbagai ransuman. Mobilnya bak disulap seperti angkutan logistic. Sebagai tanggap dan reaksi cepat dari hambatan di lapangan. 


Namun ketika aksi-aksinya kemudian dilakukan di Jakarta, bak “petir disiang bolong”, semua kemudian kebakaran jenggot. Ngamuk dan meradang. 


Risma kemudian dituduh pencitraan. Bahkan Risma kemudian dituding sebagai persiapan menjadi Gubernur Jakarta. Event Pilkada yang Cuma hitungan waktu akan dilaksanakan. 


Namun berbeda yang dipikirkan orang. Risma tetap cuek. Risma terus melakukan tugas-tugasnya. Sembari memikirkan, mengapa Jakarta yang APBD-nya bejibung namun sama sekali tidak menjalankan fungsinya. Memberikan pelayanan sosial ditengah masyarakat. 


Saya kemudian berfikir. Mengapa orang yang mengerjakan tugas-tugas sederhana kemudian menimbulkan reaksi yang panik di sebagian kalangan. 


Apakah mereka lupa, tugas Risma tuh tidak pernah mengkritik apalagi mencari kesalahan siapapun. 


Dia hanya “pelayan rakyat”. Dia menjalankan tugas yang dibebani kepadanya. Dia hanya bekerja. 


Bukankah sudah seharusnya apabila pejabat kemudian menjadi pelayan kita ?. Bukankah mereka kita gaji untuk memikirkan kita ? 


Tapi sudahlah. Mungkin hal-hal sederhana yang dikerjakan Risma menjadi reaksi panik karena junjungan mereka ataupun pujaan mereka tidak mengerjakan tugas yang sederhana.